Rentetan nyanyian Mama di pagi buta terdengar sangat menyebalkan, aku yang baru tertidur pukul 24.00 terpaksa bangun demi tak menambah panjang daftar nyanyian yang akan dinyanyikan oleh Mama.
“Azan subuh udah ke mana tau, anak gadis masih belum bangun juga!”
Mata yang masih lengket kupaksa untuk terbuka, dengan setengah berlari aku menuju kamar mandi. Namun, karena nyawa yang belum utuh membuatku terjatuh karena terserimpet kaki sendiri.
Sial!
Tubuhku tertelungkup sempurna di atas lantai, jangan tanya lagi bagaimana rasa sakitnya.
“Apa pula yang dilakuin anak ini, Ya Allah.” Entah sejak kapan Mama berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka dengan tangan bertolak pinggang.
“Kamu itu ngapain si, Ca? Enggak ada kerjaan banget! Kenapa malah telungkup di lantai gitu subuh-subuh begini?”
Bukan ditolong aku malah kena nyanyian Mama. “Caca jatuh, Ma,” balasku setengah kesal.
Aku bangkit dengan tertatih. Saat jatuh tadi, lututku yang jatuh lebih dulu.
“Udah tua masih aja jatuh! Cepet solat, abis itu bantu Mama masak!”
“Iya, Ma.”
“Udah enggak bisa dandan, pake baju selalu ngasal, tapi kalau kamu pinter masak, kan mending ada yang bisa dibanggain nanti sama suamimu!”
Astaga! Bahasan itu lagi?
Setelah Mama berlalu, aku bergegas mandi dan menjalankan salat subuh. Ya, meski terlambat.
Di rumah, Mama memang selalu menekankan untuk ibadah yang satu ini. Katanya meski kami belum berjilbab, jangan sampai meninggalkan salat. Karena salat adalah ibadah pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban nanti.
Setelah selesai salat yang terlalu terlambat, aku menuju dapur. Di sana, sudah ada Ranita yang sedang mencuci piring. Sedangkan, Rania sedang menjemur baju. Sedang Mama sendiri saat ini pasti sedang menyiram tanaman kesayangannya.
“Kak, cepetan masak! Nanti Mama nyanyi lagi lho!”
“Iya. Iya. Sabar dong!”
“Kalau Mama nyanyi lagi bukan cuma, Kakak yang denger! Tapi semua orang!”
“Bawel lo!”
“Yeee ... dibilangin juga.”
“Papa mana?” tanyaku yang mulai merajang air untuk membuat teh.
“Ya, di mana lagi? Lagi nemenin Mama nyiram taneman lah.”
Papa memang punya kebiasaan unik. Setiap pagi, Papa akan menemani Mama menyiram tanaman. Katanya, melihat Mama yang tersenyum saat lihat tanaman adalah kebahagiaan tersendiri buat Papa. Unik, kan?
Katanya lagi, Mama terlihat lebih cantik saat bersama bunga-bunga kesayangan Mama itu. Kalau yang terakhir aku yakin sekali itu hanya gombalan Papa saja, tetapi walau begitu pipi Mama tetap akan merona saat Papa bilang begitu.
Salah satu rumah tangga yang menjadi favoritku adalah pernikahan orang tuaku sendiri.
Mama yang akan menjadi sangat penurut saat bersama Papa, sedang Papa menjadi sosok suami yang selalu sigap membantu istri. Saling mengerti dan memahami juga selalu mengambil keputusan atas dasar keputusan bersama, kupikir adalah poin yang menjadi faktor penyebab pernikahan Mama Papa langgeng hingga saat ini.
Sejauh ingatanku, Mama dan Papa tak pernah memperlihatkan pada kami saat masalah. Aku yakin perbedaan dalam rumah tangga pastilah ada, tetapi percekcokan Mama Papa dari yang kecil hingga yang besar, tak pernah kami dengar pun tak pernah kami lihat.
Aku pernah menanyakan hal ini pada Papa, jawaban Papa sungguh membuatku takjub. Aku akan mengingat ini sampai kapan pun.
Katanya, menikah itu bukan hanya tentang aku atau kamu. Menikah itu bukan tentang egoku dan egomu, terlebih jika sudah memiliki anak. Jangan pernah membahas masalah orang tua di depan anak, karena itu akan merusak mentalnya.
“Sudah siap sarapan kita, Ca?”
“Sedikit lagi, Ma.”
“Jangan lambat-lambat kalau kerja, nanti-nanti udah nikah jadi biasa, apalagi kalau udah punya anak, terus jaraknya deket kayak kalian kecil dulu, bisa kurus kering badan! Syukur-syukur dapet suami mapan sanggup bayar pembantu. Makanya Mama jodohin kamu sama dia, Ca.”
Dia lagi? Aku memutar bola mata dengan malas. Jawab sedikit, Mama balas ratusan kalimat. Oke, ini berlebihan.
“Iya, Ma.”
“Nah, mumpung hari Sabtu kita jalan-jalan aja gimana?”
“Caca lembur, Ma.”
“Kerja teroooos!”
“Ck! Kan, udah biasa kalau mau akhir tahun, Ma.”
“Bukan cuma akhir tahun. Akhir bulan, awal bulan juga! Cuma tengah bulan aja yang enggak lembur.”
“Sarapan dah siap!” Sengaja kukencangkan suara agar Mama berhenti bernyanyi.
“Panggil Papamu sana! Ajak sarapan bareng sini,” perintah Mama pada Ranita.
Selesai sarapan, aku buru-buru berganti baju dan membawa mobil membelah jalanan.
