Share

Chapter 4

—Lila Winter

Menikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.

Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.

“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.

“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.

“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”

“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.

Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.

“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.

Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.

Kepala kami berdua terbentur. Membuatku mengaduh kesakitan di dalam hati. Kubiarkan diriku mengernyit, walau ekspresi pasti tetap biasa saja.

“Akh!” Dev mengerang tertahan. Dia mengusap-usap keningnya yang terbentur denganku. “Kenapa tetap dipungut?”

“Agar tidak mengotori ambalmu.” Itu alasan yang benar juga. Tapi, kenapa dia duduk dalam jarak sedekat ini denganku?

“Tidak perlu cemaskan hal itu. Khawatirkan saja gaunmu. Ujungnya naik turun tidak rata seperti itu.” Dia menunjuk ujung gaunku.

Benar. Sayangnya, aku tidak merasa malu atau harus melakukan satu tindakan berarti untuk mengatasinya. Biarkan—

“Ikut aku.” Dev berdiri.

Seharusnya, kupanggil dia paman meski hanya di dalam hati, bukan?

Tapi, sungguh. Aku hanya menduga dari wajahnya saja. Dia terlihat tua. Benar-benar sepantaran paman-pamanku.

“Lila?”

Aku mendongak, refleks menjauh saat wajahnya membungkuk di sisiku.

“Ayo, cepat. Memangnya, kau mau menginap di sini?”

Dengan cepat aku menggeleng. Sejauh ini, selain bukan untuk urusan kantor, aku tidak pernah bermalam di luar rumah. Bukan karena dilarang ayah atau ibu, tapi aku yang enggan berada di selain tempat, jika itu bukan di kamarku, bukan ranjangku.

Tidak mengatakan apa pun, aku berdiri. Dia tersenyum dan berbalik. Berjalan menjauhiku menuju pintu. Aku keluar bersamanya, beriringan tanpa sepatah kata pun.

Rumah ini damai. Tidak ada keributan sama sekali. Jika di rumahku, ada suara bising Ray yang selalu memecah ketenangan. Ada saja yang dia bicarakan, jika ayah sedang tidak berada di rumah. Dia memamerkan segala hal pada ibu.

Mirip bocah!

“Masuklah.” Pintu di depanku terbuka. Dua daun pintu yang terbuka lebar.

Ruangan yang nyaris kosong. Hanya ada satu lemari pakaian broken white dan sebuah cermin berdiri kayu yang ada di sini.

Dev membuka pintu lemari. Memperlihatkan apa yang ada di dalamnya.

Beberapa pakaian wanita, tergantung rapi di sana. Beraneka warna.

“Pilih dan pakailah.”

Aku merasa tidak perlu bertanya. Juga tidak perlu mau tahu tentang apa yang kulihat. Mungkin saja, semua pakaian yang sedang kupilih ini, milik adik perempuannya. Atau jawaban yang lebih pasti, milik istrinya.

Sepenasaran apa pun, aku terbiasa untuk tidak mengajukan pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya denganku. Apalagi, kami ini hanyalah orang asing bagi satu sama lain. Diam sajalah. Tutup mulut.

“Menurutku, kau cocok dengan gaun hitam.” Dev menunjuk satu gaun di antara warna plum dan berry.

Padahal, dua warna itu sudah begitu ingin kucoba. Tapi, ya sudahlah. Pilihan darinya juga membantuku menentukan gaun mana yang perlu kugunakan, tanpa pusing memilih-milih lagi.

“Okay.” Aku mengambil gaun beserta gantungannya.

Gaun bertema vintage. Bahan brokat terdapat di bagian atas dengan inner berwarna nude agar tidak tembus pandang. Pada bagian bawah, plisket membungkus sempurna sampai melewati lutut.

“Silakan. Itu ruang gantinya.” Dev menunjuk ke arah kananku.

Bukan ruang ganti yang seperti bilik. Itu hanya sebuah bagian dari ruangan, tapi dikelilingi rel yang dipasangi gorden panjang menutup sampai lantai.

Letaknya di sudut. Jika tidak diperhatikan, apalagi saat masuk pertama kali, bagian itu tidak terlihat olehku.

