Share

Chapter 8

—Lila Winter

“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.

“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.

“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.

“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.

Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.

Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!

“Gray, cepat keluar!”

“Apa?”

“Keluar kataku.”

“Tapi—”

“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.

Gray akhirnya menurut setelah aku berusaha menyingkirkan tubuhnya untuk membuka pintu.

Batu besar itu sudah dilemparkan oleh Pretty Wings dan lolos masuk ke tempat dudukku. Gray tengah mematung di samping mobil.

“Lari!” Aku berteriak padanya.

Menyusul Gray yang telah lari karena perintahku, aku tidak sadar bahwa Pretty Wings meraih rambutku. Dia menariknya dengan kekuatan penuh, sementara aku berusaha menggapai apa pun yang bisa kudapatkan.

Kotak tisu yang ada di dashboard. Walau tidak berat, setidaknya bisa menghalau si wanita gila ini.

“Lila!”

“Lilaaaa!”

Di luar, Gray yang terasa lebih mirip orang gila, terus menerus meneriakkan namaku.

Dia ketakutan seperti pengakuannya padaku tadi. Tidak melakukan apa pun selain hanya kudengar teriakannya.

Kotak tisu berhasil kupukul ke tubuh Pretty Wings yang sedikit lebih kurus dariku. Dia mengerang marah, tapi sempat melepas cengkeramannya di rambutku.

Aku berhasil keluar lewat pintu pengemudi dan membantingnya, sebelum Pretty Wings berhasil menyusulku.

“Kenapa masih di sini? Lari dan minta bantuan, Bodoh!” Aku memaki Gray yang lemas tidak berdaya.

“A-aku—”

“Jangan takut. Ada aku. Ayo!” Kupegang pergelangan tangannya erat-erat. Menariknya kasar agar mengikutiku.

Kami berlari. Aku memimpin di depan. Mencari tempat yang pas di malam yang kian sunyi. Perempatan masih sedikit jauh dari tempat kami berada.

“Lila, kita sembunyi di situ.” Graymenunjuk ke arah sampingnya.

Lorong gelap di belakang dua bangunan yang berdampingan. Tempat yang sepertinya tidak digunakan lagi. Atau mungkin akan dirobohkan untuk membangun sarana lain.

Dia menarikku ke sana. Gelap. Tidak ada cahaya sama sekali, kecuali dari langit malam di atas kepala kami.

“Keluarkan ponselmu. Cari bantuan. Telepon siapa saja yang bisa membantu.” Aku memerintah, tapi mataku menatap ke jalanan di luar sana. Berharap sungguh bahwa Pretty Wings tidak akan mengejar kami.

Mana mungkin!

Pretty Wings jelas menyusul untuk mendapatkan kami. Dia sudah berlarian dengan batu di tangan. Aku melihatnya melintas di depan lorong tempat kami bersembunyi.

Tapi sungguh, aku tidak yakin dia—akh, benar! Dia kembali!

“Gray, matikan ponselmu. Dia melihat cahaya dari sini.” Berbisik tegas, aku merasakan getaran di sisiku. Gray ketakutan.

Pretty Wings berjalan mendekati lorong. Pasti di matanya, dia tidak lagi melihat cahaya dalam gelap.

Aku mengajak Gray berjongkok. Membiarkan dia tetap berada di belakangku.

“Lila, Lilaaa. Aku takut.” Dia berbisik ngeri. Tidak berpura-pura. Dari suaranya, terdengar begitu. Bergetar dan merengek. Aku merasa sedang bersama bocah lima tahun.

Andai dia berakting, akan kuhajar wajahnya nanti. Tunggu sampai Pretty Wings berhenti mengincar kami.

“Diam!” Sedikit membentak, aku membenturkan lutut terlipatku dengan lututnya. “Perhatikan saja apa yang dilakukan si wanita gila itu. Kalau sampai kita ketahuan olehnya, itu salahmu.”

“Hah?” Gray terdengar bingung, tapi kemudian hening saat aku mengabaikannya.