Aku harus menambah kecepatan laju kendaraan jika tak ingin terlambat dan mendapat tatapan tajam milik Mbak Kia. Beruntung jalanan senggang di hari weekend seperti sekarang.
Memarkirkan mobil setelah memasuki basement kantor, setengah berlari aku menuju benda kotak yang membawaku ke lantai yang kutuju.
“Kenapa ngos-ngosan gitu, Mbak?”
“Aku abis lari!”
“Takut telat, ya?
“Iyalah ....”
“Santuy, Mbak. Mbak Kia juga belum dateng, kok!”
“Serius belum dateng?” tanyaku setelah menenggak setengah botol air mineral.
“Serius lah!”
“Tau gitu, aku enggak lari-lari dari basement!”
“Hahaha ... salah sendiri siapa suruh lari-lari? Btw, udah sarapan, Mbak Ca?”
“Udah tadi di rumah. Hah! Aku ngantuk banget.”
“Samaaa ... mau kopi enggak? Aku bikinin sekalian.”
“Mau, tap—“
“Gulanya dikit?”
“Hehehe ... kamu tau aja!”
Maria berdecak. “Kita udah kerja bareng selama tiga tahun. Titip! Jangan makan duluan lho!” ucapnya menaruh sekotak brownies di atas mejaku.
“Iyaaa ....”
Aku baru bisa menggerakkan pinggang setelah jam kerja selesai. Biasanya, over time di hari Sabtu hanya sampai jam satu siang. Namun, karena pekerjaan yang menggunung dan deadline yang mencekik jadilah jam empat sore kami baru bisa keluar dari kantor.
Aku melepas kacamata yang sedari pagi kugunakan, memijit pangkal hidung yang terasa pegal.
“Mbak ke toilet yuk!” ajak Maria.
Aku mengangguk pelan. “Hayuk!”
Biasanya toilet memang sepi saat harus lembur begini, karena hanya beberapa divisi saja yang harus lembur. “Mar, temenin aku salat, ya. Sebentar aja! Kalau sampe rumah udah kecapean jadi males.”
“Siap, Mbak! Aku juga mau touch up.”
“Mau malmingan?”
“Iya, dong! Aku mau nge—date ini, kan malam minggu.”
“Enggak ada yang bilang ini malam Jum’at sih!”
“Ih ... Mbak Ca, lucu!” katanya tertawa sambil memukul bahuku.
Kadang aku heran sendiri, kenapa ada orang seperti Maria yang kalau ketawa harus memukul orang di sebelahnya. Bukan cuma sekali, tapi selama dia tertawa selama itu juga dia terus memukul.
***
“Kamu dijemput, Mar? Atau mau bareng? Yuk sekalian kuanterin!”
“Aku dijemput pacarku. Mbak Ca, duluan aja!”
“Oke, deh! Have fun ya ....”
“Have fun juga, Mbak!”
Aku melambaikan tangan sebelum meninggalkan basement kantor.
Have fun ya? Semoga saja sampai rumah aku tak mendengar nyanyian Mama tentang jodoh, terlebih ini malam minggu. Malam yang selalu dikaitkan dengan malamnya untuk cari jodoh.
Huffft!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc
Aku menghentikan laju mobilku saat ponselku bergetar lama, menandakan panggilan masuk.[Ya, Ma?][Wa’alaikumus salam.][Hehehe ... Assalamualaikum, Mama cantik.][Wa’alaikumus salam. Kamu di mana? Kok, belum pulang? Biasanya, kan udah pulang. Kamu ke mana dulu? Awas, ya ke tempat enggak bener!][Ya, Allah. Ma, satu-satu dong!][Heleh!][Caca lagi di jalan, ini mau pulang.][Jalan mana? Jalan Sumatera?][Ngapain ke Sumatera?][Jangan ngalihin pembicaran, ya! Cepet jawab!][Caca tuh, beneran lagi di jalan mau pulang—][Sejak kapan dari kantor ke rumah makan waktu empat jam?][Ma, dengerin dulu, dong! Dari kantor tadi jam empat lewat lima belas menit. Nah, sekarang masih di jalan bentar lagi nyampe, kok. Kenapa si, Ma?][Mama titip belanjaan, udah Mama kirim ke hp kamu daftar belanjaannya. Jangan sampe ada yang kurang, abis dari situ langsung pulang! Jangan kelayaban!][Ya, Allah, Ma. Supermarketnya udah kelewat jauh, masa Caca harus puter balik? Kenapa enggak dari tadi ngabarinnya?][Ka
Aku terbangun karena perut yang keroncongan, melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah ... ternyata aku tertidur cukup lama.Aku mengerakkan tubuh yang serasa pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak nyaman, mendesis kala tangan yang menjadi bantalan kepala selama tidur terasa ngilu.Terdengar lagi suara perutku yang kelaparan, jika diingat terakhir aku makan saat di kantor kemarin siang.Aku segera bangun saat mengingat belum mengerjakan salat Isya, bergegas ke kamar mandi kutemukan noda merah di celana dalam. Pantas, semalam aku begitu emosi.Rania adik bungsuku itu memang memiliki sikap yang menyebalkan. Selain terlahir bungsu, sikap Mama terhadap Rania selama ini membuatnya begitu manja.Menyelesaikan ritual mandi kilat, aku memilih piama untuk dipakai sekarang. Setelah selesai berpakaian, kubawa langkah menuruni tangga menuju dapur. Beruntung hari ini adalah hari libur, aku merencanakan untuk tidur lagi setelah makan malam di dini hari ini.Membuka
Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing da
Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.“Mbak! Makan siang, yoook!”“Eh ... udah jam istirahat?”“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istir
Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya. “Istirahat, Ca. Udah malem.” Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku. Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l
Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas
"Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake