Share

Chapter 7

—Lila Winter

Kami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.

Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.

Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.

Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.

“Di mana rumahmu?”

Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.

“Okay.” Dia malah masuk dan menutup pintu. Padahal seharusnya, dia berada kembali di balik kemudi, bukan di sini.

“Mana ponselku?” Kulirik dia yang hanya terus menciumi pundak dan leherku. “Dev, di mana ponselku?”

“Aku tidak ingat meletakkannya di mana. Akan kuperiksa nanti. Jika tidak ada, kuganti saja dengan yang baru. Bagaimana?” Tangannya masih nakal dan sibuk menyentuh tubuhku di sana-sini. Tidak canggung sama sekali. Menatapku, sangat dekat. Hingga napasnya terhembus di kulit wajahku. “Kau tahu, aku suka panggilan itu.”

“Paman?” Entah kenapa, rasanya ingin bercanda. Kami tidak seharusnya sedekat ini. Kami dua orang asing. Semestinya begitu.

Kening Dev mengerut. “Kau lebih nyaman memanggilku dengan sebutan itu?”

“Nyaman-nyaman saja apa pun panggilannya.” Tidak tersenyum, tidak berekspresi, aku mendapat sentuhan menusuk di bawah sana. Kutahan untuk tidak mengerang.

“Sungguh? Apa aku ini hanya pelampiasan saja untukmu?”

“Itu kau, bukan aku.” Kuberitahu bahkan peringatan pada diriku sendiri. Bahwa pria yang sudah mengacaukanku dengan setengah perjalanannya menuju ke langit tertinggi bersamaku itu, pasti setidaknya, sudah memiliki pendamping.

“Aku tidak siap untuk jujur padamu sekarang.”

Benar. Dia tidak akan pernah siap memberitahuku bahwa dirinya sudah memiliki kekasih, istri, atau bahkan anak-anak yang lucu.

Bila kupikirkan lagi, bisa saja dia sudah memiliki anak seusia Onyx, putra tunggalnya paman Ocean dan bibi Sisy. Usianya sekarang, mungkin delapan atau sembilan tahun.

“Tidak perlu.”

“Kenapa?” Tangan Dev keluar dari gaunku.

“Karena tidak ada hubungan apa pun di antara kita.”

“Lalu, apa artinya ini semua?”

Aku menghela napas lelah secara terang-terangan. Menegaskan padanya lewat tatapan, bahwa aku pun tidak ingin hal seperti ini sering berulang terjadi. Karena aku tahu, hasratku sulit terbendung nantinya.

“Tanyakan pada dirimu sendiri, Dev. Kau yang lebih dulu menyentuhku di ruang gantimu kemarin lalu. Kau lupa?”

“Tidak. Aku tidak lupa. Mana mungkin aku lupa.”

“Jadi, kau tahu apa artinya, bukan?”

Kening Dev semakin mengerut di dalam keremangan. Aku tahu guratan kemarahannya kian menjadi.

“Kita baru dua kali bertemu. Jangan lupakan fakta bahwa kau dan aku bersenang-senang atas apa yang sudah terjadi. Terlepas dari semua itu, silakan jadikan ini hanya sebagai kenangan manis pelengkap di antara kita.” Waah, pintarnya aku bicara. Tapi, bukankah itu benar? Aku tidak berniat untuk lebih dari sekadar melepas hasrat dengannya. Dia jelas seorang pria yang tampak berbeda usia cukup jauh dariku. Bukan, sebenarnya, bukan itu yang lebih penting.

Seseorang yang sudah ada dan hidup, serta berdiam di hatinya. Keberadaan yang tidak boleh digeser begitu saja oleh orang baru sepertiku. Lagipula, selama yang sudah terjadi ini tidak merusak keperawananku dengan kejantanannya langsung, kurasa aku akan baik- baik saja.

“Hanya sebatas itu, Lila?”

Kenapa harus kecewa? “Ya. Hanya sebatas itu, Dev. Kurasa, kau pun tidak ingin memiliki hubungan yang lebih dari ini bersamaku. Itu akan sangat sulit untuk kita berdua nanti.”

Dia duduk tenang di sisiku. Memandang keluar jendela. Tidak lagi menatapku. “Apa itu karena pria yang tadi mengantarmu?”

Siapa? Yang mengantarku? Siapa—ah, maksudnya si bocah yang bernama Gray itu?

Sepertinya, Dev melihat Gray mengantarkanku tadi, ke kafe depan sana. Padahal, bocah itu hanya memaksaku untuk membelikannya dua paper cup kopi.

Aku hanya tidak ingin bocah seperti Gray terus berisik di sisiku, sampai tiba ke rumah. Itulah kenapa aku beralasan ingin bertemu teman di kafe dan menolak diantarkan olehnya sampai ke rumah. Siapa yang tahu bahwa kemudian, si hot uncle ini ada di tempat yang sama denganku?

“Bisa jadi.”

Kurasakan tatapan menusuk dari sampingku. Sekarang dia sudah memandangku dengan kerutan kening yang kian mendalam. “Apa kau sadar, kau sedang meremahkanku?”

Oh, begitukah? Apa dia sadar, bahwa dirinya juga tidak ingin bicara jujur padaku? Itu artinya, kami sama saja. Hanya berbeda kondisi.

“Jangan salah paham, Paman Dev. Aku memang seperti ini.”

Helaan napasnya terasa kasar. “Okay. Itu yang kau mau. Lain kali, saat kita bertemu, kita bisa saling memuaskan. Hanya sebatas itu. Aku benar?”

“Tidak.” Aku menggeleng. “Kau salah. Lain kali, saat kita bertemu lagi, sapa secukupnya saja. Tidak ada yang boleh lebih dari itu.”

Dev keluar dan menutup pintu dengan cara membanting. Dia kembali ke tempat di mana seharusnya dia berada.

Kutatap Dev dari belakang seperti ini. Sosoknya memang mengagumkan. Dia dewasa, penuh wibawa dengan aura yang terkadang berubah-ubah.

“Rumah yang mana?”

Aku sedikit tersentak dan membuang pandanganku darinya yang tiba-tiba menoleh ke belakang. “Aku turun di sini saja.” Ternyata, gerbang utama perumahan paman Eddie sudah di depan mata.

“Okay.”

Lihat. Dia kembali pada dirinya setelah aku bersiap menjadi orang asing di hadapannya.

Mobilnya Dev langsung pergi, tepat saat pintunya kututup. Terburu-buru sekali. Memang begitulah pria. Jika tidak dituruti, harga dirinya bisa saja terluka.

Lalu, apa bedanya dengan wanita? Makhluk yang bernama manusia, semuanya sama saja! Tidak ada bedanya. Jenis kelamin tidak menentukan apa pun. Tidak bisa menjadi jaminan.

Saat akan membunyikan bel, pintu rumah terbuka dari dalam. Tanganku bahkan masih berada di udara.

“Lila?” Paman Eddie terlihat heran.

“Lila? Mana Lila?” Suara dengan nada terkejut sedikit jauh di belakang paman, tiba-tiba mendekat.

Itu ... Gray?

“Hei, Lila. Ternyata kau ke sini juga?” Seperti sudah lama saling mengenal dan seolah berteman, dia melambai-lambai riang padaku.

Padahal seingatku, dia sempat canggung setelah adegan ciuman di lokasi syuting. Bahkan tadi di mobil pun, dia terus saja berisik. Seolah tidak memberiku kesempatan untuk bicara sama sekali.

Apa dengan banyak bicara menjadi salah satu kiat untuk menyembunyikan rasa malunya?

“Masuklah, Lila. Gray sudah memberitahu Paman tentang hasil dari syuting musik video-nya hari ini.”

Aku melangkah masuk. Mengangguk sekilas lalu dan mengabaikan Gray. Jika kuhiraukan dia, maka aku tidak akan bisa membicarakan tentang tujuanku datang ke sini.

Tapi sepertinya, Gray dan paman Eddie bahkan Ruby sudah saling kenal dalam waktu yang lama.