Aku masuk. Melepas gaun hitam klasik-ku yang bernasib menyedihkan.

Sialan!

Rupanya, ritsleting gaunnya terlalu panjang dibalik punggungku. Di pertengahan, aku gagal menaikkannya. Tersangkut, tidak dapat kupaksa lebih jauh lagi.

Huft, sial! Benar-benar sialan!

“Lila?”

“Hmm.” Kesal. Hanya kutahan sebisaku.

“Bagaimana? Kau suka?”

“Ritsletingnya tersangkut.”

Hening sejenak. Memangnya, apa yang terpikir di kepala si hot uncle?

“Akan kubantu, bila kau tidak keberatan.”

“Baiklah.” Walau ini akan sangat tidak nyaman, aku tidak perlu bertingkah berlebihan. Santai saja, okay?

“Aku masuk, Lila.”

“Ya.” Aku segera menunduk. Menatap lantai adalah pilihan terakhir, menurutku.

Tanpa menunggu, aku memberikan punggungku padanya. Membiarkan si hot uncle ini melihat setengah kulit punggungku yang terbuka.

“Akan kucoba sekarang.” Suaranya pelan, namun sangat dekat terdengar.

“Okay.”

Dia menghela napas. Entah untuk apa. “Katakan padaku jika kau merasa tidak nyaman.”

Kuanggukkan saja kepalaku. Nyaris tersengat listrik rasanya, saat jari-jari berkulit kasar dan hangat miliknya itu tersentuh kulit punggungku.

Entah karena gugup atau apalah namanya kecanggungan ini, saat ritsleting masih macet di sana, bagian dalam dari benda itu menggesek kulitku.

“Ah!”

Tangan Dev sepertinya sudah menjauh dariku, saat desahan setengah ringisan itu keluar dari mulutku.

Sialan! Terdengar aneh bagiku. Seperti ....

“Sakit?”

Kulirik dia yang mengintip sedikit dari balik bahuku. “Sedikit.”

Hening lagi. Aku tidak ingin berada bersamanya di sini lebih lama lagi.

“Mungkin sebaiknya, kuambilkan gaun lainnya untukmu.”

Barulah aku berbalik untuk menatapnya. “Okay.” Jadi pergilah dari hadapanku sekarang, Uncle.

Dia masih tegak di tempatnya. Apa maksudnya, dia ingin aku yang memilih sendiri kali ini? Baiklah. Seharusnya begitu sejak awal.

Aku tidak mengatakan apa pun. Berjalan cepat, tanpa berusaha menutupi punggung setengah terbukaku padanya. Untuk apa? Dia juga sudah melihatnya. Percuma saja!

Membuka lemari pakaiannya lagi, aku memilih yang sekiranya aman. Pajama top. Kemeja mirip pakaian tidur dengan warna ungu pucat. Aku sedikit kecewa saat menempelkannya di tubuhku. Panjangnya tepat di atas lutut.

“Bagaimana?” Dev berdiri menunggu tidak jauh dari gorden. Sepertinya dia tidak sabaran atau terlalu antusias, mungkin.

“Ini.” Kuangkat gantungan di udara, sekilas. Aku langsung menyibak gorden. Tidak peduli padanya yang tidak juga menjauh dari sana.

Aku memaksa gaun hitam ini lepas dari kepalaku. Berhasil. Walau sedikit menyakitkan. Ide mengganti pakaian benar-benar bukan pilihan yang baik untukku. Seharusnya, tetap kupakai saja gaun klasik-ku.

Sepertinya, si pemilik pakaian sudah memantrai semua bajunya agar tidak bisa dipakai oleh wanita lain. Konyol! Isi kepalaku yang konyol!

Setelah terburu-buru, aku semakin merasa sial ketika satu persatu kancingnya lepas karena keahlian tanganku. Tiba-tiba saja aku memiliki tangan yang mampu merusak dalam sekejap. Entah bagaimana ini bisa terjadi.

“Lila?”

Aku tidak menyahutinya. Berjongkok, sibuk memungut beberapa kancing yang lepas sekaligus.