Pretty Wings berjalan lambat-lambat ke arah lorong gelap di mana kami bersembunyi, bukan. Bukan bersembunyi, tapi berjongkok dalam keadaan bisu.

“Saat hitungan ketiga, terus mundur secara perlahan tanpa merubah posisi. Kau mengerti?” Masih berbisik, aku memberitahu sambil tetap memperhatikan pergerakan Pretty Wings.

Wanita gila itu rupanya benar-benar penasaran. Dia masuk ke dalam lorong dengan mata memicing. Mencoba melihat keberadaan kami. Aku yakin dia bisa melihat kami. Dia tidak buta.

Jaraknya sudah dekat. Hanya beberapa meter lagi.

“Satu.”

“Hah?” Gray malah kebingungan.

Anak ini bodoh atau gila seperti Pretty Wings? “Dua.”

Hening dari Gray. Sepertinya dia mulai mengerti. Lihat, Pretty Wings tinggal beberapa langkah lagi.

“Tiga.”

Gray mulai mundur. Memang sulit bergerak, tanpa merubah posisi. Berjongkok sambil mundur, bukan hal yang mudah. Beberapa kali kaki panjangnya nyaris menendangku.

Entah bagaimana, Gray tiba-tiba mengangkat tubuhku dengan menyelipkan tangannya di kedua ketiakku.

Oh, oh! Dia menyeretku agar menjauh karena bahaya memang datang. Dalam kegelapan yang cuma diterangi cahaya dari langit malam, bisa kulihat Pretty Wings bersiap melemparkan batu di tangannya ke arah kami.

Gray berteriak ketakutan, padahal si bodoh ini seharusnya tidak perlu begitu. Meski dia takut sekali pun. Karena itu hanya akan mengundang kepanikan yang lain.

Pretty Wings salah sasaran. Dia melempar ke arah lain. Mungkin penglihatannya sedikit buruk atau terkejut karena teriakan Gray yang melengking. Menyakitkan telinga.

Dia mengejar kami yang berlari tidak tahu arah harus ke mana. Kali ini, Gray berada di depan walau terus saja berteriak ketakutan.

Dasar bocah!

Menoleh sekilas, aku semakin merasa bahwa Pretty Wings mirip zombie. Ekspresi wajahnya sudah sulit kukenali antara marah, sedih atau senang.

Jarak kami cukup dekat. Dia hanya perlu menjulurkan lengan untuk menangkapku atau setidaknya, menjambak rambutku seperti tadi.

Aku bingung kenapa Pretty Wings tidak melakukannya. Apa dia senang bermain kejar-kejaran seperti ini?

“Lila, ke sini!”

Suara Gray mengejutkanku. Aku kehilangan dia dan tidak tahu di mana—hah? Sejak kapan dia naik ke atas sana?

Aku mendongak, melihat Gray sudah ada di balkon belakang salah satu bangunan.

“Naik lewat tangga itu!” Gray berteriak histeris.

Pretty Wings ikut berhenti di belakangku. Gila! Jarak kami sedekat ini!

“Lila cepaaat!” Teriakan Gray makin menyebabkan rasa panik. Padahal, aku jarang bertingkah mengikuti emosi lawan bicaraku.

Cepat kunaiki tangga yang bau karatannya terendus hidung. Tangga lurus tanpa pegangan. Saat menoleh ke belakang, Pretty Wings sedang mendongak dan aku yakin, dia berniat menyusulku.

“Lilaaaa, cepaaat!”

“Diam, Bodoh! Kenapa kau berisik sekali?”

“Segera lemparkan tangganya!” Gray mengabaikan peringatanku.

Apa dia gila? Pretty Wings sudah menyusulku, walau baru dua atau tiga anak tangga yang dinaikinya. Dia bisa terjatuh dari ketinggian bila aku membuang tangganya.

Aku sudah sampai di balkon. Gray mendekatiku, bukan. Dia malah berjalan ke arah tangga dan mendorong tangga itu dengan sekuat tenaga.

Aku diam melihat aksinya. Rasa takut membuatnya kehilangan dirinya sendiri. Melihat ke bawah, samar tampak Pretty Wings terbaring di tanah. Bagusnya, tubuh kurus itu tidak tertimpa tangga.

“Apa dia mati?” Gray sudah ada di sampingku.

“Entahlah. Jika dia sampai mati, kau harus bertanggung jawab.”

Gray menghela napas. Dia mengeluh sambil bergumam tidak jelas. Kuperhatikan tangannya yang ada di sisi tubuhnya. Bergetar. Dia gemetaran.

Setakut itukah?

“Sekarang bagaimana?” Berkacak pinggang, aku berencana mengalihkan perhatiannya dari rasa takut.

“Apanya?” Dia masih melihat ke bawah, ke tempat Pretty Wings terkapar. “Maksudmu, dia?”

“Kita.”

Sepasang mata gelap Gray segera menatapku. “Kita?”

“Ya, kita. Kau sudah membuang tangganya. Kita tidak bisa turun dan mana mungkin mendobrak pintu besi itu!” Kutunjuk satu-satunya pintu yang ada di balkon.

“Kau benar.” Gray tiba-tiba sibuk mondar-mandir di depanku. “Sekarang, kita harus bagaimana?”

Aku menggeleng tidak habis pikir. Rasa takut benar-benar membuatnya jadi bodoh.

“Ponselmu, Gray.” Aku mendekat. Menadahkan telapak tanganku. “Kemarikan. Biar aku yang cari bantuan.”

“Oh, aku lupa!” Dia berseru. Mirip bocah.

“Jangan berakting, Gray.”

“Tidak. Aku tidak berakting, Lila.”

Kuabaikan penyangkalan Gray dan mulai mencari nama paman Eddie di kontaknya. Entah kenapa aku merasa tidak perlu izin darinya untuk melakukan hal semacam ini.

“Kau menghubungi siapa?”

“Ibumu,” jawabku asal.

“Aku tidak punya ibu, Lila.”

Tanganku berhenti menyentuh layar ponselnya. Menatapnya tanpa ekspresi. “Aku cuma bercanda.”

“Tapi aku tidak bercanda. Aku memang tidak memiliki ibu.” Gray seakan sengaja mengatakan hal itu untuk membuatku tertekan, merasa bersalah.

Okay. Aku tahu harus apa. “Aku minta maaf.”

“Tidak apa-apa. Aku bahkan tidak mengenal siapa ibuku. Dia meninggal saat melahirkanku.”

Oh, Tuhan. Kenapa dia sengaja menceritakannya padaku? Justru saat ini, dia sedang membuatku merasa tertekan dengan perasaan bersalah.

“Kau bisa minta ayahmu untuk memberikan fotonya padamu, Gray.” Aku sudah mulai mengetik pesan. Rasanya tidak pas menghubungi paman Eddie karena mungkin saja dia sudah tidur.

“Aku selalu mengantongi foto ibuku. Mau lihat?” Dia pamer.

“Iya. Nanti aku lihat. Di sini gelap. Aku ingin melihatnya di tempat terang.” Aku tidak beralasan. Memang sebenarnya, aku sungguh-sungguh ingin mengenali wajah ibunya.

Merasa bersalah? Ah, ya. Aku merasa bersalah. Ucapan asalku tadi sepertinya melukai hatinya. Walau dia jelas-jelas tidak memperlihatkannya padaku.

“Janji?” Dia menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapanku.

Kuamati dia masih dengan tatapan datarku. “Okay. Aku janji.” Kukaitkan jari kelingkingku dengannya.

“Terima kasih, Lila.”

“Untuk apa?”

“Untuk semua kebaikanmu hari ini.”

Akhirnya dia kembali jadi Gray yang berisik. Seperti awal aku mengenalnya.

Ponsel Gray bergetar. Notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Dari paman Eddie.

“Kau meminta bantuan pada paman Eddie?”

“Hmm.”

“Kenapa tidak meminta bantuan pada Ray?”

Hah? “Kau kenal bocah itu?”

“Dia adikmu.”

“Itu sudah jelas.”