“Paman, aku ingin bicara tentang Ruby.” Langsung, bahkan di depan Gray.

Paman menghentikan kegiatannya di depan alat-alat musik yang ada di ruangan ini. “Sekarang?”

Besok! Paman terkadang berubah menjadi menyebalkan seperti putri bodohnya itu. Aku mengangguk saja. Enggan mengiyakan dengan suaraku.

“Ayo, kita ke ruang keluarga.”

“Apa aku boleh ikut, Paman?” Gray antusias. Mirip anak anjing.

“Tidak. Kau di situ saja.” Aku langsung mengisyaratkan hal itu, karena tidak ingin dia terlalu mau tahu. Walau mungkin, dia sudah mengetahuinya.

Paman Eddie tertawa pelan. “Paman kira kalian sudah akrab satu sama lain.”

“Kami akrab, Paman. Lila hanya tidak mengakuinya di luar syuting hari ini.” Gray segera meluruskan.

Untuk apa dia melakukan hal tidak berguna seperti itu?

Paman Eddie sudah mendahuluiku ke ruang keluarga. Aku menyusul dengan tatapan kaku. Rumah ini jadi mirip sarang hantu. Terasa mati sejak bibi Esther tidak ada. Padahal, baru beberapa hari berlalu tanpa bibi di sini.

Bahkan suara Ruby yang biasa terdengar di seluruh penjuru rumah, kini hanya menyisakan ruang semu.

“Apa yang ingin kau bicarakan tentang Ruby, Lila?”

Aku mencari posisi yang kurasa tidak canggung. Saat merasakan ada mata yang mengawasi, aku menoleh dan melihat Gray pura-pura lewat di depan ambang pintu sambil bersiul.

“Aku hanya ingin meluruskan tentang apa yang ditulis Ruby di suratnya, Paman.”

“Tentu saja. Silakan. Meluruskan apa itu, Lila?”

Kemarin aku tidak bisa memprotes apa pun, karena ada ayah di antara kami. “Aku tidak menjanjikan apa pun pada Ruby. Jadi, sebenarnya, itu hanya akal-akalannya untuk menjahiliku.”

Paman Eddie seketika terbahak. Tidak terdapat kesedihan di sana, padahal istri tercintanya baru saja pergi meninggalkannya selama-lamanya, disusul oleh putri tunggalnya yang malah melarikan diri darinya dengan begitu egois.

“Jadi, maksudmu, pada bagian di mana putriku mengatakan bahwa kau bersedia untuk menjadi bagian dari musik video-nya itu, sebenarnya tidak ada?” Setelah tawanya reda, paman Eddie menatapku lekat-lekat.

Aku menganggukkan kepala dengan cepat. Hanya dia yang waras, meski memiliki putri kurang ajar seperti Ruby. Mungkin, mengerjaiku seperti itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan, tapi mengingat bahwa Ruby bisa menjadikanku sasaran yang bukan hanya sekali untuk bantu menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya bukan tanggung jawabku, membuatku kesal. Sangat kesal!

“Ruby bisa memanfaatkanku lagi di lain waktu. Dan aku tidak mau hal seperti ini terulang lagi, Paman. Walau meski terlihat sepele, tapi aku sangat tidak menyukai caranya menimpakan tanggung jawabnya padaku.”

Paman Eddie mengangguk. Raut wajahnya serius, meski sisa tawa masih terlihat di sana. “Aku mengerti. Maafkan aku karena terkesan seperti mendukung begitu saja perbuatan Ruby, padahal seharusnya, kutanyakan dulu tentang kebenarannya pada gadis itu. Meski aku tidak pernah tahu bagaimana cara agar kami jadi terhubung untuk bisa membicarakan hal ini.”

Benar kan? Percuma saja! Putrimu itu lebih licik dari yang bisa kau bayangkan tentangnya, Paman Eddie! “Tidak jadi masalah, karena itu sudah kulakukan, Paman. Aku memang bersedia, karena ayah yang meminta. Tapi, lain kali, aku tidak akan pernah mau membantunya lagi.”

