William menoleh ke segala arah dengan pandangan yang masih buram. Dahinya berkerut saat melihat banyak sekali foto yang menempel di dinding. Kedua matanya langsung terbuka lebar saat menyadari ada wajahnya di sekian banyaknya foto yang menempel di ruangan tersebut.Sial ... ruang apa ini?Saat tengah sibuk berpikir, tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka lebar. Nampak dua orang pria dengan setelan jas mulai mendekat ke arahnya. Salah satu dari pria itu mengeluarkan sebuah kartu tanda pengenal dan mendekatkannya ke depan wajah William."Anda tau orang ini?"William menggeleng cepat. "Tidak, saya tidak tau."Bugh!Pukulan kuat langsung mendarat tepat di wajah William. Pelakunya tertawa begitu senang, apalagi melihat darah segar yang mengalir di sudut bibir William."Jawab yang benar kalau tidak mau dipukul!" bentak salah satunya."Jangan terlalu bersemangat, Rey," ujar pria yang terlihat tenang di belakang."Baik, Sena."Setelah itu, Sena mengambil alih kartu tanda pengenal yang ada d
Seorang pria nampak tengah serius menatap layar monitor di depannya. Bahkan saat angin yang masuk lewat jendela menerpa matanya, ia sama sekali tidak berkedip. Hingga suara ponselnya berhasil membuatnya bangun dari kursi."Sial! Ada saja yang mengganggu!"Pria bernama Heris itu langsung meraih ponselnya. Ia terdiam cukup lama memandangi nama orang yang menghubunginya. Haris.Saudara kembarnya yang lebih tua lima menit dan hidup serba mewah. Berbeda jauh dengannya yang harus berjuang mencari uang sebagai penjoki judi online. Kekerasan juga seringkali dirasakannya saat pelanggan merasa tidak puas dengan kinerjanya. Tentu berbeda jauh dari Haris yang duduk di kursi empuknya. Setelah helaan napas panjang, ia segera menjawab panggilan tersebut."Ada apa lagi?" tanya Heris sembari menyisir rambutnya ke belakang."Kamu ada di mana sekarang?"Heris mendekati papan nama yang ada di atas meja. "Entahlah, sepertinya di dalam perusahaan besar.""Kamu masih mengerjakan pekerjaan kotor itu?"Mende
Heris memandangi bangunan megah yang ada di depannya. Tentu saja berbeda jauh dari mansion tempat tinggalnya yang tidak terurus. Perlahan tangannya menekan bel rumah itu. Tidak perlu menunggu lama, pintu langsung terbuka. Nampak seorang wanita cantik yang langsung berlari ke arahnya dengan wajah gembira.Pasti wanita ini yang bernama AleyaHeris sedikit menoleh ke belakang. Sekilas melihat William yang masih mengawasinya dari luar pagar. Saat wanita itu menyentuh lengannya, Heris langsung mundur beberapa langkah. Kedua matanya terbuka lebar dan mulai gemetar."Ada apa, Mas? Kok kamu ketakutan begitu?"Kedua alis Heris terangkat. "Apa? Ti-tidak kok."Aleya semakin mendekati Heris dengan dahi berkerut. "Kamu sakit, Mas? Suaramu aneh."Heris menggeleng cepat, lalu bergegas menjauhkan tubuhnya. Ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya, ia merasa kakinya semakin melemas. Penyakitnya mulai kambuh lagi. Secepat mungkin ia masuk ke dalam rumah dan meninggalkan wanita tersebut.Begitu tiba
Jantung Heris berdetak sangat cepat. Seluruh tubuhnya terasa gemetar saat memasuki gedung besar di depannya. William yang berdiri di sampingnya mendeham pelan."Jangan gugup," bisik pria tersebut.Heris mengangguk pelan. "Jangan menghilang dari jangkauanku ya."William mengangguk tegas. Begitu memasuki pintu utama, mereka langsung disambut oleh banyak karyawan yang berdiri membentuk barisan dan menyisakan jalan di tengahnya. Heris menarik napas panjang, lalu mulai berjalan sembari tersenyum pada semua orang yang ada di sana bagaikan seorang idol. Tiba-tiba saja sebelah tangannya dicubit oleh William. Lalu pria itu sedikit berbisik di dekat telinganya."Jangan tersenyum seperti orang bodoh. Anda mau mati?"Senyum di wajah Heris langsung sirna. Ia mendeham pelan, sebisa mungkin menahan kedua sudut bibirnya yang berkedut. Untuk pertama kalinya ia tidak tersenyum pada orang-orang yang menyambutnya dengan ramah.Ah, sial sekali. Ternyata selama ini kakakku menjalani hidup yang mengerikan.
