Share

2. Nyanyian Pagi Hari

Rentetan nyanyian Mama di pagi buta terdengar sangat menyebalkan, aku yang baru tertidur pukul 24.00 terpaksa bangun demi tak menambah panjang daftar nyanyian yang akan dinyanyikan oleh Mama.

“Azan subuh udah ke mana tau, anak gadis masih belum bangun juga!”

Mata yang masih lengket kupaksa untuk terbuka, dengan setengah berlari aku menuju kamar mandi. Namun, karena nyawa yang belum utuh membuatku terjatuh karena terserimpet kaki sendiri.

Sial!

Tubuhku tertelungkup sempurna di atas lantai, jangan tanya lagi bagaimana rasa sakitnya.

“Apa pula yang dilakuin anak ini, Ya Allah.” Entah sejak kapan Mama berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka dengan tangan bertolak pinggang.

“Kamu itu ngapain si, Ca? Enggak ada kerjaan banget! Kenapa malah telungkup di lantai gitu subuh-subuh begini?”

Bukan ditolong aku malah kena nyanyian Mama. “Caca jatuh, Ma,” balasku setengah kesal.

Aku bangkit dengan tertatih. Saat jatuh tadi, lututku yang jatuh lebih dulu.

“Udah tua masih aja jatuh! Cepet solat, abis itu bantu Mama masak!”

“Iya, Ma.”

“Udah enggak bisa dandan, pake baju selalu ngasal, tapi kalau kamu pinter masak, kan mending ada yang bisa dibanggain nanti sama suamimu!”

Astaga! Bahasan itu lagi?

Setelah Mama berlalu, aku bergegas mandi dan menjalankan salat subuh. Ya, meski terlambat.

Di rumah, Mama memang selalu menekankan untuk ibadah yang satu ini. Katanya meski kami belum berjilbab, jangan sampai meninggalkan salat. Karena salat adalah ibadah pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban nanti.

Setelah selesai salat yang terlalu terlambat, aku menuju dapur. Di sana, sudah ada Ranita yang sedang mencuci piring. Sedangkan, Rania sedang menjemur baju. Sedang Mama sendiri saat ini pasti sedang menyiram tanaman kesayangannya.

“Kak, cepetan masak! Nanti Mama nyanyi lagi lho!”

“Iya. Iya. Sabar dong!”

“Kalau Mama nyanyi lagi bukan cuma, Kakak yang denger! Tapi semua orang!”

“Bawel lo!”

“Yeee ... dibilangin juga.”

“Papa mana?” tanyaku yang mulai merajang air untuk membuat teh.

“Ya, di mana lagi? Lagi nemenin Mama nyiram taneman lah.”

Papa memang punya kebiasaan unik. Setiap pagi, Papa akan menemani Mama menyiram tanaman. Katanya, melihat Mama yang tersenyum saat lihat tanaman adalah kebahagiaan tersendiri buat Papa. Unik, kan?

Katanya lagi, Mama terlihat lebih cantik saat bersama bunga-bunga kesayangan Mama itu. Kalau yang terakhir aku yakin sekali itu hanya gombalan Papa saja, tetapi walau begitu pipi Mama tetap  akan merona saat Papa bilang begitu.

Salah satu rumah tangga yang menjadi favoritku adalah pernikahan orang tuaku sendiri.

Mama yang akan menjadi sangat penurut saat bersama Papa, sedang Papa menjadi sosok suami yang selalu sigap membantu istri. Saling mengerti dan memahami juga selalu mengambil keputusan atas dasar keputusan bersama, kupikir adalah poin yang menjadi faktor penyebab pernikahan Mama Papa langgeng hingga saat ini.

Sejauh ingatanku, Mama dan Papa tak pernah memperlihatkan pada kami saat masalah. Aku yakin perbedaan dalam rumah tangga pastilah ada, tetapi percekcokan Mama Papa dari yang kecil hingga yang besar, tak pernah kami dengar pun tak pernah kami lihat.

Aku pernah menanyakan hal ini pada Papa, jawaban Papa sungguh membuatku takjub. Aku akan mengingat ini sampai kapan pun.

Katanya, menikah itu bukan hanya tentang aku atau kamu. Menikah itu bukan tentang egoku dan egomu, terlebih jika sudah memiliki anak. Jangan pernah membahas masalah orang tua di depan anak, karena itu akan merusak mentalnya.

“Sudah siap sarapan kita, Ca?”