Paman Eddie mengangguk lagi. Masih dengan raut wajah yang sama. Kali ini, ada kesedihan yang tidak bisa dia sembunyikan di depanku. “Baiklah. Lain kali, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi, Lila. Mewakili putriku, aku minta maaf.”

“Tidak, Paman. Bukan Paman yang harus minta maaf padaku. Itu tugas Ruby. Dia sudah sangat keterlaluan. Bahkan tidak datang di hari pemakaman ibunya sendiri.” Karena si gila Ruby, aku jadi tidak bisa melihat bibi untuk terakhir kalinya dan malah berada dalam bahaya bersama si hot uncle.

Itu bukan keberuntungan! Sama sekali bukan.

Aku tahu mulutku selalu bicara hal-hal yang menyakitkan, terkadang tanpa berpikir. Tapi, itu nyata. Ruby keterlaluan karena sengaja mengabaikan hal paling penting dalam hidupnya. Kepergian bibi Esther bukan hal sepele yang bisa membuatnya pergi seenaknya, di saat kami semua menunggunya di pemakaman.

“Lila.”

“Ya, Paman?”

“Apa jika Paman yang meminta pertolongan padamu, kau akan melakukannya?”

Tidak. Sebenarnya, tidak juga. Aku hanya—

“Tolong bujuk Ruby untuk kembali pulang, Lila. Paman tidak bisa pergi ke mana-mana, karena semua pekerjaan Ruby harus ada yang bersedia bertanggung jawab di sini. Dia memang sudah menyelesaikan bagiannya, tapi ada beberapa hal yang anak itu tidak tahu bahwa jika dilepas begitu saja, semua usahanya selama ini akan jadi sia-sia.”

Gila! Untuk apa aku mencari-carinya ke Graswall? Kenapa kesannya, jadi aku yang harus ikut ambil bagian dalam keberlangsungan karir si gadis licik itu?

Wah, apa paman juga akhirnya bersikap sama saja seperti Ruby? Pada dasarnya, mereka ayah dan anak. Sudah jelas keduanya sama saja. Menyusahkan!

Terkadang, aku keliru menilai seseorang yang bahkan berhubungan dekat denganku.

“Paman—”

“Paman sudah minta adikmu untuk pergi membujuk Ruby, tapi karena sedang dalam masa ujian, dia tidak bisa pergi. Maksudku, ayah dan ibumu pasti melarang andai Ray bersedia menyusul Ruby ke Graswall.”

Itu benar. Jika tidak ingin membuat ayah membencinya, jangan sembarangan bertindak, Ray! “Paman sudah membujuk Ruby dan tidak berhasil?”

“Seperti kataku tadi, andai dia tidak memutus komunikasi seperti ini, tentu aku akan terus mencoba menghubunginya siang dan malam. Segala sesuatu selalu terjadi dengan tanpa perkiraan, Lila. Kami juga tidak ingin Esther meninggalkan kami, di saat Ruby sedang berusaha mempersiapkan hal membanggakan untuk ibunya. Kau tahu itu, ‘kan?”

Benar. Aku tahu. Selama hidupnya, bibi Esther hanya bangga pada Ray. Dia begitu mencintai dan melimpahkan semua kasih sayangnya untuk adikku.

Entah bagaimana, bibi Esther seperti tidak bisa melihat potensi yang ada dalam diri putrinya. Sehingga apa pun yang Ruby kerjakan, selalu mengundang kemarahannya. Mereka tidak terlalu akur.

Hal itu pun diakui oleh ibuku. Sebagai adik kandung dari bibi Esther, ibuku paling tahu bagaimana selama hidupnya, bibi selalu mengeluh tentang perilaku Ruby yang membuat bibiku itu sakit kepala.

Di saat Ruby mulai mempersiapkan dirinya sebagai penyanyi seperti paman Eddie, bibi Esther justru meninggal di saat kejutan untuknya itu hampir selesai.

