Share

Mampir di Tukang Daging

Tiga hari berlalu begitu saja. The Filantropi sama sekali tidak menampakkan kemajuan. Sejak melabrak RM. Padang Jaya, keseharian Ariadna hanya diisi amarah dan kebencian.

"Awas aja! Aku nggak akan tinggal diam. Aku bakal cari bukti kuat," gerutu wanita yang kini mengenakan setelan biru santai tanpa make-up di wajah.

Hubungannya dengan restoran seberang sudah resmi berperang. Sialnya, mereka tak bisa menjauh karena lokasi yang berdekatan.

"Andai The Filantropi bukan peninggalan nenek dan kakek, pasti aku udah pindah dari sana. Males banget tiap hari liat bos aneh itu ngatur-ngatur antrean. Emang pantesnya jadi satpam, bukan bos."

Kini, Ariadna tengah duduk di bangku bus kota yang sepi. Seperti biasa, The Filantropi tutup lebih awal. Dia juga sengaja tak membawa sepeda motor agar bisa keliling kota naik bus.

Pemandangan luar sedikit menghibur hati gundah wanita itu. Jendela bus yang sedikit terbuka, menyapa angin memainkan rambut Ariadna.

"Kayaknya aku harus pergi ke pasar. Lihat orang-orang, lihat keramaian. Pasti perasaanku nggak butek begini. Siapa tahu aku nemu bahan baru," ucapnya.

Rencana singkat itu cukup membuat Ariadna terhibur. Istilah healing yang sesungguhnya adalah membahagiakan diri sendiri. Self-healing.

"Pak! Berhenti di pasar depan, ya!" pekik Ariadna pada supir yang ada di depan.

"Siap, Neng!"

Jam sudah hampir menunjukkan pukul tiga sore. Pasar tradisional masih beroperasi.

"Kayaknya ada bakso enak di dalam pasar. Buka nggak, ya?"

Setelah bus yang ditumpangi berhenti di halte, Ariadna turun dan menyusuri trotoar tepi pasar. Matanya memandang ke segala arah.

"Wah! Ini yang aku cari!"

Dia berkata lagi, "Sebelum lihat-lihat, cari bakso dulu! Baksoooo! Aku datang!" teriaknya. Membuat beberapa kuli panggul menoleh heran.

Setiap wanita itu lewat, ada saja pedagang yang menawarkan ini dan itu. Sudah seperti artis yang diserbu fans.

"Kacangnya, Neng! Murah meriah!"

"Seladanya masih segar, Mbak. Beli tiga ikat saya beri gratis satu. Silakan dipilih!"

"Daster! Mbak dasternya, Mbak! Kualitas bagus harga cuma tiga puluh ribu!" teriak wanita berambut merah di kios dalam pasar.

Rupanya suara sahut-sahutan seperti ini yang dicari Ariadna. Tak sengaja bibirnya tersenyum meski harus menolak tawaran yang tak ia butuhkan.

"Kok aku lupa lokasi kios baksonya, ya? Deket sama bagian daging nggak, sih? Awas aja kalau sampai pindah kios," celetuk wanita cantik itu.

Setelah melalui berbagai area, akhirnya Ariadna memasuki bagian daging-dagingan. Aroma amis yang khas, tapi dia menyukainya.

"Ternyata jam segini masih ramai."

"Mbak, ayo mampir. Mau daging sapi yang seperti apa? Bagian apa? Di sini ada semua, lho! Masih seger! Tadi ada pasokan daging baru datang. Masih komplit dan fresh!" tawar si penjual daging dengan ramah dan antusias.

Bahkan kepala sapi saja ada di sana. Lebih dari sekadar lengkap. Ariadna hanya tersenyum kecut.

Ariadna sontak menolak. "Nggak dulu, Bang. Saya kemari cuma mau lihat-lihat. Nggak bisa kalau disuruh masak daging sapi. Apalagi yang utuh-utuh begini. Kalau lihat-lihat, favorit banget!"

"Wah, sayang sekali. Padahal daging saya bagus-bagus."

"Ya besok-besok saya suruh pegawai saya belanja di sini, ya. Stoknya ada setiap hari kan, Bang?" tanya Ariadna memastikan.

"Ada! Loh? Mbak kerja apa, toh?"

"Saya punya restoran, Bang. Meneruskan usaha kakek nenek. Tapi bodoh kalau disuruh olah makanan. Hahaha. Yang penting bisa urus duitnya. Ya nggak, Bang?"

"Siaaaap! Hahahaha."

Mereka malah jadi bercanda tawa. Berbasa-basi manjur untuk melupakan beban di otak Ariadna. Abang-abang daging juga menanggapi candaan. Padahal, umurnya sekitar sepuluh tahun di atas si wanita.

"Bang, kepala sapi bisa kemasukan setan nggak, sih?" tanya Ariadna, asal-asalan.

"Hah?"

Ariadna bertanya lagi, "Bisa, nggak? Segede itu, lho. Jangan-jangan kalau malem terbang nyari mangsa. Kayak kuyang. Abang pernah dengar istilah kuyang, nggak?"

"Oh! Pernah! Tetangga saya pernah nemu kuyang di pinggir kali!"

"Terus?"

"Jeroannya dijadiin rendang!"

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Baru saja kenal, keduanya sudah asyik sendiri. Untungnya, si penjual daging belum didatangi pembeli.

Di saat asyik mengobrol, keceriaan itu lenyap oleh sesuatu yang masuk ke indra penglihatan Ariadna.

Sesosok lelaki berwajah ketus muncul dari sisi kanan, melalui lorong pasar yang sedang kosong. Lelaki itu berhenti tepat di depan tukang daging tempat Ariadna nongkrong sambil bercanda.

"Bang, kayak biasa, ya. Otak sapi," ucap lelaki itu. Setelah Ariadna meneliti, rupanya William yang muncul.

Si pria penjual daging membalas, "Siap, Bos!"

Kedua mata Ariadna terbelalak. Dahinya mengernyit melihat munculnya sosok yang tidak ia sukai.

"Bang! Kenal sama kuyang yang ini?" tanya Ariadna pada si Abang daging sambil menunjuk lelaki yang datang.

William menatap sinis pada wanita yang mengoloknya, "Nggak usah mulai. Nanti kalau aku melawan, kamu nggak terima! Urus dulu bukti sabotase yang kamu agung-agungkan itu. Baru kita duel dan buktikan siapa yang salah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status