Share

Mereka Tidak Mengaku!

William justru bingung mendengar penjelasan itu. “Maksudnya? Siapa yang menyewa promotor?”

“Ya kamu, lah! Masa aku? Kamu sama si perempuan babi ini kan pengelola tempat ini. Mana mungkin kamu nggak tahu tentang orang-orang berpakaian serta hitam di depan Super Mall. Mereka mempromosikan rumah makan padang ini. Tapi, kenapa harus menjatuhkan restoranku? Kenapa harus nyebarin isu palsu dan hinaan rendahan ke restoranku? Kalau emang mau bersaing, ya udah! Kita bisa bersaing secara sehat. Toh, makanan yang kita jual beda jauh. Persaingan kita nggak seketat itu! Kenapa masih main kotor, sih?" Ariadna semakin memprotes.

“Kamu jangan asal nuduh, dong. Kamu punya bukti, nggak? Bisa aja kamu salah dengar,” sahut Tami.

“Hah? Salah dengar? May, apa menurutmu aku salah dengar? Telingaku ini belum tuli, lho!” tanya Ariadna pada May yang berdiri diam di sisi kirinya.

“Nggak, Ar. Kita sama sekali nggak salah dengar. Aku juga dengar hal yang sama. Justru aku berdiri tepat di depan muka orang licik itu. Sayangnya, muka para promotor itu setengah tertutup. Mereka pakai masker dan topi," jawab May.

“Nah! Kamu aja nggak lihat jelas wajah orang itu. Coba kamu cari, apa orangnya ada di sini? Lihat! Di sini cuma ada aku, William, Pak Waluyo, dan Agus. Nggak ada yang lain! Jangan-jangan kamu halusinasi!” Tami melawan lagi.

"Jangan asal ngomong, babi!"

William mengacak rambutnya. Dia memutar otak dan membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Dia sama sekali tidak merasa bersalah.

Seharian ini, William pergi bersama Tami untuk mengecek stok daging sapi dari pemasok. Lalu berbelanja dengan mobil pick-up.

“Kamu nggak bisa nuduh kami tanpa bukti kuat. Aku baru balik ke sini! Pak Waluyo dan Agus juga udah kerja dari pagi ngurus antrean pembeli. Kami nggak ada waktu buat menyabotase restoranmu. Aku emang mencetak brosur ini minggu lalu. Hari itu juga, kami udah bagi-bagikan brosur promosi sampai habis. Itu pun kami sebar di dekat stasiun kota dan terminal. Kami pakai strategi bersih dan jujur. Nggak ada ucapan yang menyinggung restoran mana pun. Tanya aja Pak Waluyo. Beliau pekerja paling jujur dan bertanggung jawab,” jelas William panjang lebar.

Ariadna mengelak, “Terus? Kenapa tadi ada yang promosiin lagi? Kenapa orang-orang itu merusak nama baik The Filantropi? Aku dan rekanku salah apa? Sejak rumah makan ini berdiri, restoranku mendadak jadi sepi seperti kuburan. Awalnya aku pikir kalian pakai pesugihan dan melihara setan. Tenyata setannya kalian sendiri! Kalian yang pakai cara licik!"

“Itu bukan ulah kami! Sumpah! RM. Padang Jaya emang masih baru. Antrean yang panjang itu, hasil dari kualitas baik makanan kami. Mungkin karena diskon yang aku pasang, pembeli jadi bertambah. Aku sama sekali nggak main kotor!” William kembali meyakinkan.

Ariadna terdiam. Dia ingin mengelak lagi. Tapi, dia memang tidak memiliki bukti yang sangat kuat. Hanya topi hitam itu yang ia bawa.

Dia sama sekali tidak percaya dengan ocehan dari mulut William, apalagi Tami.

“Aku berani sumpah. Sumpah pocong! Aku nggak main kotor. Kita nggak saling kenal. Buat apa aku merusak usaha orang yang aku sendiri nggak tahu penampakan orangnya? Aku nggak sejahat itu! Akal sehat dan hati nuraniku belum mati,” lanjut William.

Antrean pembeli terus berjalan dalam pelayanan Pak Waluyo, sambil mencuri dengar masalah yang tengah memanas.

Beberapa pembeli yang makan di tempat pun ikut menyaksikan drama emosional di tengah santapan mereka. Beberapa ada yang pergi karena merasa terganggu.

Melihat situasi yang semakin membingungkan, May mendekatkan tubuhnya pada Ariadna.

Dia menyampaikan sesuatu melalui bisikan lirih yang hampir tidak terdengar oleh orang lain selain Ariadna.

“Ar, yang diomongin laki-laki ini bisa jadi benar. Siapa tahu, di luar sana ada oknum yang sengaja mau jatuhin kamu. Tapi bukan orang sini. Ya ... aku nggak bisa memastikan, sih. Tapi ada baiknya kita pergi sekarang. Kita jadi pusat perhatian banyak orang, Ar,” bisik May.

"Kamu ... belain dia?"

"Bukan gitu. Aku cuma nggak mau kamu ngelabrak orang tapi buktinya nggak ada."

Ariadna masih mematung memikirkan ucapan May. Mustahil mempercayai orang-orang yang ada di hadapannya.

Hanya saja, memperpanjang perbedatan pun rasanya tidak akan membuahkan hasil. Tidak ada yang mengakui kesalahan. Justru mereka memberikan elakan.

Pelaku dari sabotase itu rasanya semakin tidak jelas dan susah terdeteksi. Meski begitu, kecurigaan terdalam Ariadna jatuhkan pada dua pengelola RM. Padang Jaya yang kini menatapnya tajam.

William dan Tami.

Setelah menghela napas dalam, Ariadna kembali meluncurkan kalimatnya kepada William. “Wahai pengelola RM. Padang Jaya yang terhormat, paling terhormat di seluruh alam semesta. Aku emang nggak punya bukti kuat. Tapi, kalian semua tetap dalam pengawasanku. Aku masih curiga dan nggak percaya sama kalian. Aku akan cari tahu lebih dalam lagi. Aku yakin, meski nggak seratus persen, ada permainan kotor di dalam sini!”

“Terserah kamu! Aku udah jelasin sejujur mungkin. Aku juga capek menyakinkan perempuan bebal kayak kamu,” balas William ketus. Kesabarannya sudah terkuras habis menghadapi Ariadna.

Tami menimpali, “Ngakunya bos, tapi nggak punya sopan santun di tempat orang lain. Baru datang udah gedor-gedor pintu. Kamu pikir itu ruangan pengelola? Pintu yang kamu pukulin itu ... pintu kamar mandi! Kamu mau nyari siapa di dalam kamar mandi?”

Jawaban Tami mengundang tawa beberapa orang. Pembeli yang datang pun ikut menertawakan kecerobohan dan kekikukan Ariadna. William pun demikian.

Melihat suasana semakin memalukan dan aneh, Ariadna hengkang dari tempat itu dengan menarik pergelangan tangan May.

Tanpa pamit dan tanpa keramahan sedikit pun, dia tinggalkan RM. Padang Jaya dengan perasaan yang tidak menentu.

Seiring dengan pergerakan Ariadna dan May menuju pintu keluar, pandangan William tak lepas dari sosok itu. Kepalanya hingga memutar mengikuti arah Ariadna melangkahkan kaki.

Pintu kaca rumah makan itu membuat William dapat mengamati gerak-gerik Ariadna hingga menyeberang jalan menuju The Filantropi. Masih ada rasa penasaran bercampur benci yang tertinggal di batin William.

“Dia ... kenapa, sih?” tanya William dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status