Gadis berparas ayu itu, berteriak kencang, meronta-meronta ketika beberapa preman menarik tubuh mungilnya ke sudut jalan yang sepi. Gadis itu bernama Binar Widya. Di tengah kekalutannya, dia berharap ada seseorang yang datang di tengahnya malam penuh badai ini. Menolongnya dari terkaman binatang buas itu.
“Lepas!” Binar mendaratkan gigitan pada preman yang mencengkeram lengannya yang polos.“Dasar jalang!” Gadis malang yang berusaha melindungi harga dirinya itu malah mendapatkan sebuah tamparan.“Hey, lepaskan wanita itu!” Seorang pria bertampang kaukasoid, tiba-tiba datang menghadang kerumunan itu. Tangan sang pria terkepal erat, tak terima melihat wanita berparas ayu itu diperlakukan dengan kasar.Mereka semua sontak mengalihkan pandangan ke pria asing itu. Sementara sang wanita menatap si pria dengan sayu, kesenduan di matanya seolah-olah menaruh harapan besar terhadap pria yang mengenakan setelan jas itu, agar menyelematakannya dari para bajingan yang mencengkeramnya."Oh, ada yang mau ikut campur urusan kita rupanya." Bos preman berucap sinis. "Hajar pria bodoh itu!" perintahnya.Pria bertampang kaukasoid itu membuka jas hitamnya, lalu segera menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Menatap satu per satu preman yang mulai mendekat dengan tampang garang. Detik berikutnya, adegan baku pukul pun tak terelakkan lagi. Sebuah pukulan melayang ke wajah pria itu, disusul dengan tendangan dari arah belakang. Pria itu menunduk, lalu berputar menendang preman yang ada di belakang. Membuat lawannya jatuh terjungkal. Namun, dia harus menahan serangan lainnya lagi yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Pria itu terbatuk, tetapi segera berbalik. Memberikan pukulan beruntun pada preman yang kalah tangkas dengannya."Kurang ajar!" Bos preman yang masih memegang si gadis, merasa murka melihat teman-temannya yang sudah terkapar kesakitan di kaki pria asing itu.Dia mengempaskan Binar secara kasar. Lalu menyerang pria yang sudah menganggu santapan makan malamnya ini. Si pria mundur teratur, menghindari balok kayu yang secara membabi buta dilayangkan ke arahnya. Balok kayu yang dipegang preman, terus-terusan dilayangkan ke pria asing itu. Kiri kanan, secara cepat. Sang pria berjongkok, dengan secepat kilat memutar kaki untuk menjegal preman itu. Dia terjungkal, pria itu tambah dengan mendaratkan siku di dada si preman dengan keras."Aaarggh!" Si preman mengerang sekeras mungkin, merobek keheningan di daerah yang tampak sepi itu.Sang pria bangkit berdiri dengan napas yang berat. "Pergi! Pergi, sebelum saya habisi!" ujarnya dingin.Tanpa menunggu waktu lama, para preman itu saling rangkul, lalu pergi dengan terseok-seok.Pria itu mengayunkan kaki ke arah Binar, gadis itu pun juga mendekat. Selarik senyum terukir di bibirnya yang mungil. Ada binar kebahagiaan yang terpancar di mata bulatnya. Bersamaan dengan itu, angin kencang kembali berlalu-lalang, membuat rambut panjang si gadis meliuk-liuk mengikuti irama angin."Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Binar menautkan telapak tangan di dada.Sang pria mengangguk. "Sama-sama."Mereka saling diam beberapa saat, saling pandang satu sama lain. Sampai butir-butir air hujan menggangu momen saling tatap mereka. Gadis ayu itu membuang pandangan, menoleh ke sana kemari, seakan sedang mencari sesuatu. Mengurangi rasa gugup ketika dipandangi sepasang mata tajam pria tampan di hadapannya."Di mana rumahmu?"Binar menyebutkan sebuah gang yang masih asing di telinga sang pria. Sementara hujan lama-kelamaan makin deras. Angin pun bertambah kencang."Bagaimana kalau kita cari tempat berteduh dulu. Nanti setelah hujannya reda, saya antar pulang."Tawaran sang pria langsung diangguki oleh Binar. Selain tidak ada kendaraan yang lewat, hujan yang deras tidak memungkinkan untuk mereka melanjutkan perjalanan. Kebetulan di samping sana, sekitar 50 meter, ada sebuah bangunan yang terbengkalai."Kita berteduh di sana saja." Sang pria menunjuk di arah jam sembilan.Binar mengangguk, lalu mereka berlari ke bangunan tersebut.Hawa sejuk membuat Binar memeluk dirinya sendiri, sesekali dia menggosok-gosokan telapak tangannya satu sama lain. Terlihat sangat kedinginan. Sementara sang pria menyandarkan punggung di tembok yang terdapat banyak coretan, sambil menunggu hujan reda. Sesekali pria beralis tebal itu mencuri pandang pada Binar. Tubuhnya yang basah, membuat pakaian yang membalut tubuh gadis itu tercetak jelas. Sang pria menelan ludah berat, kala pikiran liar mulai melintas di kepala. Berusaha dia untuk menepis hal bodoh itu.