Share

Chapter 5

—Lila Winter

Kepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.

Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.

Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.

Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.

“Apa? Peran untuk musik video?”

“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”

Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.

“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia sama mengesalkannya seperti adikku Ray.

‘Dad, aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku tidak bisa bernyanyi dalam keadaan terguncang seperti ini. Apalagi promosi atau hal lainnya yang berkaitan dengan album baruku.

Izinkan aku berlibur hanya selama sepekan ke depan. Aku janji, aku akan kembali tepat waktu. Aku sudah menyelesaikan semua bagianku. Sisanya, Daddy bisa minta bantuan Lila untuk melakukannya. Dia bersedia menjadi model dalam musik video-ku.

Salam sayang, Ruby putrimu.’

Sialan kau, Ruby! Model apanya? Seenak saja memerintah! Kukembalikan suratnya pada paman Eddie. Penyanyi legendaris ini tersenyum canggung, seakan merasa tidak enak padaku.

Salah siapa? Kenapa punya anak yang licik seperti Ruby?

“Bagaimana, Lila?”

Bagaimana apanya? Tentu saja aku—

“Coba tolong paman dan sepupumu kali ini, Nak.”

Ayah.

Sejak kapan ayahku ada di sini? Bukannya tadi dia sudah akan berangkat ke lapangan golf bersama teman-temannya?

Lalu, di mana ibuku? Apa dia juga tidak ikut-ikutan mendukung mantan kakak ipar dan suaminya ini?

“Kau tidak perlu ke kantor besok dan lusa. Pergilah. Coba sesuatu yang baru di luar kantor.” Ayah tetap sama, tidak berekspresi serius atau memaksa, tapi tetap saja. Itu keharusan.

Aku wajib mematuhinya. Ayahku, Kaiser Winter yang tidak boleh dibantah.

“Baiklah, Ayah.”

Paman Eddie menatapku. Seperti mencari sesuatu. Apa? Ketulusan? Tidak. Aku tidak tulus membantunya. Apalagi, bila ini demi si licik Ruby.

Kuturuti karena ayah. Ayahku yang memintaku melakukannya.

Ayo, coba saja. Pasti pada akhirnya, aku hanya akan menghancurkan pekerjaan mereka. Bisa apa aku yang awam pada hal-hal berbau seni seperti itu?

Padahal, banyak aktor dan aktris berbakat lain yang dengan mudah bisa diajak bekerjasama. Tapi, paman Eddie malah setuju saja dengan ide licik putrinya yang memang sengaja ingin mengusuliku itu.

Ruby sengaja melakukannya. Melimpahkan segalanya padaku.

Gadis bengal itu selalu senang cari gara-gara denganku. Awas saja kau, Ruby!

“Mobil kru akan datang menjemputmu sebentar lagi. Bersiaplah, Lila.” Paman memberitahu. Mau dilihat dari sudut mana pun, ekspresi kesedihannya masih kentara. Kepergian bibi Esther pasti sangat membuat paman Eddie kesulitan. Untuk berbagai hal.

“Okay.” Aku akhirnya beranjak tanpa mengatakan hal lainnya. Bahkan tidak berpamitan pada ayah. Kesal? Ya, aku kesal pada ayah yang memintaku melakukan ini.

Ruby pasti merasa senang. Dia menang.

“Nona Lila Winter?”

Seorang pria mengenakan kaus putih bertopi cokelat tua, menunggu di samping sebuah mobil.

Aku mengangguk saja. Tidak berniat berbasa-basi.

“Silakan, Nona.” Dia ramah. Tersenyum lebar dan membukakan pintu mobilnya untukku.

Seorang pria lain yang menyetir dan yang satunya tadi, duduk di samping si pengemudi. Hanya ada mereka berdua di mobil.

Sepanjang perjalanan, aku merasa tenang karena dua pria yang menjemputku ini lebih memilih diam, tidak mengajakku bicara sama sekali, tapi terus memperhatikanku di kesempatan tertentu.

“Kita sampai, Nona Winter.”

Akhirnya, pria yang menyetir—bukan yang menungguku di samping mobil—bicara padaku.

Aku langsung keluar tanpa menunggu dibukakan pintu. Tidak perlu berlagak jadi tuan putri.

Sebuah perkampungan, dekat dengan pantai. Lokasi syuting yang bagus, tapi tidak akan tentu bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Aku ragu pada kemampuanku.

Bila mengingat pesan Ruby di suratnya, benar-benar membuatku meradang.

Dia melemparkan penentuan terakhirnya padaku. Sehingga bila ada kesalahan, maka akulah yang harus disalahkan.

