Share

MALAM PERTAMA SI GADIS DESA
MALAM PERTAMA SI GADIS DESA
Author: Uni Tari

Bab 1

Awan hitam sudah menyelimuti langit, angin berembus dengan kencang. Gadis bernama Hilma itu sedikit berlari kecil karena takut hujan akan segera turun.

Tangan kanannya mengangkat rok yang ia kenakan agar lebih leluasa melangkah, sedangkan tangan kanannya menenteng sebuah rantang yang berisi kangkung dan ikan asin goreng untuk Bapaknya yang sudah satu minggu membajak sawah milik Haji Burhan.

Gadis itu kini berlari agar lebih cepat sampai sebelum hujan turun, matanya melihat seorang lelaki yang juga tengah berlari, Hilma tidak mengenali siapa dia. Karena pada akhirnya hujan turun dan juga penglihatan yang buram karena lumayan jauh keberadaannya.

Hujan kian lebat, gadis itu memilih untuk berteduh di saung yang warga desa buat untuk beristirahat di sela-sela kerja mereka. Juga tempat penyimpanan karung dan terpal jika musim panen tiba.

“Lebih baik aku berteduh dulu di sini sambil menunggu hujan sedikit reda,” gumamnya, ia memperhatikan jilbab yang sudah basah, kemudian mengibaskannya.

Saat Hilma mengibaskan kerudungnya yang basah itu, matanya menatap seorang lelaki yang sama saat di jalan tadi sedang berteduh di saung. Hilma yakin dia orangnya, karena bajunya juga berwarna merah dengan celana sport berwarna hitam.

Hilma melirik sekilas, ia yakin bahwa lelaki itu bukan berasal dari desa ini. Bagaimana jika dia penjahat?

Ia merasa tak nyaman saat mengetahui ada lelaki itu di sana. Tapi hujan semakin lebat membuat Hilma terpaksa duduk di memojok, berjauhan dengan lelaki itu.

"Tolong...," ucapnya, sambil memeluk dengkul, berusaha menghangatkan tubuhnya.

Hilma yang sedang menatap hujan turun dengan deras, ia terkejut mendengar lelaki itu yang mengerang meminta tolong.

Dengan hujan deras dan angin kencang yang membuat suasana semakin dingin, membuat lelaki itu sampai menggigil kedinginan. Wajah dan bibirnya tampak pucat dengan tubuh yang menggigil. Hilma bingung, dalam keadaan seperti ini apa yang harus ia lakukan?

"Ka—kamu kenapa?" tanya Hilma panik.

"Adakah sesuatu yang bi—bisa menghangatkan tubuhku. Tolong... aku tidak kuat dengan udara dingin," ucap lelaki itu tersegal-segal. Ia merasakan napasnya yang semakin susah, kepala terasa seperti membeku.

Hilma sungguh bingung harus berbuat apa, mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk menutupinya tak ada. Mungkin karena musim panen sudah selesai, jadi warga memasukan kembali karung terpal mereka ke rumah masing-masing.

Lelaki itu semakin gemetar, matanya terpejam, napas tersegal-segal karena sesak yang dia rasa.

Hilma yang merasa iba, mengusir semua rasa ragu dalam dada. Dia yang tak pernah sama sekali berani bersentuhan dengan lelaki, kini ia berjalan menghampirinya, membantu lelaki itu untuk sedikit jauh dari dinding saung bambu.

Hilma menatap jilbabnya yang setengah badan, tanpa pikir panjang ia menyelimuti tangan lelaki di depannya agar tidak kedinginan. Dia berusaha untuk membuatnya hangat walau sedikit.

“Kemari, biar saya tutup tanganmu. Maaf jika lancang, setidaknya ini bisa menghangatkanmu walau sedikit.”

“A—aku….”

Hilma mencondongkan kepalanya sedikit agar bisa mendengar lelaki itu berbicara apa. Karena suara hujan dan juga lelaki itu yang berbicara pelan, membuat Hilma tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Lelaki itu kemudian mendongak menatapnya. Ia ingin berucap sesuatu tapi merasa lemas tak kuat. Kepalanya semakin dekat pada wajah Hilma karena tubuhnya yang terasa sangat lemas.

"Hey, sedang apa kalian!"

"Kalian mesum, ya!”

Hilma masih ingat tuduhan warga desa yang baru pulang dari ladang, berniat untuk berteduh meskipun sudah basah kuyup.

Walaupun Hilma sudah memohon bahkan bersujud agar mereka percaya bahwa dia tidak melakukan hal apa pun dengan lelaki itu. Tapi warga tak menanggapi. Bagi mereka siapa saja yang sudah berani berbuat zina di desanya, maka dia harus mendapatkan hukuman.

Salah satu warga itu menarik Hilma untuk keluar dari saung, begitu juga dengan laki-laki bernama Zafar yang ditarik paksa. Mau tak mau dalam keadaan lemas ia berusaha berjalan. 

Sepanjang jalan Hilma menangis ketakutan. Melihat mereka diarak membuat orang-orang yang sedang berteduh di rumahnya masing-masing berbondong-bondong keluar melihat warga yang membawa paksa Hilma dan Zafar. 

Zafar sekilas menatap gadis itu yang nampak histeris karena para warga membawa mereka ke balai desa. 

Lelaki itu bukan tak mau membela diri, tapi sekujur tubuhnya terasa beku. Napas yang masih tersegal-segal karena sesak, membuatnya tidak bisa berkata-kata. 

Zafar menatap gadis itu, ia meminta maaf dalam hati, takut jika dia mati hari itu juga karena merasakan dadanya yang sakit dan semakin sulit untuk berpanas. 