“Kenapa keluyuran di tempat seperti ini?" Pria itu menyugar rambutnya yang basah."Aku sedang cari pekerjaan.""Sampai larut malam?" Alis tebal itu terangkat sebelah."Aku nggak punya ongkos pulang. Jadi, jalan kaki.” Binar tersenyum tipis.Sang pria mengangguk-angguk."Kalau Anda sendiri?" Binar bertanya balik."Saya baru pulang dari luar kota, ban mobilku pecah. Saya sedang berusaha mencari bengkel di sekitar sini tadi.”"Owh, begitu. Bengkel adanya sekitar satu kilometer lagi dari sini," jawab Binar.Mereka kembali diam. Hujan di luar sana masih saja deras disertai angin kencang. Binar terus-terusan mengusap-usap lengannya yang polos. Rambut panjangnya yang masih meneteskan air, dia bawa ke samping, lalu memerasnya agar cepat kering. Kembali pria asing itu menelan ludah berat melihat leher jenjang Binar yang putih mulus. Binar menyadari sang pria sedang menatapnya, sebuah senyum sungkan Binar perlihatkan. Ah, bibir ranum Binar begitu menggoda. Sebagai pria normal, pria asing itu mulai terpancing dengan lekuk tubuh Binar yang begitu menantang."Aaaa!"Tiba-tiba petir menyambar yang langsung disambut teriakkan ketakutan Binar. Gadis itu phobia petir. Dia langsung menghambur di permukaan dada bidang, mencari perlindungan. Pria asing itu merasakan napas gadis yang sedang memeluknya terengah-engah, ketakutan. Sontak saja kelakukan gadis itu menyentilkan debar halus di dada sang pria, yang makin lama membuatnya berdebar kencang dan mampu melumpuhkan akal sehat pria tersebut.Sang pria menangkup wajah lugu Binar. Memandangi mata indahnya, yang langsung membuat pikiran pria itu tenggelam."Kamu takut petir?" tanya pria asing itu. Kebetulan, petir lagi-lagi menyambar. Binar mencengkeram kedua lengan pria di hadapannya sambil menutup mata erat. Terlihat jelas dadanya naik turun dengan cepat. Dan itu mampu membuat otak si pria bergerak liar."Saya bisa membuatmu untuk menyingkirkan rasa takutmu itu."Binar mendongak, menatap lekat.Petir kembali menyambar, sang pria segera mendaratkan kecupan di bibir yang ranum itu. Bisa pria asing itu rasakan, Binar begitu tegang dengan apa yang dia lakukan. Binar beralih mencengkeram erat dada kemeja pria itu, hingga membuat beberapa kancingnya terlepas."Hmp!"Aksi itu terus berlanjut dan berlanjut, meminta lebih dan ingin merasakan yang jauh lebih menantang lagi. Petir kembali menyambar disertai raungannya yang keras. Namun, Binar tak ketakutan lagi dengan suara sang petir. Angin kencang berembus menyapa tubuh mereka. Namun, dinginnya tak mampu menembus kehangatan yang sedang mereka ciptakan. Sampai pria asing itu tidak menyadari, kelakuannya sudah keterlaluan.Siapa sangka, gadis yang dia tolong dari para pemangsa, malah menjadi mangsanya sendiri!Di tengah-tengah adegan panas itu, ponsel pria asing itu sejak tadi bergetar.Syeira Istriku.[Mas Aiman, kerjanya udah belum?][Mas langsung pulang 'kan malam ini? Biar aku buatkan makanan kesukaan Mas Aiman.][Mas, kapan pulang? Hati-hati di jalan, hujan sangat deras.]Tubuh mungil itu menggeliat kala sinar matahari menusuk kelopak matanya yang terasa memberat. Jemari lentiknya bergerak, dan tersentak bangunlah dia kala merasakan kulit asing di sampingnya tertidur. Jantung Binar serasa merosot menatap sosok gagah di sampingnya yang tertidur tengkurap. Mata bulat gadis itu langsung berkaca-kaca mengingat kejadian semalam, lalu meluncurlah anak-anak sungai di pipi yang tampak kemerahan dan lelah itu. Tangannya membekap mulut sendiri, menahan isak tangis, juga takut terhadap sosok di hadapannya. "Kenapa malah seperti ini?" gumamnya sambil menjambak rambut frustasi. “Tidak, ini tidak mungkin!”Dengan tangan bergetar, Binar bangkit sambil menahan area nyeri di tengah-tengah tubuhnya. Secepat mungkin dia memungut semua pakaiannya yang tercecer di lantai berdebu dan memakainya. Binar lantas keluar dari dalam gedung terbengkalai sebelum pria yang tertidur bersamanya itu bangun. Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang dia pikir adalah pahlaw