Licik!

Dia itu mirip siapa, sih? Paman Eddie jelas tidak seperti itu. Apa mungkin itu sifat dari mendiang bibi Esther? Ah, aku tidak yakin.

“Nona Winter, silakan duduk di sebelah sini. Kita tunggu arahan dari pak sutradara.” Pria itu, salah satu dari kedua pria yang tadi di mobil bersamaku, memberikan satu kursi tunggal padaku.

“Terima kasih.” Karena sejak tadi dia terus bersikap baik padaku, kurasa tidaklah berlebihan jika kuberi dia ucapan rasa terima kasih.

Dia tersenyum seramah tadi. Mengangguk, lalu meninggalkanku seorang diri di sini.

“Aku tidak bisa bekerja sama dengan model atau penyanyi pendatang baru yang banyak tingkah. Apalagi senior yang sombong dan merasa diri paling hebat!”

Aku melihat ke arah suara yang memang begitu dekat denganku. Suara yang mengesalkan! Tepat di sebelahku.

Aku menatapnya dengan tatapanku yang selalu seperti itu, datar. Meski aku sedang merasa sangat kesal akan ucapannya yang mengganggu pendengaranku.

“Gray, tenanglah sedikit. Jangan sampai suaramu terdengar oleh pak sutradara.” Seorang wanita berkacamata dengan gulungan kertas, bicara sambil berwajah cemas. Matanya bergerak ke sana kemari. Seperti tengah memastikan keadaan.

Pria itu tepat di sisiku sekarang, sejak tadi dia terus menatapku tanpa berkedip. Aku juga sama. Menatapnya, tapi tetap bersikap normal dengan sesekali mengerjapkan mataku.

“Siapa dia?”

Tepat di depan mataku, pria itu menunjukku, tapi bertanya pada wanita di sisi kirinya, bukan langsung padaku.

“Oh, Anda pasti Nona Lila Winter, ‘kan?” Wanita itu tersenyum padaku. Seolah baru menyadari keberadaanku.

Anggukkan sebagai jawabanku. Hanya itu.

Wanita itu tetap ramah, meski sikapku yang mungkin sering tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang pada umumnya.

“Semoga syutingnya lancar sampai selesai.”

Lagi, aku cuma mengangguk.

Wanita yang sepertinya salah satu kru dari pembuatan musik video lagunya Ruby, beralih pada pria yang sejak tadi tidak terlihat ingin memindahkan tatapannya dariku.

“Nona Lila ini yang akan jadi lawan mainmu di musik videonya.”

Akhirnya, dia berkedip. “Oh. Okay.”

Dia duduk di sisiku setelah wanita tadi mengambilkan satu kursi untuknya. Walau tidak nyaman karena tatapannya itu, aku tidak peduli. Aku merasa biasa dengan tatapan seperti ini.

Ini bukan kali pertama untukku. Setidak nyaman apa pun diriku, aku sudah terbiasa akan hal itu.

Meski dia terus menatapku, namun dia tidak mengajakku bicara. Itu memang bagus. Hanya saja, sedikit aneh bila dibandingkan dengan tingkahnya yang menatapku seolah ada banyak pertanyaan yang ingin diajukannya padaku.

Tiga puluh menit setelahnya, aku dan pria yang ternyata disapa Gray oleh para kru itu, diberi arahan langsung untuk apa yang harus kami perankan.

“Lagu ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang sudah berpisah, tapi masih saling mencintai satu sama lain. Mereka berdua kembali bertemu di tempat kenangan yang pernah terukir di sini.”

Tentu saja aku bingung harus mengekspresikannya seperti apa.

“Gray, tolong bantu Lila untuk menyesuaikan dirinya denganmu. Kata ayahnya Ruby, Lila sedikit pendiam. Dan dia bukan bagian dari dunia hiburan.”

Gray mengangguk pelan. Tatapannya masih terpaku padaku. Sebentar lagi, wajahku pasti berlubang karenanya.

“Pernah punya kekasih sebelumnya, ‘kan?” Tiba-tiba dia memberiku pertanyaan seperti itu.

Kami diberi waktu lima belas menit untuk membangun interaksi layaknya sepasang kekasih yang sudah berpisah, tapi masih saling mencintai.

Itu sulit bagiku.

“Beberapa tahun lalu.”

“Oh. Wow! Itu serius?”

Kuabaikan dia. Lebih memuakkan dibanding Devon. Ah, kenapa harus teringat pada si hot uncle?

