Share

Bab 3

Zafar juga berjalan mendekat padanya, kemudian berkata, "Sekarang sudah tidak ada alasan lagi untukku mempertahan kamu, Sinta. Silakan pergi, dan carilah pria yang murahan, sama seperti dirimu."

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Zafar, pria itu hanya tersenyum miring sambil memegangi pipinya.

"Aku akan membuatmu hancur, Zafar. Ingat itu!" tekan Sinta, kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi.

Tiga tahun bersama bukan waktu yang singkat, Zafar sangat tau sifatnya seperti apa. Jika memang ada orang yang mengusik, dia tak segan akan membuat orang itu hancur lebur, lalu dia akan tertawa melihat balas dendamnya berhasil.

Tapi Zafar tidak takut, akan ia terima apa pun nanti yang akan dilakukan Sinta padanya.

Semua warga menatap Zafar yang kembali masuk. Ia meminta untuk segera dinikahkan saja, jangan menunggu apa-apa lagi, karena masalahnya sudah pergi.

Pria itu menatao Hilma yang masih memegangi pipi, karena tadi Sinta juga memukul bagian pipi saat mendorong ia sampai jatuh.

"Atas nama Sinta saya minta maaf."

Hilma hanya melirik sekilas pria itu, kemudian memalingkan wajah.

Zafar sudah siap mengulurkan tangan, Pak Hasan nampak ragu untuk memulai ijab qobul, ia menatap Hilma yang hanya bisa menangis dalam diam.

Karena dorongan dari warga untuk segera dinikahkan, Pak Hasan pada akhirnya menjabat tangan pria itu, kemudian ijab qobul pun dimulai. Pernikahan dilakukan secara siri, karena membutuhkan waktu jika harus menikah secara resmi. Akan tetapi, mereka tidak hanya akan nikah siri saja, pernikahan resmi tetap akan digelar di desa, setelah semua persyaratan selesai.

***

Setelah dinyatakan resmi menikah siri, Zafar dan Hilma langsung diminta untuk ke Jakarta, menemui orang tua Zafar di sana. Karena jam masih menunjukan pukul delapan malam, sedangkan perjalanan Bandung-Jakarta hanya menghabiskan waktu kurang lebih empat jam, Zafar memutuskan untuk kembali ke kota malam itu juga.

Hilma dan Zafar memutuskan untuk ke rumah Pak Hasan dulu, agar gadis itu bisa merapikan pakaian yang ingin ia bawa. Dada Hilma masih terasa sesak, mengapa begitu cepat takdir merubahnya.

Hanya dalam sekejap, kini ia sudah menjadi istri orang lain. Yang bahkan orang itu sama sekali tidak Hilma kenal.

Setelah menunggu lima belas menit, gadis itu keluar membawa tas yang berisi baju. Zafar yang sedang menunggu kemudian membantu Hilma membawa tasnya. Ia meletakan tas itu di kursi tengah.

Zafar menghadap pada Pak Hasan, ia mengulurkan tangan tapi tak Pak Hasan hiraukan. Seorang ayah itu hanya diam, memandangi ke sembarang arah. Sama sekali tidak melirik pria itu. Begitu juga pada Hilma, ia melakukan hal yang sama.

"Assalamu'alaikum," ujar Hilma, kemudian berjalan menuju mobil. Sebelum naik, ia menatap kembali sang Bapak. Hilma membatin, sesakit itu kah hatinya? Sampai-sampai tidak mau melihat wajah anaknya lagi.

Setelah pamit pada semua orang di sana, mobil mulai berjalan, Zafar menyetir sendiri. Sesekali ia melirik Hilma yang hanya diam, kemudian menyeka air mata di pipi.

Sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara mereka. Hening.

Sampai di rest area, Zafar teringat jika gadis itu dan begitupun dia belum mengisi perutnya sama sekali. Pria itu memutuskan untuk berhenti sekalian mengisi bahan bakar.

Menyadari mobil berhenti, Hilma melihat sekeliling, Zafar turun tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Hilma, membuat pikiran gadis itu takut, jika Zafar akan meninggalkannya di sana.

Padahal, Zafar sedang memesan satu cup kopi dan juga nasi goreng. Ia kemudian kembali ke mobil setelah membayarnya.

