Share

5. Babah dan Ningsih

Jakarta Timur, April 2250

Ningsih memanggil ayahnya dengan Babah, atau Babah Su'eb. Kata ibunya, itu gara-gara waktu pertama diajari bicara lidahnya tidak mau mengucapkan kata Abah dengan benar. Lalu untuk seterusnya panggilan Babah itu terpatri di lidahnya. Sementara ibunya selalu memanggil dengan Abah, atau Abah Su'eb.

Demikian pula sebaliknya, Babah suka memanggilnya dengan Dewi. Babah jelas tahu nama lengkapnya adalah Sri Ningsih. Ibunya selalu memanggilnya Ningsih. Babah sendiri mengaku tidak ingat sejak kapan dia mulai memanggilnya dengan nama berbeda. Mulyo yang baru dua setengah tahun dengan lidah mungilnya sudah bisa pula memanggil namanya, Kak Ningsih. Namun, bocah laki-laki itu seperti tidak terlalu peduli dengannya dan selalu menempel pada ibu.

Mereka berempat selama ini tinggal di ladang mobil. Itu adalah sebuah lahan datar seluas lapangan bola tempat ratusan bangkai mobil bekas ditelantarkan. 

Babah bertanggung jawab mencarikan mereka bangkai mobil yang layak untuk tidur pada malam hari. Kedua mobil yang Babah pilih selalu berdekatan. Mereka tidak terlalu sering berganti mobil tetapi pasti tidak pernah lebih dari setahun tidur di bangkai mobil yang sama. 

Dua mobil berarti dua jok belakang, satu untuknya, satu untuk ibu. Sejak bayi, Mulyo tidur bersama ibu. Babah biasa tidur di jok depan dalam posisi duduk bersandar dengan menekukkan bahu dan lehernya seperti si Belang Oren. Kadang Babah satu mobil bersama ibu dan kadang menemaninya.

Ketika Babah mencoba tidur di jok depan dan dia di belakang saat itulah Babah dan Ningsih saling bertanya tentang yang mereka pikirkan selama seharian. Ningsih akan menjawab singkat dan pelan. Sebaliknya Babah menjawab lebih semangat bagai seorang guru. 

Hanya kepadanya Babah bisa membicarakan hal-hal aneh yang tidak nyata seperti soal jalan-jalan naik mobil ke Pemalang. Mereka berempat. Ibu duduk di belakang bersama Mulyo dan dia duduk di kursi depan, menemaninya mengobrol agar tidak mengantuk saat menyetir. Babah menjanjikan bahwa dia akan dapat menikmati perjalanan di jalur pantai utara untuk pertama kali.

Pemilik ladang mobil cukup baik membiarkan mereka tinggal di sana. Ningsih tidak tahu sejak kapan ayah ibunya menempati ladang mobil. Yang pasti hingga enam belas tahun usianya, dia tidak ingat pernah pindah ke tempat lain. Barangkali, jika mereka pindah Babah khawatir akan ada orang lain yang menggantikan mereka. Tidak mudah memiliki tempat gratis dilengkapi barang-barang rongsokan yang bisa dimanfaatkan apalagi perlu waktu lama untuk membangun kepercayaan dengan pemiliknya yang tidak mereka kenal. Sesekali beberapa tukang datang bekerja membongkar dan memotong mobil. Sesekali bangkai mobil yang baru, didatangkan. Namun, pemilik ladang mobil itu tidak pernah menunjukkan mukanya.

Jumat kemarin Babah dan Ningsih berangkat setelah azan subuh. Cuaca selalu cerah di Jakarta sejak memasuki bulan April. Kegiatan rutin Babah sedari Ningsih balita ialah menarik gerobak kayunya naik ke jalan raya yang agak lebih tinggi di atas ladang mobil untuk selanjutnya pergi berkeliling berdua. Selalu saja ada barang yang dibuang orang tetapi berguna bagi mereka. Setiap hari ada jutaan orang berlalu-lalang di satu jalan di Jakarta, sumber mata pencarian mereka seolah tidak akan pernah habis.

Babah selalu memperhatikan Ningsih, kalau-kalau dia kelelahan. Saat berhenti sejenak, mereka akan duduk di bawah pohon di atas trotoar. Hari itu Ningsih mengenakan seragam SD-nya. Sambil beristirahat dia membaca buku dari tas sekolah di dalam gerobak.

Dia tahu seharusnya dia sudah menginjak SMA. Dia pernah menghitung-hitungnya. Akan tetapi, dia tak peduli, sama seperti orang-orang yang berseliweran di jalan. Lagi pula badannya kurus dan tidak tinggi. Sering saat memperhatikan wajahnya di kaca jendela atau spion mobil apabila mereka pulang cepat di sore hari, Ningsih merasa kalaupun dia mampu, kepala sekolah tetap akan menolaknya karena mengira dirinya masih terlalu muda, belum cukup umur.

Selama ini pun, dengan seragam yang walau sudah kelihatan kumal tetapi masih jelas terlihat sebagai seragam putih merah sekolah dasar, tidak ada orang yang heran. Tidak ada yang pernah menanyakan umurnya, kecuali Pak Amir, atau Bang Amir, seorang mahasiswa yang tiba-tiba memarkir sepeda listriknya untuk turun menghampiri Ningsih dan Babahnya.

Berbulan-bulan Bang Amir menyempatkan diri berbincang dengan Babah di pinggir jalan. Akhirnya, tiga tahun lalu Ningsih mulai pergi ke sekolah dasar non formal di sebuah rumah singgah. Bang Amir kadang ikut pula menjadi gurunya. Bang Amir mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan sering menghadiahinya buku untuk dibaca.