Kancing pertama dan kedua sudah berhasil kudapatkan. Yang ketiga menggelinding sedikit jauh. Sepertinya, keluar dari atau berada di bawah gorden.

“Lila? Ada apa?”

Dapat!

“Lila, kau sedang apa?”

Gorden tersibak, tepat ketika aku selesai memungut kancing kemeja yang ketiga. Aku berdiri.

Kami saling menatap sesaat, sampai aku sadar bahwa kedua tanganku hanya menggenggam kancing, tanpa memegang bagian depan kemeja yang kukenakan. Beberapa kancing yang terlepas, jelas memperlihatkan kulitku di balik kemeja.

Dev menutup gorden di belakangnya. Tatapannya jadi berbeda. Kancing yang sedari tadi berusaha kukumpulkan, kini terlepas begitu saja dari genggamanku. Karena satu hal. Tatapannya memiliki makna yang tidak biasa bagiku. Mendadak berubah.

“Lila,” panggilnya lembut.

Aku mundur. Memegangi bagian depan kemeja yang tadi dengan tanpa kuduga, seolah sengaja kuperlihatkan padanya. Tidak, bukan seperti itu.

Tubuhku diangkat oleh Dev dengan begitu saja. Dia melingkarkan kedua kakiku ke sekeliling tubuhnya. Seolah mudah melakukan hal itu baginya.

Memang mudah. Aku sudah menempel padanya. Apa-apaan ini?

“Kau bahkan tidak berekspresi saat aku melakukan ini padamu?” Senyumnya seperti seringai.

Apa? Dia melakukan ini untuk—

“Aku melakukan ini bukan untuk melihat bagaimana ekspresimu. Kulakukan ini, karena aku menginginkanmu.”

Me—apa? Maksudnya apa?

“Turunkan aku.”

“Tidak.” Dev menggeleng.

Tidak terlihat raut wajahnya yang sejak tadi bersamaku. Dia, seperti orang yang berbeda. Tiba-tiba jadi berbeda.

Aku tidak takut. Bukan.  Ini memang pengalaman pertamaku dengan pria yang tampaknya jauh lebih dewasa dariku, tapi aku bisa mengatasinya. Memang bisa.

Punggungku sudah bersandar di dinding. Kepalaku ditahan sejenak oleh tangannya. Setelahnya, mungkin dia merasa bahwa posisi ini sudah tepat, dia menatapku. “Turunkan aku.”

“Kau bahkan tidak meronta untuk dilepaskan.”

Itu benar. “Aku tidak suka menghabiskan tenagaku.”

“Kau menarik.” Dev tertawa. “Di situasi seperti ini pun, kau masih bisa santai tanpa ekspresi.”

“Aku bukan sengaja membuatmu berpikir bahwa aku semenarik ucapanmu.”

Dia mengangkat kedua pundaknya. Semakin menempelkan tubuh bagian depan kami dengan gerakan tidak menekan.

“Kau memang menarik.”

“Dev, turunkan aku.”

Matanya mengerjap. Tanpa sengaja bulu matanya yang lentik jadi terlihat olehku.

“Ulangi.”

Apa? “Dev ... turunkan aku. Kau akan merasa malu setelah semua ini berlalu. Pria dewasa tidak mungkin—”

“Sstt, berhentilah, Lila. Panggil aku berulang-ulang seperti tadi.”

Kuhela napasku dengan tenang. Seperti aku yang biasanya. Tapi, debar jantungku yang menempel di dadanya seperti sedang adu debaran, tidak bisa membohonginya.

“Dev ....”

Kami bertatapan lagi. Tatapannya berkabut hasrat, sepertinya. Aku sulit membedakannya. Aku tidak terlalu paham.

“Biarkan aku. Kali ini saja. Biarkan aku menyentuhmu satu kali ini saja.” Terdengar memang seperti permohonan.

Aku ... tunggu! Aku tidak bisa memberikan—

Bibirnya sudah menyapu leherku lebih dulu daripada bibirku. Membuatku kesulitan bernapas.

“Ah!”

Sialan! Suara itu lagi! Itu tidak bisa kuartikan. Entah desahan atau rasa terkejutku karena dia menghisap leherku, tanpa aba-aba. Entah. Aku kesulitan sekarang. Dia menjebakku.