Hilma yang sedari tadi khawatir dibuang karena Zafar tak kunjung datang lagi, kini gadis itu merasa sedikit tenang saat pintu mobil terbuka, dan Zafar kembali masuk.

"A—aku kira, kamu ngebuang aku di sini," katanya pelan.

"Untuk apa saya ngebuang kamu di sini. Kalau memang mau ngebuang, sudah saya turunkan kamu saat masih di jalanan hutan tadi," jawab Zafar.

Kemudian ia menyodorkan sebungkus nasi goreng dan air mineral pada gadis itu. "Makan. Saya baru ingat kalau sejak tadi kamu belum makan."

Hilma yang memang juga merasakan lapar sejak tadi, dia tak mementingkan gengsi. Ia mengambil makanan itu, dan berucap terima kasih pada Zafar.

Pria itu hanya bergumam.

Melihat Hikma menikmati makanan, Zafar sedikit menghela napas. Dalam satu kali pertemuan, yang pada akhirnya mereka dinikahkan. Zafar masih merasa bahwa ini adalah mimpi, sungguh tak pernah terbayang sebelumnya, ia akan menikah di usia 25 tahun dengan gadis desa. Yang lugu dan polos itu.

***

Sekitar jam dua dini hari, mereka sampai ke rumah orang tua Zafar. Pria itu turun dari mobil untuk membuka pintu garasi, namun dikunci. Ia kembali ke mobil, menelpon sang ibu memintanya untuk membuka kuncinya.

Tak lama, Bu Hani, ibunya Zafar keluar, ia membuka gerbangnya, Zafar kembali ke mobil membawa mobil itu masuk.

"Ayo!" katanya pada Hilma, yang sejak tadi gemetar karena takut jika orang tua Zafar itu tak terima.

Hilma memejamkan mata, ia berdoa dalam hati semoga semua baik-baik saja. Gadis itu turun, kemudian memberanikan diri mengulurkan tangan pada Bu Hani. Ibunya Zafar itu menerimanya.

"A—assalamu'alaikum, Ibu."

"Waalaikumsalam. Zafar, bawa dia masuk," ujar Bu Hani, yang masih terkejut setelah mendengar kabar dari sang kakak. Bahwa anaknya itu dinikahkan.

Zafar membawa Hilma masuk, kemudian memintanya untuk duduk. Bu Hani pun sudah duduk menghadap mereka berdua.

"Sudah pada makan?"

"Sudah," jawab Zafar pelan.

Bu Hani ke dapur dulu, ia membuatkan teh hangat untuk mereka. Hilma yang tadi terasa sulit untuk bernapas, ia seakan lega saat Bu Hani pergi dari hadapannya.

Gadis itu melirik sekilas ke arah Zafar, yang juga hanya diam membisu. Tangannya saling bertautan, dengan raut wajah yang nampak gusar. Mendengar langkah kaki Bu Hani yang kembali, membuat Hilma kembali menunduk dalam, ia mengatur napas mencoba untuk menenangkan diri.

"Minumlah, perjalanan kalian jauh. Pasti capek," ujar Bu Hani, sembari meletakan dua cangkir teh manis dan satu toples kue.

Hilma masih saja menunduk, ia tak berani mengambil teh manis itu. Sedangkan Zafar menatap sekilas sang ibu, kenapa dia tidak marah dan mengomel, padahal perbuatannya ini sangat fatal.

'Mungkin belum,' batin Zafar.

"Ibu...."

"Zafar, nanti kamu bawa dia ke kamar kamu, ya. Kalau kalian capek, istirahat saja. Biar ibu bawa minumannya ke atas."

Belum sempat Zafar berbicara, Bu Hani sudah lebih dulu memotongnya.

"Tak perlu, Ibu. Saya bisa membawanya. Maaf, karena sudah merepotkan," ujar Hilma. Ia berusaha tersenyum, walaupun jantungnya sudah berdegup tak karuan.

Bu Hilma sedikit tersenyum melihat kesopanan gadis itu. "Siapa namamu?"

Hilma meneguk ludahnya sendiri mendengar pertanyaan itu. Bibirnya kelu untuk menjawab karena ketakutan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ulvyana Mpi
Thor Bab ini ada yang terlewatkah ? kok gak nyambung dengan bab sebelumnya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status