Share

07. Tidur Sekamar

"Pelan-pelan," ujar Heris sembari menggenggam pergelangan Aleya.

Aleya terkekeh pelan, matanya sesekali melirik ke arah pria yang saat ini nampak sangat khawatir. Sementara Hamdan terus mengikuti mereka dari belakang. Saat hendak masuk naik ke tangga, Heris langsung menghentikan wanita tersebut.

"Kamu mau ke mana?" tanya Heris.

Aleya menunjuk ke lantai dua dengan dahi berkerut. "Kamarku bukan di sana?"

"Kamarmu di sana," ujar Heris sembari menunjuk ke arah kamar di dekat ruang tamu.

Aleya mengerutkan dahinya. "Apa gak ada kamar di atas sana?"

"Ada, tapi kamarku."

Heris kembali menuntun Aleya menuju ke arah kamarnya. Namun wanita itu memberontak dan menarik tangannya. Raut wajahnya terlihat tidak terima.

"Kita 'kan suami istri, bagaimana bisa kamarnya terpisah?!" protes Aleya.

Heris menggaruk tengkuknya. "Ya ... itu ...."

"Jangan-jangan kamu bukan suamiku ya?"

"Aku suami kamu, Aleya. Tanya sama dia," ujar Heris sembari menarik Hamdan ke dekatnya.

Hamdan hanya tersenyum tipis, lalu memeluk Aleya dengan erat. "Biasanya papa tidur di kamar mama kok. Aku yang tidur di kamar atas."

Mendengar itu Heris langsung mendelik. Ia tidak menyangka kalau Hamdan bisa mengatakan hal tersebut. Padahal dia tahu kalau Heris tidak pernah tidur satu kamar dengan Aleya.

"Kalau papa tidur sama mama, pasti ingatan mama bisa cepat kembali."

Menyebalkan juga anak ini! batin Heris.

Aleya yang nampak terpengaruh langsung menarik tangan Heris masuk ke kamarnya. Ia tersenyum riang, sementara pria itu terlihat panik. Apalagi saat berada di dalam kamar berdua dengan Aleya.

Ia mendeham pelan, sebelah tangannya masih berusaha menahan pintu agar tidak tertutup. Sementara Aleya sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sebisa mungkin Heris berusaha untuk mencari celah agar bisa kembali ke kamarnya.

"Ranjangnya cuma satu," ujar Heris diiringi tawa kecilnya.

Aleya mengangguk pelan. "Iya, terus kenapa?"

"Bisa-bisa kaki kamu sakit lagi."

Wanita itu terdiam sejenak, lalu memandang tangannya cukup lama. Nampaknya ucapan Heris membuahkan hasil. Sebentar lagi pasti ia bisa keluar dari sana.

"Kalau gitu kamu tidur di bawah aja gimana?"

Kedua alis Heris langsung naik. "Hah?"

"Kalau kamu keberatan tidur di bawah sendiri, lebih baik kasurnya di pindah ke luar aja. Kita bisa tidur di bawah."

Heris sontak menggelengkan kepalanya. "Jangan dong. Kamu 'kan baru pulang dari rumah sakit."

Aleya menekuk bibirnya. "Aku cuma mau tidur sama kamu. Lagian kamu 'kan suami aku."

Duh, kayaknya kemarin-kemarin dia gak begini deh! batin Heris.

Heris menelan ludahnya dengan kasar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi pada wanita tersebut. Apalagi saat Aleya terlihat seperti ingin menangis. Tentu saja itu membuat Heris sedikit merasa iba. Akhirnya ia langsung menarik kasur lantai yang ada di ruangan itu.

"Aku yang di bawah. Kamu tetap di ranjang ya. Jangan protes!" kata Heris.

Aleya tersenyum lebar. "Tapi kalau aku tidur, kamu gak boleh pergi."

"Iya."

Aleya menautkan kedua alisnya. "Serius. Janji gak?"

"Ya ampun, kayak anak kecil aja."

"Jawab dulu. Janji gak?"

Heris mendesis pelan, lalu menatap wanita itu dengan wajah datarnya. "Iya, janji."

~~~

Hamdan tersenyum lebar saat melihat kedua orang tuanya yang baru saja keluar dari kamar. Heris nampak sibuk menghindar saat Aleya ingin memasangkan dasi padanya.

"Aku bisa sendiri loh, Leya."

Senyum Aleya langsung mengembang. "Apa? Barusan kamu manggil aku apa?"

"Aleya."

Aleya menggeleng, lalu ia menoleh ke arah Hamdan. "Tadi Papa bilang apa, Hamdan?"

Hamdan menaikkan kedua alisnya. Ia menatap Aleya dan Heris secara bergantian. Kemudian seulas senyum terbit di bibirnya.

"Tadi Papa bilang sayang."

Untuk kedua kalinya, Heris dibuat melotot oleh anak itu. "Kapan Papa bilang begitu?"

Hamdan tidak menjawab, ia sibuk menyantap sarapan yang disediakan asisten rumah tangga. Sesekali ia melirik ke arah dua orang yang masih berdebat. Hingga dering di ponsel Heris membuat ruangan itu berubah hening. Secepat mungkin ia menjawab panggilan yang berasa dari William.

"Halo, Wil?" sapa Heris sembari berjalan ke arah pintu keluar.

"Anda di mana sekarang?"

Heris menautkan kedua alisnya saat mendengar suara William yang begitu berat. "Di rumah. Ada apa?"

"Tolong secepatnya datang ke kantor. Ada keadaan darurat."

Heris terdiam sejenak, lalu menghela napasnya pelan. "Keadaan darurat yang berkaitan dengan apa?"

"Brankasnya."

Sebelah tangan Heris langsung terkepal kuat. Ia sudah bisa menebak apa yang terjadi saat ini. Apalagi jika berkaitan dengan brankas tersebut.

"Ada apa dengan brankasnya?"

"Brankas itu ternyata berisi data perusahaan dan rekaman kematian Pak Haris!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status