Dia masih sedang berusaha memahami buku terbarunya. Buku bacaan untuk SD itu menceritakan tentang perjuangan sebuah keluarga petani di desa dalam menanam padi di sawah dari awal hingga panen. Ningsih tidak pernah melihat sawah tetapi dia menyukai ilustrasi yang ada di dalam buku.

Babah mendukung semangat Ningsih dalam belajar. Sejak awal dia bukan tidak mau menyekolahkan Ningsih melainkan tidak ingin kehilangan dirinya. Kata Babah, pemerintah bisa secara paksa membawanya pergi jika mereka tahu status Ningsih. Dengan mendaftar ke sekolah, itu sama saja dengan memberi tahu pemerintah bahwa Ningsih ingin dijemput untuk pergi meninggalkan Babah. Walau kurang begitu paham, Ningsih tidak ingin pula kehilangan Babah-nya. Jadi, sampai saat ini Ningsih aman, dia bisa duduk istirahat bersama ayahnya di bawah pohon di pinggir jalan pada jam sibuk saat orang-orang berangkat kerja.

Jalan aspal itu dipadati mobil listrik yang menuju utara. Warna cat mobil-mobil itu berkilau ditimpa cahaya matahari. Sementara jalur di dekat mereka yang mengarah ke luar Jakarta, tampak lengang. 

Babah memandangi mobil yang berderet-deret tersebut. Lalu sambil sesekali menoleh kepada Ningsih yang berusaha membagi waktu antara membaca dan membalas tatapannya, Babah berkata bahwa biaya sekali mengisi listrik satu mobil itu sama dengan biaya makan mereka berempat selama satu minggu. 

"Kalau biaya mengganti baterainya dengan yang baru setara dengan biaya makan keluarga kita selama 50 tahun. Hanya orang kaya yang dapat berada di dalam mobil-mobil itu."

Babah berdecak. Beberapa bulan terakhir Babah dan Ningsih sering pulang sore dari keliling memulung barang bekas—Babah tidak pernah mau menyebut mereka sampah. Di ladang mobil sebelum gelap, Babah punya kesibukan sendiri. Di ujung lain dari tempat bangkai mobil kamar mereka, Babah memiliki sebuah mobil bekas yang menyedot waktu dan perhatiannya. Dari kejauhan Ningsih bisa melihat Babah menukangi mobil hitam itu. Kemudian ketika azan magrib terdengar Babah kembali menutupi mobil itu dengan barang rongsokan seperti ban bekas, kursi jok yang telah sobek-sobek, hingga ranting-ranting kering. Hal itu tidak pernah dia lakukan saat mempersiapkan mobil pengganti untuk tempat tidur mereka.

Seandainya Babah hendak memperbaiki mobil hitam rongsokan itu, bukankah artinya setelah berhasil diperbaiki, Babah tetap tidak mampu membiayai pengisian listriknya? Babah tidak akan menghabiskan uang makan mereka untuk satu minggu demi mengisi listrik mobil tersebut.

"Babah, bukankah orang-orang kaya terbang naik mobdron?"

"Sekarang mereka punya dua-duanya. Mobdron dan mobil beroda juga. Pegawai bergaji bulanan dan harian terpaksa memilih naik kereta atau naik sepeda demi berhemat. Sementara, orang kecil seperti kita … tidak membutuhkan kendaraan. Kita berjalan kaki."

Pikiran Ningsih kembali terpantik kata-kata Babah. Dilayangkan pandangannya ke jalan. Lalu kepalanya yang terbungkus rambut hitam halus yang diikat karet itu mendongak ke langit. Belum ada mobdron yang lewat. Rombongan mobdron mulai ramai menjelang pukul sembilan, kata ayahnya suatu kali. Saat pandangan matanya kembali turun, seketika kedua mata sayunya membelalak.

"Babah!" Ningsih menutup buku bacaan itu. Dia bersiap beranjak untuk memasukkan bukunya kembali ke tas sekolah di dalam gerobak.

"Tenanglah, Dewi!" ujar Babah. "Mereka jauh di seberang sana."

"Mereka sama dengan yang kemarin. Nanti mereka melihat kita!"

Babahnya memperhatikan dengan tenang sejumlah anak muda dengan penampilan mencolok karena gaya pakaiannya yang aneh, sedang berjalan selamban kura-kura. Sekilas mereka seakan sedang mondar-mandir di atas trotoar, padahal tidaklah demikian.

Hanya satu atau dua orang yang berjalan bolak-balik. Tiga yang lain tetap berjalan lurus ke utara, ke arah dalam kota Jakarta. Dua orang yang mondar-mandir tetap mengikut tiga yang lain. Mereka melakukan hal tersebut bergantian. Semua dalam gerak lambat.

"Mereka itu kesurupan," kata Babah. "Atau bisa juga pecandu obat. Kamu jangan sampai seperti mereka!"

Ningsih menatap biji mata hitam ayahnya. Dia sangat hafal wajah Babah. Tebal alis matanya. Lebar keningnya. Hidungnya yang agak besar. Pori-pori bekas jerawat di masa mudanya. Dan rahangnya yang menonjol. Babah juga terlihat lebih tua daripada beberapa tahun lalu. Kumis dan janggut tipisnya telah diselingi uban putih.

"Teruslah memiliki harapan!" tambah Babah sambil mengusap rambut Ningsih.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status