Share

3. Bob Matulaki

Asupan secangkir kafein memberinya energi baru. Bob Matulaki memutuskan untuk berkeliling sebentar di seputar Sektor Dermaga Selatan sebelum pulang ke apartemen. Dia berpikir siapa tahu firasatnya akan muncul dan membawanya kepada petunjuk berharga. Setiap informasi tentang pencarian orang, hewan peliharaan atau barang hilang dari Departemen Kepolisian selalu membuatnya bergairah.

Pukul tujuh lewat, jalan aspal di antara gedung-gedung tinggi itu mulai diisi pengendara otopet listrik dan hoverboard. Dengan cepat suasana pagi diwarnai dengung halus mesin listrik. Para budak korporat telah keluar dari barak apartemen mereka yang nyaman. Semuanya berpenampilan sangat rapi dan berkulit pucat. Bob Matulaki bangga hanya dia satu-satunya lelaki eksotis berkulit matang di tempat ini.

Saat berpapasan sering dia menatap mata mereka, mengedikkan kepala sambil tersenyum simpul, dan kadang lehernya terus memutar hingga pandangan matanya terpental oleh punggung mereka. Hampir tidak ada yang membalas keramahan bahasa tubuhnya tersebut.

"Orang-orang ini lebih serius daripada mesin!" gumamnya.

Seandainya tidak ada persoalan akibat virus pun, liburan Natal masih lama. Rasa kangennya pada kampung halaman hanya dapat diobati sementara dengan nongkrong bersama teman barunya, Andy Sipit. Biarpun latar belakangnya agak jauh, anak muda itu masih bisa tersambung dengan hal-hal remeh atau gurauan receh yang tidak bakal dipahami oleh mesin.

Bob lahir di Jakarta dari keluarga menengah bawah. Dia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki. Ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu, menyusul ibunya yang lebih dulu pergi dua bulan sebelumnya. Hingga kini ketiga abangnya masih hidup dan menetap di Jakarta, sebuah kota metropolitan yang berdiri di tengah perkampungan raksasa.

Mario Matulaki sempat berhenti kuliah untuk menjadi pemain bola profesional. Dia lama bermain sebagai striker di PS Jakarta. Abang sulungnya itu bisa dibilang menjadi otot bisep keluarga dan dialah yang mengangkat pendidikan adik-adiknya hingga sarjana. Setelah gantung sepatu, Mario ikut membesarkan perusahaan properti yang telah dirintis oleh Jon, abang Bob yang nomor dua. Jon adalah lulusan sekolah bisnis. Dia punya pengalaman kerja di beberapa perusahaan swasta sebelum akhirnya mendirikan perusahaan sendiri dengan investasi dari Mario. Sementara, abangnya yang nomor tiga, Alex atau Iskandar, nama barunya setelah menjadi mualaf, mengambil jurusan hukum. Iskandar Matulaki bekerja di kantor pengacara kondang Hariman Nasution. Hanya Bob yang meneruskan jejak sang ayah, menjadi sekuriti kantor.

Sejak kecil Bobby berminat menjadi pahlawan berseragam yang kerjanya menangkap penjahat. Waktu SMP saat kira-kira usianya 15 tahun, dia pernah ikut mengejar seorang pencuri di lingkungan rumahnya. Peristiwa itu terjadi pada malam hari di sebuah warung kelontong. Maling tablet itu kabur dan diburu warga. Si maling bersembunyi di dalam sumur resapan di belokan sebuah pertigaan gang kecil yang sepi. Gang itu menuju ke luar pemukiman sehingga warga yang terkecoh termasuk dirinya terus mencari maling itu hingga ke jalan raya.

Mendengar cerita para saksi yang tidak melihat seorang pun keluar dari gang, Bobby segera menelusuri berbagai kemungkinan tempat pelarian si maling. 

Mustahil maling itu memanjat tembok tinggi di kedua sisi gang. Tidak mungkin pula dia berlari ke arah yang lain karena di sana buntu. Selain itu para penghuni rumah kopel yang areanya tersekat rapat di gang buntu itu telah berada di luar untuk mencari tahu penyebab keributan. Para penguber maling menduga si maling sempat menyelinap dan bersembunyi di salah satu rumah di gang buntu yang langsung dibantah oleh warga di sana. Bahkan ada pula yang mengatakan si maling kabur menggunakan ilmu hitam.