Malam terasa sangat dingin, Heris menarik selimutnya lebih tinggi lagi hingga menutupi dada. Namun dahinya mulai berkerut saat rambutnya seperti diterpa angin kencang. Akhirnya ia segera membuka mata. Ia melirik ke arah jendela yang ada di dekat ranjang. Kedua matanya terbelalak saat menyadari kalau jendelanya sudah terbuka lebar."Bagaimana bisa?" gumam Heris sembari turun dari ranjangnya.Baru saja menjejakkan kakinya di lantai. Matanya langsung tertuju pada lemari yang sudah terbuka lebar. Untuk kedua kalinya ia mendapati semua pakaian sudah berserakan di lantai."Brankasnya!"Heris melangkah cepat ke arah lemari tersebut. Kedua matanya terpejam erat, lalu sebelah tangannya memukul lemari dengan kuat. Ia kehilangan satu-satunya barang yang mungkin berisi kepingan puzzle pembunuhan Haris."Papa!"Teriakan Hamdan yang begitu keras menyeruak masuk ke telinga Heris. Secepat mungkin ia berlari keluar dari kamar. Ia menuruni tangga dengan terburu-buru. Begitu tiba di bawah, ia mendapati
"Sebenarnya, apa isi brankas itu ya?" gumam Heris sembari menyisir rambutnya ke belakang.William yang tengah mengemudikan mobil sedikit melirik ke arahnya. "Brankas apa?""Entahlah, ada brankas di dalam lemari Kak Haris. Tapi semalam ada orang yang mencurinya."Tiba-tiba saja William menginjak rem hingga membuat Heris tersentak ke depan. Ia membulatkan kedua matanya dengan mulut bersiap untuk mengumpat. Namun tatapan William langsung membuat semua kalimat yang sudah tersusun rapi di kepalanya itu menghilang."Saya akan merekrut dua penjaga lagi di dekat kamar Anda," ujar William.Heris langsung menggeleng. "Tidak perlu sampai sebegitunya.""Saya yang sudah memaksa Anda, jadi keselamatan Anda itu prioritas bagi saya."William langsung menepikan mobilnya dan meraih ponsel yang ada di dashboard. Ia nampak menghubungi seseorang dengan mata sesekali melirik ke arah Heris melalui spion."Apa kau luang?"Wah ... Dia menelepon tanpa menyapa, membawa pistol, dan memukul atasannya. Benar-benar
"Tempatnya benar di sini?"Heris mengerutkan dahinya. Ia mencoba untuk terus memahami gambar yang ada di ponselnya. Namun rupanya sangat sulit, karena gambarnya hanya menampakkan kotak-kotak saja."Hei!""Apa?" sahut Heris yang seperti baru sadar dari lamunannya."Benar di sini tempatnya?"Heris mengedikkan bahunya, lalu menyodorkan ponsel itu pada William. "Bagaimana aku tau? Semua gambarnya terlihat sama!""Rupanya perbedaan Anda dengan Pak Haris ada di otaknya," gumam William."Kurang ajar."Heris dan William langsung turun dari mobil. Lalu mereka mulai menelusuri satu-satunya jalan setapak yang ada di dekat bangunan tua dengan cat setengah luntur. Begitu tiba di depan pintu besar, William langsung membuka pintu tersebut. Kemudian ia mendorong Heris masuk ke dalam ruangan tersebut dan menutup pintunya. "Hei! Apa yang kamu lakukan sialan?!" teriak Heris sembari berulang kali memukul pintu dengan keras."Anda lewat pintu utama, saya akan lewat pintu belakang," ujar William.Heris ya
"Pelan-pelan," ujar Heris sembari menggenggam pergelangan Aleya.Aleya terkekeh pelan, matanya sesekali melirik ke arah pria yang saat ini nampak sangat khawatir. Sementara Hamdan terus mengikuti mereka dari belakang. Saat hendak masuk naik ke tangga, Heris langsung menghentikan wanita tersebut."Kamu mau ke mana?" tanya Heris.Aleya menunjuk ke lantai dua dengan dahi berkerut. "Kamarku bukan di sana?""Kamarmu di sana," ujar Heris sembari menunjuk ke arah kamar di dekat ruang tamu.Aleya mengerutkan dahinya. "Apa gak ada kamar di atas sana?""Ada, tapi kamarku."Heris kembali menuntun Aleya menuju ke arah kamarnya. Namun wanita itu memberontak dan menarik tangannya. Raut wajahnya terlihat tidak terima."Kita 'kan suami istri, bagaimana bisa kamarnya terpisah?!" protes Aleya.Heris menggaruk tengkuknya. "Ya ... itu ....""Jangan-jangan kamu bukan suamiku ya?""Aku suami kamu, Aleya. Tanya sama dia," ujar Heris sembari menarik Hamdan ke dekatnya.Hamdan hanya tersenyum tipis, lalu meme