“Sedikit lagi, Ma.”

“Jangan lambat-lambat kalau kerja, nanti-nanti udah nikah jadi biasa, apalagi kalau udah punya anak, terus jaraknya deket kayak kalian kecil dulu, bisa kurus kering badan! Syukur-syukur dapet suami mapan sanggup bayar pembantu. Makanya Mama jodohin kamu sama dia, Ca.”

Dia lagi? Aku memutar bola mata dengan malas. Jawab sedikit, Mama balas ratusan kalimat. Oke, ini berlebihan.

“Iya, Ma.”

“Nah, mumpung hari Sabtu kita jalan-jalan aja gimana?”

“Caca lembur, Ma.”

“Kerja teroooos!”

“Ck! Kan, udah biasa kalau mau akhir tahun, Ma.”

“Bukan cuma akhir tahun. Akhir bulan, awal bulan juga! Cuma tengah bulan aja yang enggak lembur.”

“Sarapan dah siap!” Sengaja kukencangkan suara agar Mama berhenti bernyanyi.

“Panggil Papamu sana! Ajak sarapan bareng sini,” perintah Mama pada Ranita.

Selesai sarapan, aku buru-buru berganti baju dan membawa mobil membelah jalanan.

Aku harus menambah kecepatan laju kendaraan jika tak ingin terlambat dan mendapat tatapan tajam milik Mbak Kia. Beruntung jalanan senggang di hari weekend seperti sekarang.

Memarkirkan mobil setelah memasuki basement kantor, setengah berlari aku menuju benda kotak yang membawaku ke lantai yang kutuju.

“Kenapa ngos-ngosan gitu, Mbak?”

“Aku abis lari!”

“Takut telat, ya?

“Iyalah ....”

“Santuy, Mbak. Mbak Kia juga belum dateng, kok!”

“Serius belum dateng?” tanyaku setelah menenggak setengah botol air mineral.

“Serius lah!”

“Tau gitu, aku enggak lari-lari dari basement!”

“Hahaha ... salah sendiri siapa suruh lari-lari? Btw, udah sarapan, Mbak Ca?”

“Udah tadi di rumah. Hah! Aku ngantuk banget.”

“Samaaa ... mau kopi enggak? Aku bikinin sekalian.”

“Mau, tap—“

“Gulanya dikit?”

“Hehehe ... kamu tau aja!”

Maria berdecak. “Kita udah kerja bareng selama tiga tahun. Titip! Jangan makan duluan lho!” ucapnya menaruh sekotak brownies di atas mejaku.

“Iyaaa ....”

Aku baru bisa menggerakkan pinggang setelah jam kerja selesai. Biasanya, over time di hari Sabtu hanya sampai jam satu siang. Namun, karena pekerjaan yang menggunung dan deadline yang mencekik jadilah jam empat sore kami baru bisa keluar dari kantor.

Aku melepas kacamata yang sedari pagi kugunakan, memijit pangkal hidung yang terasa pegal.

“Mbak ke toilet yuk!” ajak Maria.

Aku mengangguk pelan. “Hayuk!”

Biasanya toilet memang sepi saat harus lembur begini, karena hanya beberapa divisi saja yang harus lembur. “Mar, temenin aku salat, ya. Sebentar aja! Kalau sampe rumah udah kecapean jadi males.”

“Siap, Mbak! Aku juga mau touch up.”

“Mau malmingan?”

“Iya, dong! Aku mau nge—date ini, kan malam minggu.”

“Enggak ada yang bilang ini malam Jum’at sih!”

“Ih ... Mbak Ca, lucu!” katanya tertawa sambil memukul bahuku.

Kadang aku heran sendiri, kenapa ada orang seperti Maria yang kalau ketawa harus memukul orang di sebelahnya. Bukan cuma sekali, tapi selama dia tertawa selama itu juga dia terus memukul.

***

“Kamu dijemput, Mar? Atau mau bareng? Yuk sekalian kuanterin!”

“Aku dijemput pacarku. Mbak Ca, duluan aja!”

“Oke, deh! Have fun ya ....”

“Have fun juga, Mbak!”

Aku melambaikan tangan sebelum meninggalkan basement kantor.

Have fun ya? Semoga saja sampai rumah aku tak mendengar nyanyian Mama tentang jodoh, terlebih ini malam minggu. Malam yang selalu dikaitkan dengan malamnya untuk cari jodoh.

Huffft!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status