Setidaknya, pria itu penuh aura menyenangkan. Wibawa yang sempurna, walau dicampur sedikit raut misterius yang sulit ditebak, apalagi dicerna.

“Lila? Kau melamun? Waktu kita hanya tersisa empat belas menit lagi.”

Benar-benar cerewet!

“Tidak. Aku hanya bingung. Berakting itu sulit untukku.”

“Sama.” Gray tertawa.

Dia tampak ceria. Sesekali, Ray ada dalam sekilas tingkahnya. Apa mungkin mereka juga seusia? Gray tampak lebih muda dariku.

“Lila.”

“Hmm?”

“Agar pekerjaan ini cepat selesai, kita harus setuju untuk jadi pasangan kekasih seharian ini. Bagaimana?”

Itu mustahil. Mana mungkin menjadi sepasang kekasih dengannya. Walau itu sehari sekali pun, rasanya berat untukku.

Empat belas menit yang benar-benar berlalu dengan Gray yang ribut menjelaskan ini dan itu. Tidak bisa kupungkiri bahwa aku hanya diam mendengarkan, sementara otakku tidak dapat diajak untuk berpikir apalagi bekerja sama.

Pasrah, aku berharap pada kemampuan diriku sendiri yang mungkin akan menghancurkan pekerjaan ini tanpa kusadari.

Kami diminta berganti pakaian. Ada gaun biru lembut untukku dan kemeja putih untuk Gray. Kami didandani seadanya. Karena ini benar-benar akan fokus pada pertemuan dua tokoh utama yang diharapkan berjalan dengan alami.

“Lila!” Gray menepuk pundakku.

“Hmm?” Sebenarnya, aku kesal. Bukan hanya padanya, tapi pada semua orang. Termasuk diriku sendiri.

“Rileks. Biarkan hati dan tubuhmu yang menuntun.”

Bicara mudah. Sulit bagiku mewujudkannya secara langsung.

“Nanti, jika aku tiba-tiba menyentuhmu untuk menyempurnakan aktingnya, tolong maafkan aku ya? Aku minta izinmu dari sekarang.”

Ah, ya. Sepasang kekasih sialan! Jelas harus ada saling sentuh. “Okay.”

Setelah aba-aba dari sutradara, kami mulai pada peran masing-masing. Kamera atau apalah namanya itu, mengikuti Gray lebih dulu. Aku memperhatikan bagaimana pria itu bergerak seperti biasa. Terlepas ini syuting, dia bertingkah seolah sedang melakukan kegiatan sehari-hari.

Ah, benar. Anggap saja begitu.

Gray terlihat berjalan-jalan di sekitar perkampungan. Sendirian sambil memegang kamera untuk memotret. Aktingnya bagus. Musik dan suara Ruby menyatu dengannya.

Apanya yang tidak bisa berakting? Kurasa, dia juga pintar membual.

Tiba giliranku. Awalnya, kakiku seperti sulit digerakkan. Namun karena aku memarahi diriku sendiri dari dalam hati dan menyemangatinya, lalu barulah kaki ini bisa melangkah layaknya melakukan tugas untuk berjalan seperti biasa.

Kami menggunakan jalan yang sama. Itu diambil agar aku atau Gray bisa berpapasan tanpa disengaja nantinya.

Huft! Aku mengedarkan pandangan untuk melangkah riang sambil menikmati pemandangan rumah-rumah penduduk yang memiliki ciri khas. Warna catnya berwarna-warni. Seperti menghidupkan suasana ceria dan lembut secara bersamaan.

Aku terlalu fokus pada sebuah rumah dengan dinding berwarna magenta, ketika akhirnya Gray benar-benar tiba di depanku.

Bukan akting. Aku tersentak karena kehadirannya. Bahkan melihat wajahnya yang terkejut dan mengernyit saat melihatku, kurasa, sepertinya akting kami sedikit baik dari pada saat berperan sendiri-sendiri.

Kami saling menatap. Namun suara sutradara yang meminta kami berhenti, membuat Gray tertawa ke arahku.

“Kau benar-benar terkejut, ya?”

Aku mengangguk, jujur.

“Ekspresimu bagus.”

“Kau juga.” Sekadar balas memuji. Walau aku tidak tahu apa pujianku ini setara dengan yang benar-benar terlihat pada dirinya atau tidak.

“Lakukan obrolan seperti biasa. Buat pertemuan kalian kembali setelah sekian lama, terlihat canggung dan tidak nyaman, tapi menyimpan kerinduan satu sama lain yang mendalam.”

Gray jadi yang pertama mengangguk saat diberi arahan. Sementara aku menyusul setelah itu.