Mata bulat Binar mendongak, memandang salah satu pohon yang berbuah lebat yang membuat dia menelan ludah berkali-kali. Binar mencoba melompat, menggapai ranting buah asam di atas sana. Entah mengapa, dia sangat teringin sekali buah asam yang di mana ketika memakannya akan membuat gigi terasa geli. "Tinggi sekali!" Binar mendengkus kasar, tubuh mungilnya kepayahan menggapai ranting pohon asam yang lumayan tinggi itu. "Tunggu, tunggu, tunggu!" Binar menghadang beberapa bocah kecil laki-laki yang baru saja pulang bermain bola di lapangan. "Ada apa, Kak?" tanya salah satunya. "Emm, minta tolong ambilin Kakak buah asamnya, donk." Pupil mata Binar membesar, menatap anak-anak kecil itu dan buah asam di atas sana. Memandanginya saling bergantian. "Siap, Kak Binar Cantik!" Mereka antusias menjawab sambil menjajarkan jemari tangannya di kening. Detik berikutnya, mereka sontak saling naik di pohon asam tersebut. Bahkan terlihat saling berlomba, siapa yang lebih cepat mengambilkan buah asamn
Plak! "Dasar anak tidak tau malu! Kenapa kamu sampai melakukan hal sehina ini?!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Binar. Membuat wanita berparas ayu itu tersungkur ke lantai. Bibir ranumnya mengeluarkan darah di bagian sudut. Binar hanya menunduk malu, menerima amarah dari orang tua yang dicintainya. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa bulan yang lalu. Pagi tadi, Binar yang sedang membantu sang ibu membuat sarapan, tiba-tiba kepalanya berputar dan terasa berat. Dia langsung kehilangan keseimbangan, pingsan. Warsih yang kembali dari kios, merasa panik melihat Binar yang telah tergeletak di lantai dapur. Dia segera meminta tolong pada tetangga, membawa putri sulungnya itu ke puskesmas, takut sampai putrinya terkena penyakit berbahaya. Pasalnya, sang putri sedari kecil tidak pernah pingsan walau bekerja seharian di bawah terik pekik matahari. "Selamat yah, sebentar lagi Ibu akan menjadi seorang nenek. Usia kandungan putri Ibu sudah dua bulan lebih." Ucap
Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah. Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya. Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan
"Ha-haus ....""Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas." Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana. Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering. "Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut. Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu. Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang. "Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu. Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut
Mendengar ketukan pintu kamar, seketika tawa Syeira dan Aiman terhenti. Aiman memasang raut bingung, siapa yang beraninya mengetuk pintu kamar mereka sepagi ini. Sementara Syeira langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono, tahu siapa yang memanggilnya tersebut. "Siapa?" Aiman bertanya datar. "ART baru, Mas. Sebentar yah, siapa tau saja dia butuh sesuatu yang penting." Syeira melangkah keluar kamar mandi. Meninggalkan Aiman yang berdecak kesal, tak suka kesenangannya dengan Syeira terganggu, apalagi hanya diganggu seorang ART. Syeira membuka pintu bercat putih dengan ukiran rumit tersebut. Di luar pintu, Binar berdiri sambil menunduk, meremas jari-jari tangannya. Mendengar pintu kamar sang majikan terbuka, dia lantas mendongak. "Maaf, mengganggu pagi-pagi, Kak. Aku hanya ingin mengatakan sarapannya sudah siap. Takut keburu dingin." Binar langsung berucap pada intinya. Syeira melongo untuk beberapa saat. "Sepagi ini?"
Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat. Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur. "Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan. Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata. "Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!""A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali