Aku menghentikan laju mobilku saat ponselku bergetar lama, menandakan panggilan masuk.
[Ya, Ma?]
[W*’alaikumus salam.]
[Hehehe ... Assalamualaikum, Mama cantik.]
[W*’alaikumus salam. Kamu di mana? Kok, belum pulang? Biasanya, kan udah pulang. Kamu ke mana dulu? Awas, ya ke tempat enggak bener!]
[Ya, Allah. Ma, satu-satu dong!]
[Heleh!]
[Caca lagi di jalan, ini mau pulang.]
[Jalan mana? Jalan Sumatera?]
[Ngapain ke Sumatera?]
[Jangan ngalihin pembicaran, ya! Cepet jawab!]
[Caca tuh, beneran lagi di jalan mau pulang—]
[Sejak kapan dari kantor ke rumah makan waktu empat jam?]
[Ma, dengerin dulu, dong! Dari kantor tadi jam empat lewat lima belas menit. Nah, sekarang masih di jalan bentar lagi nyampe, kok. Kenapa si, Ma?]
[Mama titip belanjaan, udah Mama kirim ke hp kamu daftar belanjaannya. Jangan sampe ada yang kurang, abis dari situ langsung pulang! Jangan kelayaban!]
[Ya, Allah, Ma. Supermarketnya udah kelewat jauh, masa Caca harus puter balik? Kenapa enggak dari tadi ngabarinnya?]
[Kamu mau nyalahin, Mama? Salah sendiri, dari tadi ditelepon enggak dijawab-jawab! Awas jangan sampe ada yang kurang! Pake duit kamu dulu. Assalamualaikum.]
Mama menutup panggilan tanpa menungguku menjawab salam.
Astaga! Aku harus putar balik lagi? Aku menekan aplikasi chatting, melihat room chat dengan Mama. Benar, Mama sudah mengirimkan daftar belanjaan dari jam satu tadi siang.
Meski dongkol aku tetap melajukan mobilku menuju supermarket untuk membeli pesanan Mama. Aku mulai menggerutu, "kenapa bukan Ranita atau Rania saja sih! Mereka kan ada di rumah!"
Dua puluh menit kemudian aku sampai di supermarket. Aku mencari tempat parkir yang kosong, sepuluh menit berlalu aku baru bisa memarkirkan mobil. Ini yang kubenci saat mengunjungi mall pada weekend begini, parkiran akan penuh selain itu kasir supermarket juga pasti sangat antri.
Setelah sampai di dalam supermarket aku mengambil satu troli. Aku melihat lagi daftar belanjaan titipan Mama. Mataku membulat, astaga! Apa Mama tidak salah? Kenapa banyak sekali?
Aku memutuskan untuk menelepon Mama, siapa tahu Mama khilaf saat sedang menulis daftar ini. Hingga tak sadar menuliskan banyak bahan makanan.
[Halo, Ma.]
[W* alaikumsalam, kamu udah selesai belanjanya?]
[Caca baru sampai, Ma! Cari parkiran weekend gini tuh susah!]
[Trus kenapa?]
[Ini Mama enggak salah daftar belanjanya?]
[Memangnya kenapa]
[Kok, banyak banget?]
[Udah bener itu.]
[Ini buat stok berapa hari?]
[Bukan buat stok, besok ada tamu spesial yang bakal dateng. Jadi, Mama mau masak yang spesial juga, dong!]
[Tamu spesial?]
[Enggak usah banyak tanya. Beli semua yang ada didaftar, abis itu cepet pulang. Assalamualaikum]
[W* alaikum salam]
Tarik.
Keluarkan.
Tarik.
Keluarkan.
Setelah menetralkan emosi dalam hati, aku mulai mendorong troli.
Memasukkan satu persatu barang yang ada dalam daftar, berpindah dari satu lorong ke lorong yang lain. Memilih-milih buah, sayur, ikan, daging, makanan kering hingga camilan.
Heh!
Aku yakin sekali camilan ini pasti titipan Rania dan Ranita, meski begitu aku tetap memasukkannya ke dalam troli.
Awas saja nanti di rumah!
***
Setelah melewati antrean panjang, akhirnya aku selesai melakukan pembayaran.
Tak sampai di situ kesabaranku terus di uji, setelah berhasil memasukkan enam kantong belanjaan ke dalam mobil. Aku kembali dibuat beristigfar, antrean keluar parkir tak kalah penuh.
Setengah jam menunggu akhirnya mobilku bisa keluar dari parkir, baru saja menghembuskan napas lega. Jalanan yang macet karena malam minggu membuatku ingin berteriak, tubuhku sudah sangat lelah ya, Tuhan.
***
Akhirnya pukul 21.15 aku sampai di rumah. Lelah di tubuh dan hati sudah menggunung, dengan langkah gontai aku memasuki rumah. Kedua tanganku masing-masing menjinjing kantung belanja.
“Kak, martabaknya mana?”
“Enggak ada!”
“Lho, kok, enggak ada? Kan aku udah titip tadi!”
Saat sedang di jalan tadi Rania memang meneleponku, meminta dibelikan martabak. Dengan perasaan dongkol kututup telepon tanpa mendengarkan dia berbicara, apa semuanya harus aku yang lakukan?
“Lo beli sendiri aja! Gue udah capek!”
“Ish, kok, nyolot si? Kelamaan ngejomblo, ya, gini, nih!”
“Iya, gue jomblo. Kenapa?”
“Ih ... biasa aja, dong! Aku juga bisa beli sendiri, kok!”
“Gih! Beli sendiri sana! Punya kaki, punya tangan, kan?”
Setelah mengatakan itu, aku berlalu melewati Rania yang mengerucutkan bibir. Aku meletakkan semua kantong belanja di meja dapur, kecuali kantong berisi camilan.
“Kak, titipan camilanku mana?” tanya Rania saat dia melihatku membawa sekantong penuh camilan.
“Beli sendiri bisa, kan?”
“Jangan gitu dong, Kak. Di depan ada pacarku. Kan malu kalau enggak disuguhin camilan,” gerutunya.
“Enak banget, ya, jadi pacar lo! Mau camilan, ya, belilah!”
“Enggak ikhlas banget, sih! Aku ganti, kok, uangnya!”
“Elo! Kalau mau apa-apa jalan sendiri! Bukan malah nyuruh-nyuruh orang! Enggak liat gue bawa belanjaan seabreg?”
“Gitu aja, nyolot!” katanya dengan nada ketus.
“Gitu aja? Lo enggak tau perjuangan gue kayak apa!” jawabku mulai terpancing emosi.
“Ish ... brisik! Mana sini camilannya. Aku ganti uangnya!” jawaban Rania bagai menyulut api dengan bensin yang membakar habis seluruh kesabaran yang kupunya.
“Oke. Lo itung, ya. Jangan sampe ada yang kelewat! Biaya sekolah lo dari masuk sampe lulus SMA, trus biaya masuk kuliah sampe sekarang. Ditambah uang saku lo tiap bulan selama enam tahun ini. Totalnya lo transfer ke rekening gue!”
“Lo enggak ikhlas, Kak, sekolahin gue?”
“Bisa lo ganti duit gue? Ikhlas gue cuma buat orang yang bisa ngehargain gue! Bukan yang malah lantang ngehina gue, lo catet itu!”
“Caca! Rania! Kenapa ini?” sela Papa yang baru masuk ke dalam rumah bersama Mama di belakangnya.
“Kak Caca enggak ikhlas biayain sekolahku, Pa," adu Rania sembari melotot ke arahku.
“Dia bilang mau ganti uangku, kok," balasku tak terima.
“Bukan git—“
“Aku ini pulang kerja, harus putar balik cuma buat belanja. Seenaknya dia titip ini, titip itu tanpa tau gimana capeknya aku! Parkir antri, bayar antri, keluar parkir antri, di jalanan macet dan masih harus dititipin martabak! Dia! Seenaknya dia bilang bisa ganti uangku!” Napasku memburu, kukeluarkan semua unek-unekku.
Mama dan Papa hanya bisa memandang kami bergantian, sepertinya bingung harus membela siapa.
“Ca—“
“Kenapa, Ma? Mama mau bilang, kalau aku yang harus ngalah? Kalau aku yang salah? Sama seperti waktu kecil dulu sampe sekarang? Iya, Ma?”
Aku yakin sebelum Mama menyuruhku, pasti Mama sudah menyuruh Ranita atau Rania lebih dulu. Namun, karena keduanya menolak. Jadilah aku yang harus belanja, sedari dulu buat Mama akulah yang harus mengalah pada kedua adikku.
“Kamu ngerasa lebih hebat dariku hanya karena kamu udah punya pacar sedangkan aku belum. Iya, kan?” tukasku sambil berlalu dengan tetap menjinjing kantong camilan. Selama ini aku bukan orang yang perhitungan dengan uang, terlebih buat saudaraku sendiri. Beda cerita dengan kasus saat ini, aku telanjur saat hati."
“Maaf, Pa. Caca ke kamar dulu.”
Setengah berlari aku menuju kamar. Aku menutup pintu dengan kasar, air mataku luruh tak terbendung. Kehabisan tenaga dan hormon yang mendekati masa haid, membuat emosiku meledak. Aku terisak, belum lagi pertanyaan kapan nikah? Kapan punya pacar? Pertanyaan-ertanyaan kapan-kapan lain yang serupa membuatku tertekan.
Siapa sih yang tak ingin punya pasangan? Siapa juga yang tak ingin memiliki tambatan hati? Siapa yang tak ingin memiliki sandaran untuk berbagi segala hal? Aku juga mau, sama seperti wanita normal lainnya di luar sana. Tetapi aku bisa apa jika takdir belum memihak padaku?
Aku merebahkan tubuh di atas kasur, tak peduli pada pakaian yang seharusnya kuganti lebih dulu. Menatap langit-langit kamar, aku mengingat satu nama yang berhasil mencuri hatiku. Satu nama yang ada hingga kini, satu nama yang mungkin tak pernah menganggapku ada.
Satu nama yang mampu membuatku tersenyum hanya karena mengingatnya, satu nama dengan ribuan rasa bernama cinta. Sayang cinta itu tak pernah berbalas, pun sang empunya tak pernah tahu rasa yang kupunya untuknya.
.
.
.
.
.
TBC
Aku terbangun karena perut yang keroncongan, melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah ... ternyata aku tertidur cukup lama.Aku mengerakkan tubuh yang serasa pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak nyaman, mendesis kala tangan yang menjadi bantalan kepala selama tidur terasa ngilu.Terdengar lagi suara perutku yang kelaparan, jika diingat terakhir aku makan saat di kantor kemarin siang.Aku segera bangun saat mengingat belum mengerjakan salat Isya, bergegas ke kamar mandi kutemukan noda merah di celana dalam. Pantas, semalam aku begitu emosi.Rania adik bungsuku itu memang memiliki sikap yang menyebalkan. Selain terlahir bungsu, sikap Mama terhadap Rania selama ini membuatnya begitu manja.Menyelesaikan ritual mandi kilat, aku memilih piama untuk dipakai sekarang. Setelah selesai berpakaian, kubawa langkah menuruni tangga menuju dapur. Beruntung hari ini adalah hari libur, aku merencanakan untuk tidur lagi setelah makan malam di dini hari ini.Membuka
Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing da
Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.“Mbak! Makan siang, yoook!”“Eh ... udah jam istirahat?”“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istir
Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya. “Istirahat, Ca. Udah malem.” Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku. Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l
Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas
"Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake
“Kenapa nyariin aku?”Sungguh aku tak berani menoleh. Sekarang aku bagaikan seorang pencuri yang ketahuan pemiliknya. Jangan lagi tanya bagaimana jantungku bekerja. Telapak tanganku bahkan sudah terasa dingin. Ingin rasanya aku menghilang sekarang juga. Entah bagaimana sekarang semua pasang mata seolah-olah hanya tertuju padaku.“Nah, ini orangnya!” seru Tante Fania.“Maaf, Ma. Kai telat.”Aku memberanikan diri untuk sedikit melirik, Iya, hanya sedikit. Tante Fania bangkit untuk menyambut anaknya. Pria bernama Kaivan Abimanyu itu lantas mencium kedua pipi Tante Fania.“Kamu kan emang gitu. Kalau udah kerja ya, lupa waktu. Enggak peduli walau pun weekend begini!”Hanya garis besar yang kutahu tentang keluarga Tante Fania. Suaminya—Gilang Abimanyu adalah seorang arsitektur, sedangkan anak sulungnya—Aidan Abimanyu mengikuti jejak Om Gilang, sementara Kak Kai—begitu aku memanggilnya, lebih memilih menjadi seorang pengusaha.Dari cerita Mama, katanya Kak Kai memiliki dua kafe yang sedang