Lelaki itu kian lemas tak mampu berjalan. Tapi tarikan warga yang memaksanya berjalan sesekali terseret-seret kakinya. 

Ada penyesalan di hati lelaki itu datang ke desa. Zafar yang datang ke desa ini untuk bertemu sang paman—Haji Burhan, yang termasuk orang terpandang di sana, kini ia malah mendapatkan hal seperti ini. Mana yang kata Pamannya orang desa itu baik dan rendah hati, mereka hanyalah orang egois yang tidak mempedulikan orang lain. 

Sesampainya di balai desa, mereka didudukan. Para warga sudah berkerumun ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tak ada yang iba pada Zafar yang tubuhnya semakin lemas. 

Dia perlahan ambruk ke lantai, membuat Hilma yang sedang menangis itu sontak terkejut dan menepuk-nepuk wajahnya. 

“Hei! Bangun!”

Hal yang di mana warga semakin yakin, bahwa mereka ada hubungan khusus. 

Pak Hasan ayah Hilma, baru saja datang dengan basah kuyup. Pak Hasan meminta warga untuk bergeser agar ia bisa masuk. Badan seorang ayah itu terasa lemas, jantungnya berdegup kencang menahan amarah.

“Hilma!” Pak Hasan menghampiri sang anak lalu menipiskan tangannya itu yang sedang memegangi pipi Zafar. “Bapak gak nyangka kamu berani berbuat seperti ini!”

Hilma menggeleng, ia menggapai tangan sang Bapak sambil menangis. “Enggak, Pak. Ini bukan seperti yang mereka tuduhan. Demi Alloh, Hilma hanya—” 

Hilma yang baru saja ingin mengatakan sesuatu, Pak Rt datang meminta agar warga jangan berkerumun dan harap tenang. Ia melihat Hilma yang menangis, di samping Zafar terlukai lemah.

"Tolong bantu dulu dia, kasian badannya lemas begitu. Ganti bajunya, ya!" pinta Pak RT pada hansip. Kemudian dia meminta Hilma untuk berdiri. 

Gadis itu berdiri dengan lutut gemetar, kepalanya menunduk dalam. Ia menatap kaki sang Bapak, kemudian menangis semakin hebat. 

" Apa benar kamu teh melakukan hal itu? Tolong jujur, Neng. Jangan buat para warga semakin marah," tutur Pak RT

"Aku bersumpah demi Allah, Pak RT. Hilma cuma bantuin dia... itu aja, gak ada niatan untuk melakukan hal hina itu."

"Halah bohong dia Pak. Udah kawinin aja!"

"Iya, kawinin aja. Jangan mau enaknya doang!"

"Yang udah ngotorin desa ini, dia harus diusir dari sini. Setuju warga semua?!"

"Setuju! Kalau gak mau tanggung jawab, usir mereka."

"Iya, usir!"

Semua orang memojokan Hilma. Gadis hanya bisa menangis menatap wajah sang Bapak yang tidak berekspresi tapi memendam kemarahan padanya. 

Bukan tak mau Pak Hasan berusaha membela anaknya, tapi ia rasa percuma, mau sampai bersujud pun, warga tidak akan mendengarkannya. Karena ini sudah menjadi pegangan bagi kampung itu. 

Siapa pun yang diketahui berzina, disaksikan langsung oleh warga. Maka tak ada kata maaf bagi yang melakukannya, pilihannya hanya dua. Nikah atau pergi dari kampung itu. 

***

"Ujang Zafar, tolong nikahin anak bapak, sebagai bentuk tanggung jawabmu. Jika memang kamu adalah orang yang baik, pasti akan mempertanggungjawabkan semuanya. Dan bapak berharap, kamu memang orang yang baik, meskipun telah melakukan hal yang tak baik." Pak Hasan menatap lelaki itu yang baru tersadar dari pingsannya. 

Zafar yang baru tersadar dari pingsannya, ia menatap sekeliling, sedikit terkejut saat menyadari bahwa dia sedang berada di balai desa. 

Begitupun dengan gadis itu. Pak Rat dan hansip, berdiri di sampingnya. Sedangkan Pak Hasan duduk di samping sang anak, ia menatap penuh harap pada lelaki itu. 

“Bukankah kamu ponakan Haji Burhan yang datang dua hari lalu, kan?” tanya Pak RT padanya.

“Iya. Saya datang ke desa untuk meminta izin akan membuat sebuah konveksi, karena di Jakarta saya membuka itu. Paman menyarankan saya untuk membukanya di desa, agar warga mendapatkan lowongan pekerjaan baru.”

Kemudian lelaki itu menatap Hilman yang masih terisak sambil menunduk. 

“Karena udara yang sangat segar di sini, saya berniat ingin berjalan-jalan sambil menikmati suasana. Namun hujan datang dan saya memilih untuk meneduh di saung itu. Tak lama dia datang juga berteduh di sana.” 

Mata lelaki itu tak lepas menatap Hilma saat menjelaskannya pada orang-orang di sana. 

“Lalu karena khilaf, kalian melakukan itu?” potong Hansip, yang membuat Zafar menatapnya lekat. 

Hilma yang mendengar itu menggeleng dengan air mata yang mengalir tanpa henti. 

“Sudah-sudah. Jadi ini bagaimana? Warga desa tak terima dengan ini semua. Karena mereka menyaksikan langsung kalian yang sedang….” 

Pak RT tak mampu melanjutkan kata-katanya, ia merasa tak enak pada Pak Hasan, dia pasti sangat terpukul dengan semua ini. 

"Saya akan menikahi dia," jawab Zafar lemah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status