Oma Bobby pernah memberi sebuah petuah saat menemaninya menonton serial misteri kesukaannya di TV. Untuk memecahkan sebuah misteri, hilangkan semua jawaban yang mustahil, maka ale akan mendapatkan satu jawaban yang benar, betapapun ale belum punya bukti untuk menjelaskannya. Belakangan dia tahu itu cara lain omanya yang pensiunan guru dalam menafsirkan satu kutipan bijak dari Sherlock Holmes. Lelaki Inggris ini adalah seorang detektif kriminal yang merupakan karakter rekaan dalam novel karangan Sir Arthur Conan Doyle. Buku novel klasik tersebut menjadi bacaan favorit Bob pada masa kuliahnya yang singkat.

Maka, setelah mengamati debu dan retakan semen di sekeliling penutup lubang pada jalan berubin beton itu, dia memberi kode kepada Alex. Kemudian yang dilakukan abangnya adalah berdiri di atas lubang resapan itu, menyalakan rokok, sambil menonton sisa keramaian dari perburuan yang gagal tersebut. 

Alex dan Bobby menunggu satu persatu warga kembali ke rumahnya masing-masing. Sekali waktu Alex melirik ke bawah ke tutup besi berbentuk petak dengan bilah-bilah datar yang membentuk rongga tempat air mengalir masuk saat hujan. Untuk sebuah alasan, Bob Matulaki bersyukur hanya abangnya yang dia beri tahu.

Selepas SMA sebenarnya Bobby ingin mendaftar di akademi kepolisian. Namun, ayahnya tidak setuju. Meski bekerja di bidang keamanan sebagai satpam bank swasta tetapi ayahnya memiliki perasaan antipati terhadap institusi kepolisian. Ketidaksukaan itu memang tidak dijadikannya alasan tetapi Bobby tahu dan bisa menarik kesimpulan dari cerita-cerita masa lalu dari keluarga besar ayahnya.

Klan Matulaki berasal dari nama kakek buyut ayahnya. Matu Laki. Lelaki yang kuat, begitu arti nama tersebut. Om Hans, pamannya, bercerita. 

Datang dari Ambon dengan kapal laut, Matu Laki bermaksud untuk kuliah sambil kerja di Jakarta. Dia tidak takut pada nasib, modalnya hanya keberanian.

Setelah dua tahun berlalu, cita-citanya tercapai. Matu Laki muda berhasil mengambil kuliah malam di jurusan Ilmu Komputer di Universitas Rawamangun sambil tetap bekerja sebagai pesuruh kantor di siang hari.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Kampung Banda tempat dia menumpang tinggal di rumah seorang pengasuh sasana tinju, menjadi target pengepungan polisi. Situasi senja hari itu sangat mencekam, bunyi letusan senjata api menyalak di tiap penjuru.

Matu Laki ikut ditangkap saat sedang menolong seorang temannya yang juga warga setempat yang datang untuk bersembunyi. Temannya itu panik dan ketakutan setelah melihat kawannya tersungkur diterjang peluru. Matu Laki merasa tidak bersalah. Namun, bagaimanapun pembelaan diri yang dilakukannya, dia tetap menjalani pemeriksaan, penyiksaan, dan dakwaan yang sama seperti tiga belas orang tersangka pengedar narkotika lainnya.

Enam tahun terbuang di dalam penjara, selepasnya Matu Laki bertekad mengubah arah hidupnya. Di balik dinding LP dia telah banyak belajar, bertukar pengalaman dan mimpi. Maka, perlahan Matu Laki berubah menjadi bos preman yang disegani. Dimulai dari Kampung Banda, di sana dia mengelola para pemuda pengangguran termasuk beberapa petinju yang gagal berprestasi. Mereka dipekerjakan sebagai centeng. Matu Laki cukup cerdas untuk mengerti bahwa betapapun pesatnya lompatan teknologi pada abad 22, belum ada yang bisa menggantikan posisi penagih utang.

Bapa Raja, begitu nama panggilan beliau pada masa tuanya. Semua warga Kampung Banda mengetahui nama itu. Sebagian besar mereka menaruh hormat, meski ada juga sebagian yang menganggapnya sebatas pemimpin para tukang pukul.

Yang jelas, Bapa Raja Matu Laki tidak pernah lagi berurusan dengan hukum. Dia selalu memperhitungkan dengan saksama langkah-langkahnya. Matanya dia latih untuk melihat setajam mata serigala. Kenalilah musuhmu, sebuah prinsip yang dipakainya, seperti kata-kata Tsun Zu. Buku The Art of War selalu tergeletak di meja kerjanya.

Bob yakin sejarah kakek canggahnya itu salah satu yang secara bawah sadar membuat ayahnya tidak berkenan dia menjadi polisi. Bahkan pendapat ayahnya didukung saudara-saudaranya, paman, tante, hingga omanya. Hanya ibunya yang abstain. Mereka menyuruhnya mencari universitas untuk tempat kuliah dan silakan memilih jurusan apa saja. Mario berbicara lewat telepon, ikut meyakinkannya bahwa dia tak perlu memikirkan soal biaya. Namun, Bob masih berusaha memberi alasan kepada ayahnya.

"Pai, beta tidak pintar seperti kaka-kaka. Tidak juga suka baca buku tebal-tebal. Beta bisa ukur kemampuan."

Ayahnya menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut. "Jadi, karena itu pula ale mau masuk polisi?"

"Ai, enggak begitu juga! Tapi, Pai, beta pintar melacak pencuri," jawab Bob lalu melirik Alex sambil mengedikkan kepala.

Bob berbelok di jalan kecil yang lebih ramai oleh pejalan kaki. Di situ ada jalan masuk samping gedung perkantoran serta blok restoran dan cafe di sisi lainnya. Dia tahu jalan itu menjadi destinasi sarapan dan makan siang favorit para karyawan seperti dirinya, selain enak harganya sesuai gaji. 

Kali ini kaca mata matahari terpacak di mukanya. Dipadu sepatu kulit bersol tebal makin menunjukkan gaya seorang petugas keamanan, bahkan mungkin akan ada yang mengira bahwa dia seorang polisi Betaverse yang sedang berpakaian preman. Umumnya warga Betaverse sudah paham ciri-ciri tersebut. Namun, pengunjung dari luar akan melihatnya lebih sebagai turis karena tertipu dengan kemeja flanel kotak-kotak dan celana jin ketatnya.

Sambil bersiul dan mengayuh pelan dia mengamati dengan acak setiap wajah. Dia tengok pula sudut-sudut kosong yang terlewatkan dari perhatian orang. Firasatnya belum hadir. Intuisinya belum berbicara.

Tiba di persimpangan dia mengerem sepedanya. Matanya memindai sebentar pemandangan di seberang. Biasanya jika ada sesuatu yang ganjil, pandangannya akan kembali ke tempat itu bagaikan terdapat sensor khusus yang bekerja di dalam kepalanya. Dia percaya intuisi tidak akan pernah tergantikan oleh mesin.

Bob curiga bahwa ada yang salah dengan sistem pengawasan keamanan inteligen digital Betaverse. Semalam Departemen Kepolisian menginformasikan dugaan adanya pengunjung ilegal yang menyusup melalui pelabuhan Dermaga Selatan. Laporan itu melampirkan foto tangkapan kamera sirkuit.

Polisi tentu telah memeriksa pelabuhan, lokasi penampakan tersebut. Jika tidak ditemukan apa pun di sana dan tidak terlacak lagi di tempat lain, agaknya itu bukan kunjungan ilegal biasa. 

Bob meraih kartu yang menggantung di lehernya. Dia buka layar sentuhnya untuk melihat kembali foto itu. Dia perbesar gambar wajahnya. Seorang laki-laki dewasa, memiliki berewok seperti sudah tidak dicukur berbulan-bulan, usia sekitar 40 tahun, etnis melayu. Kemungkinan besar orang Jawa, pikir Bob. 

Jaket hitamnya meski tampak lusuh, tetapi model yang biasa dikenakan orang zaman sekarang, berpotongan sederhana dan berbahan halus. Namun, Bob yakin, apabila orang ini tadi berada di jalan ini, akan dengan mudah dia temukan karena wajah sawo matang dan berbulunya yang mencolok. Menurutnya, orang ini peringkat kedua lelaki eksotis di jalan ini, tentu saja setelah dirinya.

Polisi tentu sedang mengolah semua data yang mereka dapatkan. Seharusnya identitas orang tersebut bisa segera diketahui. Namun, terlalu banyak hal yang mustahil pada kasus kali ini. Sepuluh jam telah lewat, belum ada perkembangan baru atau petunjuk lain selain foto penampakan tersebut. Hal yang tidak pernah terjadi selama tiga tahun lebih dia bekerja di Betaverse.

Bob berdiri di atas pedalnya. Dia menggenjot lebih kuat untuk pulang. Sepertinya dia telah menemukan firasat yang dia tunggu. Bukan dari hasil observasinya, melainkan dari memori pengalamannya di masa lalu. 

Dia tak sabar untuk menghubungi Andi Bugis, bekas rekan kerjanya yang telah direkrut Departemen Kepolisian Betaverse. Dia bisa membahas hal ini dengannya.

Namun, yang dia butuhkan sekarang adalah istirahat, tidur dengan minta dikeloni Martina.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status