Gray tertawa. “Aku tidak pernah dengar hal-hal buruk tentangmu dari Ray. Tapi sepertinya, dia sengaja tidak menceritakan tentang sifat aslimu pada orang-orang terdekatnya.”

“Sejak kapan kau mengenaliku sebagai kakaknya Ray?”

“Tadi. Di rumah paman Eddie.”

“Sebelumnya, bocah itu menceritakan apa tentangku?”

“Hmm … tidak ada.” Gray kemudian tertawa. Dia senang bertingkah konyol dan bicara omong kosong, ternyata.

“Kau tahu bukan itu yang kumaksud.”

“Okay okay.” Gray mengangkat kedua tangannya di udara. “Aku senior Ray di kampus. Aku temannya Ruby. Aku mengenal Ray darinya karena mereka sering terlihat bersama.”

“Hanya itu?”

“Apa lagi yang ingin kau tahu?”

Aku tidak menjawab. Enggan menyatakan isi pikiranku padanya. Bocah ini mungkin sama saja dengan Ray. Kerap membuatku kesal.

“Ah, mengenai dia yang tidak pernah menceritakan hal-hal buruk tentangmu?”

Aku tidak mengangguk, walau kurasa itu yang ingin kutanyakan padanya sejak tadi. Dia seperti sengaja mempermainkanku.

“Memang tidak pernah, Lila.” Gray tersenyum lebar. Entah apa artinya itu.

“Hmm.”

“Sungguh. Dia hanya menceritakan padaku bahwa dia memiliki seorang kakak perempuan yang lebih tua lima tahun darinya. Dan kalian jarang bicara karena kau yang enggan terbuka padanya.”

Tidak sepenuhnya salah. Aku memang tidak terbuka, tapi bukan berarti aku membencinya.

“Dia bicara benar tentangmu, ‘kan?”

Aku mengangguk. Tiba-tiba saja ingat bahwa dia benar-benar tidak sopan padaku sejak kami bertemu. “Panggil aku Kakak. Aku lebih tua lima tahun darimu.”

“Aku tidak mau. Aku hanya lebih muda empat tahun darimu.”

“Apa bedanya? Walau hanya empat tahun, aku tetap lebih tua darimu.”

“Jangan ributkan perihal usia, Lila. Hanya empat tahun. Meski begitu, aku sudah dewasa dan mengerti akan banyak hal.”

Kenapa dia marah? Abaikan saja dia. Lagaknya seperti pak tua. Sejak awal aku sudah merasa bahwa dia ini memang hanyalah bocah banyak bicara, seperti Ray. Mereka bertiga—termasuk Ruby—adalah kombinasi yang pas. Cocok bergaul satu sama lain.

“Jadi, apa hebatnya merasa lebih tua, Lila Winter?”

“Tidak hebat. Sama sekali tidak. Aku hanya menegaskan jarak saja.”

“Jarak? Apa karena aku lebih muda?”

“Bukan.”

“Apa karena aku temannya adikmu?”

“Aku tidak peduli itu.”

“Lalu, apa?”

Tepat ketika aku ingin mengabaikan pertanyaannya, bersamaan dengan dering ponsel Gray yang terdengar di antara kami.

“Paman Eddie.” Dia menyodorkan ponselnya padaku.

Aku menerimanya. “Ya, Paman?”

“Paman ada di dekat mobil Gray. Kalian di mana?”

“Sebentar, Paman. Biar kubagikan lokasinya.”

Setelah mengirimkan lokasi, aku mengakhiri panggilan dan melihat ke bawah.

“Hei, ke mana perginya Pretty Wings?”

“Apa?” Gray panik kembali. Dia mendekat dan nyaris membuatku terjatuh dari atas balkon. Dasar gila!

“Pretty Wings mungkin terbangun saat kita lengah atau sedang berbincang. Dia lalu pergi begitu saja, mungkin.”

“Aku tidak yakin, Lila.”

Sungguh, sebenarnya pun, aku tidak yakin. Apa Pretty Wings benar-benar bangun dari pingsannya?

“Anak-anak, kalian baik-baik saja?”

Itu paman Eddie!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status