Ujung-ujungnya, aku harus rela menolong Ruby karena kami satu keluarga. Menyusahkan memang!

“Baiklah, Paman. Aku akan mempersiapkan keberangkatan di sore sehari sebelum akhir pekan.”

Paman Eddie tersenyum lebar. Kekhawatiran di wajahnya seketika lenyap. Tidak berbekas. “Kau mau hadiah apa dari Paman, Lila?”

Kuangkat bahu sambil menggeleng. “Aku tidak tahu. Kurasa ....”

“Kalian sudah selesai? Aku boleh masuk, kan?” Tiba-tiba saja Gray berjalan masuk dan duduk di samping paman.

Gerak cepat.

“Kurasa, Paman bisa menjadikan ini sebagai bantuan terakhir yang harus kulakukan untuk Ruby, kalau dia melarikan diri lagi.” Melihat Gray, aku jadi tahu apa yang kumau.

“Paman janji, Lila.”

“Okay. Aku pegang janji Paman.” Aku senang, karena paman Eddie sendiri yang berjanji. “Sekarang, aku pulang.”

“Baiklah. Hati-hati, Nak. Hubungi Paman jika kau membutuhkan sesuatu.”

Aku mengangguk. Bersiap pergi.

“Gray, kenapa kau tidak menawari Lila tumpangan? Bukannya kau akan pulang?”

Aku mendengar itu. Sama sekali bukan ide bagus.

“Lila tidak mau pulang bersamaku.”

“Benar begitu, Lila?”

Aku berbalik. “Dia terlalu berisik, Paman. Aku tidak sanggup mendengarnya bicara, seolah tidak ada hari esok.”

Paman Eddie tertawa. Dia menepuk-nepuk pundak Gray yang sedang memberiku tatapan kesal.

Walau akhirnya, aku duduk juga di sampingnya setelah beberapa menit berlalu. Kupikir-pikir, jual mahal pada pria seperti Gray itu sama sekali tidak perlu.

“Aku akan tutup mulut sampai tiba di rumahmu.” Itu janji Gray setelah sekali lagi, memaksaku pulang bersamanya.

Jarak menuju rumahku hanya tinggal sepuluh menit lagi. Tapi di tengah perjalanan kami yang sunyi, mendadak Gray menjadi panik.

“Ada apa?” Aku bertanya karena penasaran.

Mobil berhenti. Gray menatapku. “Sepertinya, ban mobilku bocor.”

Ah, sialan!

Gray sudah turun selama aku mengumpat dalam hati. Dia tampak kebingungan. Tentu saja. Ini jalanan sepi sebelum menuju perempatan lampu lalu lintas yang ramai. Sekarang nyaris jam sepuluh malam.

Aku turun untuk memastikan keadaan. Kulihat Gray sedang melakukan perdebatan di telepon.

Aku selalu lelah mendengarnya bicara. Kutatap jalanan yang benar-benar sepi. Mataku berhenti dan terbelalak, saat melihat bayangan seseorang yang menyeberang ke arah kami.

“Gray! Cepat masuk ke mobil!”

“Ada apa?” Walau bertanya, dia menyusulku untuk masuk ke mobil.

“Kunci pintunya.” Tidak panik, jangan panik. Sosok yang menyeberangi jalan menuju ke arah kami itu adalah Pretty Wings, bukan nama asli.

Dia wanita gila yang awalnya tidak gila! Berkeliaran bebas di kota ini karena para perawat rumah sakit jiwa pun lelah mengatasinya. Dia membantai seluruh keluarganya dengan racun mematikan. Bukan membunuh menggunakan senjata tajam.

Cita-citanya? Dia ingin terbang tinggi di angkasa. Dia itu, astronot yang gagal. Aku hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut.

Gray meringkuk ke sisiku. Dia membungkuk seolah Pretty Wings akan memukul kaca mobilnya.

Karena cahaya lampu jalan di sini sedikit redup, aku tidak bisa memperhatikan ekspresinya. Aku tahu dia terus berteriak sambil berusah membuka pintu mobil di sisiku.

“Lila, aku takut.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status