Lagi-lagi, jemarinya yang kasar itu, membuatku meremang. Nyaris saja suara sialan itu keluar kembali, saat dia menyusupkan tangannya ke balik kemeja yang kini semua kancingnya sudah terlepas.

Dev yang telah melakukannya! Dia yang melepas sisa kancing yang seharusnya, masih melekat.

“Lila. Aku suka mendengar suaramu. Berikan padaku, okay?”

Tegang. Sekarang, benar-benar terjadi. Tangan besarnya menyentuh semua anggota tubuhku. Hidung, bibir, leher, terus turun hingga kurasa harus segera dihentikan.

“Tidak dengan yang ini.” Kutahan sekuat mungkin lengan kokohnya ini, saat dia ingin menyentuh yang ada di antara pangkal pahaku.

“Kenapa?”

Masih tanya kenapa? “Aku masih perawan.”

Mengedip-ngedip matanya bingung, menurunkanku dari dekapannya. Dia mundur setelah merapatkan kemejaku. “Maaf, aku ... aku—”

Dia sadar sekarang. “Tidak apa. Kita bisa berpura-pura tidak ingat. Anggap saja tidak sengaja.”

Memang begitu. Jangan bertemu lagi. Nyaris saja aku kehilangan keperawananku dengan orang asing. Tidak. Dia pria dewasa yang mungkin berbahaya bagiku.

Secepat yang mungkin bisa terjadi, Dev meninggalkanku di ruangan ini seorang diri. Kuputuskan untuk mengenakan gaun klasik-ku kembali, yang benar-benar tidak menentu lagi ujungnya.

Segera, aku meninggalkan ruangan itu dan berjalan keluar. Menemukan mobilku, lalu mengemudikannya untuk pulang ke rumah.

Tidak ada yang mengantarkanku. Hanya Jack. Dia cuma mengawasi dari pintu garasi.

Sesampai di rumah, ibu dan ayah sepertinya sedang menungguku. Atau memang sengaja? Apa pesan singkatku tidak sampai pada ibu?

“Lila. Sudah makan malam, Sayang?” Ibu menghampiriku. Tidak mengamatiku. Hanya tersenyum. Senyum penyambutan.

Ayahku, hanya melirik sekilas padaku. Dia mungkin marah. “Ponselmu mati? Terjadi sesuatu?”

Itu kecemasan ayah. Hanya saja, nadanya tetap datar. Berarti benar. Pesanku kemungkinan tidak terkirim.

“Aku sudah makan malam, Bu.” Kuberi dia senyuman sambil menggenggam tangannya sekilas. Beralih pada ayah. “Iya, Ayah. Ponselku mati. Tadi, saat kembali dari rumah paman Eddie, ada kucing besar melompat ke depan mobil. Tanpa sengaja aku menabraknya. Ponselku ikut jatuh dan rusak.” Yap, kucing besar yang ganas!

Ayah menelitiku dengan tatapannya. Memang begitu. Bukan selalu berarti dia mencurigaiku, dia hanya khawatir.

Wajah ibu begitu cemas. Berulang kali mengusap pundakku.

“Lain kali, usahakan untuk memberitahu. Kau bisa gunakan telepon umum.”

“Baik, Ayah.” Aku mengangguk. Di zaman sekarang, memangnya siapa yang mau menggunakan telepon umum?

“Tadi paman Eddie mencarimu. Setelah istirahat, coba telepon dia lagi.” Ibu memberitahu. Wajahnya masih mengerut karena khawatir.

“Ruby bersembunyi di kamarnya. Dia tidak kunjung keluar, sekuat apa pun aku membujuknya.”

Ibu menatapku lekat-lekat. “Setelah tahu bahwa bibimu meninggal, Ruby langsung melakukan penerbangan diam-diam ke Graswall.”

Apa? Apa gadis itu tahu apa yang sedang dilakukannya?

“Paman Eddie juga tidak tahu tentang hal itu?”

Wajah ibu semakin muram. “Tidak. Itulah sebabnya, semua orang menjadi khawatir karena adik sepupumu bertindak tanpa pikir panjang seperti itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status