“Lila, beritahu bila itu sulit untukmu.”

Aku tersenyum dan mengangguk pada sutradaranya. Kurasa, dia bukan hanya punya hubungan baik dengan paman Eddie, tapi juga berteman. Itu tergambar jelas.

Syuting dimulai kembali, tepat di bagian kami bertemu di jalan itu. Jalanan sepi yang kiri kanannya rumah bercat warna-warni.

Angin berembus. Cukup kencang, namun menyegarkan. Membelai wajah dan membuat rambutku yang terurai, seperti terbang mengikuti tiupan angin.

“Kau cantik, Lila.”

Aku tahu itu hanya untuk kebutuhan syuting ini. Tersenyum saja. Lalu mulai berakting di depan kamera yang mengintai kami. “Kau juga tampan.”

Masih bersama angin yang bertiup merusak rambutku, Gray datang menghampiri dan mengulurkan lengannya. Dia merapikan rambutku dengan gerakan lembut dan tatapan mata yang terpaku padaku.

“Kau tahu? Saat pertama kali melihatmu, aku sadar akan satu hal.”

“Apa itu?” Tanpa sadar, aku menyentuh punggung tangannya. Memberinya sentuhan lembut. Walau hatiku seketika kalut setelah melakukannya. Jadi pelaku seni di dunia hiburan itu ide buruk dalam hidupku. Sulit.

“Kau membuat jantungku berdebar.”

“Benarkah?” Aku tersenyum. Berusaha memberi senyum yang lembut. Nyanyian Ruby yang sampai pada nada tinggi, membuat Gray mendekatkan wajahnya padaku.

Hei, hei mau apa dia?

“Aku sudah minta izinmu. Jadi, biarkan aku melakukan ini, okay?” Gray setengah berbisik. Dia tersenyum lagi. Berbicara di depan wajahku seolah itu hal yang boleh dia lakukan padaku.

Tapi, mengingat dia sudah meminta izin sebelumnya, membuatku merasa teramat canggung saat bibirnya sudah menempel padaku. Ini seperti—persetan dengan itu!

Kututup mataku dan menikmati ciuman dari Gray. Bagusnya, ciuman ini hanya sekedar bibir yang menempel sepersekian detik.

“Maafkan aku.” Dia berbisik setelah selesai dan mengecup keningku kemudian.

Sialan! Walau hanya akting, tapi jantungku bertalu. Berdetak begitu kencang.

Syuting berlanjut dengan tangan kami yang tadinya menggenggam, lalu terlepas saat menyadari bahwa hubungan yang telah kandas, tidak bisa dibangun kembali.

Aku melihat Gray meneteskan air mata. Kutatap dia dan berharap agar air mataku juga ikut jatuh, meski tidak sederas dirinya.

Dari mananya dia tidak jago berakting? Oh, hanya sedang membuatku merasa tenang?

Tampaknya dia memang pintar untuk urusan membujuk, merayu, bahkan meyakinkan orang lain. Mirip sales.

Oh, oh! Air mataku tetap tidak bisa mengalir, meski kulihat Gray sudah terisak.

Ah, akting itu benar-benar sulit.

Akhirnya, saat sutradara mengakhiri syutingnya, semua kru yang ada bertepuk tangan untuk kami. Bagiku, itu lebih tepatnya untuk Gray. Dia hebat. Berbakat.

Sutradara berbasa-basi dengan memberitahu padaku proses apa yang akan dilakukan selanjutnya, untuk memperoleh hasil musik video yang bagus.

Editing atau apalah semacam itu.

Aku menolak untuk melihat hasil aktingku di depan kamera. Nanti saja, saat musik videonya sudah ditayangkan. Mungkin aku akan menontonnya, jika tidak merasa malu.

“Lila!”

Lagi-lagi Gray. Dia mendekat padaku. Tersenyum lebar, seolah ada hal menyenangkan yang baru saja terjadi padanya.

“Boleh kuantar pulang?”

Sebenarnya, tidak. Aku ingin duduk diam memandang langit sore dalam perjalanan pulang ke rumah.

“Baiklah. Aku tidak akan memaksa.” Gray tersenyum lagi. Dia mengusap tengkuk. Salah tingkah.

Ada apa dengannya? Apa ciuman tadi membuatnya malu? Kurasa bukan itu. Jika benar-benar merasa tidak nyaman dengan itu, dia pasti merasa tidak perlu melakukannya dan tidak mungkin berada di depanku sekarang. Menawarkan diri mengantarkanku pulang.

“Okay. Ayo, pulang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status