Share

9. Sebuah Tas Branded

Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.

“Hah? Masa sih, Mar?”

“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”

“Mau apa kamu, Mar?”

“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.

“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”

“Hah? Yang bener kamu, Mar!”

“Nih, liat kalau enggak percaya!”

Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.

“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”

“Enak aja!”

“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”

Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.

Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.

“Ya?”

“Hai, Ca!”

“Ada apa?”

“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”

“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya masalahnya udah selesai?”

“Iya, dan untuk itu aku telepon kamu. Aku mau bilang makasih.”

“Ya sama-sama, udah, kan?”

“Eh, tunggu!”

“Ada apa lagi?”

“Kamu udah terima paket dariku? Tolong diterima dan jangan tersinggung. Itu sebagai ucapan terima kasih dari aku buat kamu. Semoga kamu suka.”

“Oh ... ini dari kamu?”

Maria yang sedang menekuri ponselnya, mengangkat wajah melihat ke arahku.

“Iya, tolong diterima.”

“Iya. Sudah kuterima dan terima kasih. Seharusnya kamu enggak perlu sampai kirim hadiah kayak gini apalagi bernilai jutaan.”

“No, problem. Sorry kalau enggak sesuai style kamu.”

“Enggak masalah. Thank you!”

“Eh, sebentar!”

“Ada apalagi?”

“Aku harap setelah ini, kita masih bisa berteman. Walau gimanapun, orang tua kita berteman baik.”

“Sure! Kenapa enggak.”

Setelahnya, aku memutus sambungan telepon, aku memandang tas dengan harga puluhan juta di hadapanku. Tas yang menjadi pengganti batalnya perjodohan kami. Aku tertawa miris karenanya.

***

Hari ini adalah hari minggu, di mana hari ini akan di adakannya arisan keluarga. Sedari subuh aku sudah bangun dan bersiap-siap membantu Mama. Ya, ini semua demi berjalannya misi yang telah kususun. Aku bahkan telah membeli satu dress khusus untuk menghadiri acara arisan yang sangat kebetulan diadakan di rumah targetku. Astaga, target? Kenapa aku merasa seperti seorang pemburu.

Semua ini kulakukan sebagai usaha untuk mendapatkan jodoh. Ck! Kenapa terdengar mengenaskan sekali diriku ini? Kalau usaha yang kulakukan ini tetap tak membuahkan hasil, itu artinya memang Tuhan memang belum menuliskan aku untuk cepat menikah.

“Ma, hari ini acara arisan keluarga, kan?”

“Jangan aneh-aneh deh, Ca!”

“Kok, aku dibilang aneh? Orang cuma tanya lho ....”

“Iya, acaranya di rumah Tante Fania. Kenapa memangnya? Jangan bilang kamu mau ikut?”

“Hehehe ... Mama pergi sama siapa?”

“Paling naik taksi. Kamu, kan enggak mungkin mau nganterin Mama.”

“Spesial untuk kali ini, Caca bakalan anter Mama, deh!”

Pletak!

“Astaga, Mama! Sakit, Ma!” Mama memukul kepalaku menggunakan centong yang sedang dia pegang.

“Biarin! Biar sadar!”

“Emangnya aku kesurupan apa!” sungutku

***

Setelah selesai memasak, aku segera mandi dan berganti pakaian. Berdandan sebaik mungkin dan tak lupa memakai perhiasan serta parfum. Lihat, usahaku sudah maksimal bukan? Kalau belum dapat jodoh juga, ya bukan salahku.

Aku sedang memanaskan mobil saat Mama keluar dan menatapku dengan memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Ca?”

“Ya, Ma?”

“Kamu beneran mau ikut?”

“Iya, dong! Kan, udah lama enggak ketemu sama saudara. Kangen juga ternyata.”

“Kangen? Enggak salah? Bukannya kamu sebel kalau ketemu mereka? Yang jodoh-jodohin kamulah, yang nanya-nanya mulu kapan nikahlah. Iya, kan?"

Aku mendorong pelan tubuh Mama agar masuk mobil. “Iya, mereka cuma tanya doang sih! Coba pas tanya sambil bilang gini, nanti biaya cathringnya biar aku yang tanggung, atau gini, nanti untuk dekorasi dan gedung biar aku yang bayar. Gitu, kan enak, Ma!”

“Heh! Semprul!”

“Hahaha ... cuss berangkat.”

Di tengah perjalanan aku membelokkan mobil ke area pengisian bahan bakar. Saat tiba giliranku, aku turun dari mobil. Namun, pandanganku tertumbuk pada seorang pria di depan sana yang baru saja keluar dari restoran cepat saji seketika jantungku berdegup tak karuan.

“Itu kan si Bagas ngapain dia di sini?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status