Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.
Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.
Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.
Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.
Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.
“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.
Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing dalam perutku akan dapat jatah.
“Oh, iya. Ayo, ayo! Kita makan siang dulu, saya sudah masak yang spesial lho ....”
Papa menggiring semua orang ke meja makan. Aku yang memang belum sarapan langsung duduk di tempatku biasa duduk.
Tiba-tiba Mama untuk kedua kalinya mencubit punggungku.
“Layani Jeng Anna sama keluarganya makan! Baru kamu boleh makan,” bisik Mama nyaris tak terdengar.
Mau tak mau aku kembali berdiri, menyendokkan makanan satu per satu pada piring semua orang.
“Ya, Allah Caca ini mantu idaman lho, Pa. Terima kasih, ya, Sayang.” Celoteh Tante Anna membuat aku melotot sekaligus meringis.
Apa? Mantu? Awas saja, kalau Mama benar-benar menjodohkan aku tanpa persetujuanku lebih dulu.
“Ya, Papa setuju itu,” balas Om Handoko.
Aku meletakkan nasi dan lauk di atas piring Bagas. Lalu, menuangkan air putih ke dalam gelas dan meletakkan di depan piringnya.
Setelahnya aku duduk dan mengisi piringku sendiri dengan makanan. Berdoa sebelum makan dalam hati, aku tersedak ketika mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Tante Anna.
“Gimana kalau kita percepat aja perjodohannya? Enggak perlu tunangan langsung nikah, aja!”
“Uhuk! Uhuk!
Oh, sial!
Bumbu rendang serasa masuk ke tenggorokanku, rasa panas dan perih menjadi satu. Dengan datar Bagas menyodorkan segelas air putih dan menepuk-nepuk punggungku pelan. Bukan! Bukan karena peduli, tetapi karena dia memang duduk di sebelahku.
“Ya Allah, Ca! Kamu enggak apa-apa, Nak?” tanya Tante Anna dengan raut khawatir yang kentara.
“Udah, Jeng. Caca pasti enggak apa-apa, udah ada Bagas yang nolong.”
“Makasih lho, Nak Bagas udah nolongin, Caca.”
Ya, benar kalimat-kalimat sumbang itu berasal dari Mama. Pakai bilang terima kasih segala coba, Bagas, kan cuma kasih air minum doang. Itu pun karena dia yang paling dekat.
Ide supaya aku duduk di samping Bagas pun adalah ide Mama, sepertinya Mama yang kebelet punya mantu.
“Sama-sama, Tante.”
“Lain kali, pelan-pelan makannya, ya,” ucap Bagas sembari mengambil selembar tisu, dan mengusapkan ke wajahku.
“Ya Allah, Jeng! Kita percepat aja gimana?” seru Tante Anna.
Kalimat Tante Anna membuatku kembali melotot, untung saja sedang tidak makan, kalau tidak aku pasti sudah tersedak.
“Kalau saya, ya, gimana anak-anak aja, Jeng,” ucap Mama kalem, yang kutahu dalam hatinya pastinya pasti sedang bersorak.
“Kalau kamu gimana, Gas?”
“Bagas, ikut kata Mama aja,” jawabnya tak mengalihkan pandangan dariku.
Sungguh aku melihat dia menyeringai tipis, sangat tipis.
“Alhamdulillah. Kalau Caca, mau jadi mantu Tante? Jadi istrinya Bagas!”
“Eh ... it-itu—“
“Caca pastilah mau, Jeng! Enggak mungkin nolak! Iya, kan Ca?” jawab Mama semena-mena.
“Ma—“
“Sudah, sudah. Kita makan dulu sekarang. Setelah itu baru bicara pernikahan," putus Papa, yang juga memutus semua kalimat protesku.
***
“Ma, nggak bisa gitu dong!”
“Kenapa?”
“Aku enggak mau nikah sama Bagas!”
“Iya, kenapa?”
“Ya, pokoknya Caca enggak mau nikah sama orang asing! Caca enggak mau pokoknya!”
“Kamu harus kasih alasan yang jelas, baru Mama pertimbangin lagi perjodohan kamu.”
“Ma! Enggak bisa gitu!”
“Enggak bisanya kenapa? Kamu udah punya pacar?”
“Ya-ya, enggak.”
“Nah, kamu aja enggak punya alasan jelas, kok!
“Ta-tapi, Ma?”
“Udah deh! Enggak usah tapi-tapi, masalah belum kenal, kalian bisa kenalan dulu. Toh, kalian tunangan dulu, enggak langsung nikah.”
“Aku enggak suka sama dia, Ma!”
“Enggak susah buat kamu jatuh cinta sama Bagas. Dia tampan, baik, perhatian dan mapan juga!”
“Astagfirullah, Mama ... Mama enggak bisa kayak gitu dong! Belum tentu Bagasnya juga suka sama aku, kan?”
“Kamu enggak denger tadi Bagas bilang apa?”
“Apa?”
“Makanya dengerin!”
“Yang mana?”
“Ish ... dia bilang setuju sama perjodohan ini. Lagian, kalau dia enggak suka enggak mungkin dia setuju, kan?”
“Tap—“
“Lagian anak Mama, tuh cantik! Kamunya aja yang enggak bisa rawat diri! Pokoknya mulai sekarang kamu harus dandan! Rubah penampilan!”
“Sesekali pake rok, kek. Jangan celana mulu! Pake dress biar keliatan perempuan banget! Ini pake kemeja sama celana terus, warnanya item teruss!”
“Kok, jadi aku yang harus rubah penampilan? Kalau dia suka, ya, terima dong apa adanya,” protesku.
“Enggak usah banyak protes! Mama udah beli make up sama skincare buat kamu, sama dress-dress juga! Mulai sekarang kamu harus terbiasa pake itu semua.”
Mama berlalu meninggalkan aku yang terbengong-bengong.
Aku memutuskan untuk masuk ke kamar, tetapi langkahku terhenti oleh suara tawa dari kamar Ranita.
Aku melangkah lebih dekat, menempelkan telinga pada daun pintu. Ternyata di sana ada Rania juga, saat aku sedang kesal mereka malah tertawa-tawa.
Aku membuka pintu kasar, melihatku masuk keduanya sontak terdiam.
“Bagus ya, lo berdua ketawa di atas penderitaan gue!”
“Astaga, Kak! Enggak bisa apa buka pintunya pelan-pelan? Bikin kaget aja! Lagian siapa juga yang ketawain lo!”
“Trus lo ngapain ketawa-tawa?”
“Yeee ... suudzon aja! Kita lagi nonton drakor nih!” kata Ranita menunjukkan laptop di depannya.
“Gue mau tanya serius sama lo!”
“Tanya apa?”
“Lo beneran enggak tau rencana Mama?”
“Demi Allah, Kak. Gue enggak tau!”
“Trus kenapa si Cici bilang semoga acara lamarannya lancar?”
“Ck! Itu sih karena gue request make upnya kayak orang lamaran kali!”
“Kenapa lo request gitu?”
“Ih ... itu requestan Mama. Mama bilang make upnya yang bagus, kayak buat acara lamaran gitu.”
“Beneran lo enggak tau?”
“Sumpah, Kak! Sumpah, gue enggak tau! Kenapa sih?”
“Cowok yang tadi itu mau dijodohin ke gue sama Mama.”
“Terus kenapa? Kan, ganteng,” balas Rania.
“Ganteng-ganteng srigala? Lo pikir nikah cukup ganteng doang? Udahlah gue mau ke kamar.”
“Woiii, Kak! Tutup lagi dong!”
Tak kuhiraukan teriakan Ranita di belakang sana, aku tetap melanjutkan langkahku menuju kamar.
Aku berdecak kala perutku berbunyi, menimbulkan rasa perih pada lambung. Aku memang tak menyentuh lagi makananku tadi, terlalu shock dengan kejadian hari ini, membuat nafsu makanku hilang. Sayang, rasa laparnya tak ikut hilang.
Aku melihat di atas meja riasku kini dipenuhi oleh botol-botol make up dan skincare, sepertinya Mama tak bercanda saat bilang aku harus mengubah diri.
Aku menghembuskan napas kasar, memilih berjalan ke kamar mandi.
Masuk ke dalam kamar mandi, aku segera membuka dress yang ternyata tak lebih nyaman dari kaos oblong dan celana kulot. Setelah membuka semuanya, aku menyalakan shower untuk mengguyur seluruh tubuhku.
Membiarkan penat ikut mengalir bersama air.
Mungkinkah Bagas adalah jodohku? Entah mengapa aku merasa ada yang tak beres dengan Bagas, kenapa dengan begitu mudah dia menerima perjodohan ini. Siapa pun akan setuju bahwa Bagas memiliki paras yang tampan, tubuhnya tegap disempurnakan oleh tinggi badan yang ideal, pun pendidikan S2 membuatnya tak mungkin tak dilirik oleh wanita di luar sana, kan?
Jangan-jangan dia pria yang gagal move on? Lalu, menjadikanku sebagai pelarian. Atau jangan-jangan dia pria yang suka jeruk makan jeruk? Astaga! Kemungkinan terakhir membuatku bergidik ngeri. Ya Allah jauhkanlah aku dari makhluk seperti itu.
.
.
.
.
.
Tbc
Aku mengerutkan kening saat membaca satu pesan yang masuk ke ponselku dari nomor yang tak kukenal.[Bisa ketemu nanti sore? Kutunggu di kafe Cinta pukul 17.00 hari ini.]Aku memutuskan untuk tak membalas, karena aku tak terbiasa membalas pesan dari nomor asing.Aku melirik tumpukan dokumen di atas meja, dokumen yang harus kuperiksa satu per satu. Setelahnya, membuat perbandingan agar hasilnya menemui titik balance.Berkutat dengan angka-angka memang kegemaranku, tetapi jika dikejar deadline seperti sekarang rasanya kepalaku hampir pecah.Aku memilih untuk menghiraukan getar notifikasi yang sedari tadi tak mau berhenti, aku bisa memeriksanya nanti. Begitu pikirku.Mendekati akhir tahun seperti ini, divisi keuangan memanglah menjadi divisi paling sibuk di antara yang lain.“Mbak! Makan siang, yoook!”“Eh ... udah jam istirahat?”“Kerja sih kerja! Badan tetep butuh makan kali! Kerja sampe lupa waktu begitu!” omel Maria“Hahaha ... emang beneran enggak kerasa kalau udah masuk waktu istir
Setelah sampai rumah, kutunjukkan hasil rekaman pembicaraan antara aku dan Bagas. Terlihat perubahan pada wajah Mama, wajahnya terlihat sangat kecewa. Senyum yang coba Mama tampilkan malah terlihat hambar. Sebegitu kecewa Mama atas batalnya perjodohan kami. Namun, Mama berjanji akan menyelesaikan masalah ini dengan Tante Anna tanpa harus membahayakan kondisinya. “Istirahat, Ca. Udah malem.” Setelah berkata begitu, Mama masuk ke dalam kamar. Menyisakan aku yang termenung meratapi keadaan. Sungguh, sebenarnya keinginan Mama terhadapku sangatlah sederhana, tetapi aku pun tak bisa berbuat sesuatu di luar kendaliku. Melihatku menikah, menemukan pasangan hidup, membina sebuah rumah tangga, dan memiliki keturunan. Bukankah itu hal sederhana? Namun, apa yang bisa kulakukan jika Tuhan belum mau memberikan? Atau mungkin benar kata orang-orang. Bahwa, akulah yang kurang dalam berusaha? Aku mengusap air mata yang tiba-tiba hadir. Bukan! Bukan inginku begini. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”“Wa alaikum salam.”“Kak, lo baik-baik aja, kan?”“Kenapa emang?“Lah, ini lo bukan style lo banget!”“Emang style gue gimana?”Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”“Ya, enggak sih.”“Trus?”“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”“Ya, baguslah. Betewe, l
Ck! Harganya puluhan juta ini! Duh, cakep banget!” Maria berdecap kagum.“Hah? Masa sih, Mar?”“Hah-hah, mulu dari tadi! Mbak pegang deh!”“Mau apa kamu, Mar?”“Mau cek harganya.” Maria meraih ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya.“Tuh, kan Mbak! Harganya tiga puluh jeti!”“Hah? Yang bener kamu, Mar!”“Nih, liat kalau enggak percaya!”Maria menyodorkan ponselnya, dan benar di sana terpampang gambar tas yang sama dengan yang saat ini kupegang beserta harga dalam jumlah dollar.“Kalau Mbak enggak mau, aku mau nampung, kok!”“Enak aja!”“Ish! Tadi aja sok-sokan enggak mau buka, tapi siapa yang ngirim ya, Mbak?”Dering di ponselku mengalihkan perhatian kami. Aku segera meraih ponselku, mengangkat satu alis kala mendapati nomor yang memang tidak kusave. Namun, aku tahu siapa pemiliknya. Bagas.Untuk menjawab rasa penasaran, aku segera menjawab teleponnya.“Ya?”“Hai, Ca!”“Ada apa?”“Ck! Kamu tuh selalu tanpa basa basi, ya?”“Yang basi itu enggak enak. Ada apa? Bukannya mas
"Itu kan si Bagas. Ngapain dia di sini?” gumamku. Aku segera menoleh ke arah Mama. Aku bersyukur Mama sedang sibuk dengan ponselnya. Aku juga bersyukur karena Bagas segera melaju dan tak sempat melihat ke arah kami. Kami berdua sampai di rumah Tante Fania tepat pukul sembilan. Di rumah itu sudah banyak orang. Lapangan di depan rumah Tante Fania juga terlihat sudah penuh oleh mobil keluarga kami. Sebenarnya aku malas sekali menghadiri acara ini jika bukan karena perkara jodoh. Sebelum turun aku mengecek kembali penampilanku. Memastikan penampilanku tetap paripurna. “Ayo, Ca!” “Iya, Ma.” Setelahnya aku menekan tombol kunci otomatis, dan menggandeng tangan Mama. Baru sampai di halaman rumah, saudara-saudara Mama sudah bersorak menyambut kedatangan kami. Kemudian suara-suara yang lebih banyak didominasi oleh wanita itu terdengar bergantian. Tentu saja akulah yang menjadi objek utama mereka. “Pantes hari ini cerah banget, Caca datang rupanya.” “Wah, Caca makin cantik ya, kalau pake
“Kenapa nyariin aku?”Sungguh aku tak berani menoleh. Sekarang aku bagaikan seorang pencuri yang ketahuan pemiliknya. Jangan lagi tanya bagaimana jantungku bekerja. Telapak tanganku bahkan sudah terasa dingin. Ingin rasanya aku menghilang sekarang juga. Entah bagaimana sekarang semua pasang mata seolah-olah hanya tertuju padaku.“Nah, ini orangnya!” seru Tante Fania.“Maaf, Ma. Kai telat.”Aku memberanikan diri untuk sedikit melirik, Iya, hanya sedikit. Tante Fania bangkit untuk menyambut anaknya. Pria bernama Kaivan Abimanyu itu lantas mencium kedua pipi Tante Fania.“Kamu kan emang gitu. Kalau udah kerja ya, lupa waktu. Enggak peduli walau pun weekend begini!”Hanya garis besar yang kutahu tentang keluarga Tante Fania. Suaminya—Gilang Abimanyu adalah seorang arsitektur, sedangkan anak sulungnya—Aidan Abimanyu mengikuti jejak Om Gilang, sementara Kak Kai—begitu aku memanggilnya, lebih memilih menjadi seorang pengusaha.Dari cerita Mama, katanya Kak Kai memiliki dua kafe yang sedang
“Awas, Ca ...!”Hanya sepersekian detik tubuh kurusku sudah terlempar ke dalam kolam renang. Untuk beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang terjadi padaku. Astaga, aku tercebur! Begitu sadar bahwa tubuhku kini berada di dalam air, aku segera menggerakkan tubuh. Berkali-kali aku mencoba untuk membuat posisi kepala di permukaan air agar bisa bernapas. Aku tak menghiraukan pekikkan-pekikkan kaget dari semua orang. Bagaimana bisa menghiraukan orang-orang, sedangkan untuk bernapas saja aku kesulitan. Iya, aku tak bisa berenang. Di keluargaku hanya akulah yang tak bisa berenang.Jangan tanya penyebabnya, karena aku malas mengingat peristiwa masa kecil yang membuatku trauma akan air. Apa yang dikatakan Tante Fania dan Kak Kai memang benar. Sewaktu kecil aku adalah anak yang memiliki tubuh gendut dan ceroboh, mungkin karena itulah aku sering tercebur.Tak lama kudengar suara cipratan air dekat dengan posisiku berada. Entah siapa yang memelukku dari belakang, dia mengangkat tubuhku hi
"Ka—kak, ma—mau apa?”“Menurut kamu?”“Jangan macem-macem ya, Kak!”Kak Kai mengulurkan kemeja basahnya ke pangkuanku dengan pandangan menunduk. Kulihat napasnya naik turun dengan cepat. “Tolong tutupi bagian depan badan kamu pakai ini dan jangan bertanya kenapa.”Adalah hal yang menjadi tanya besar ketika manusia dilarang melakukan sesuatu, justru menimbulkan rasa penasaran yang mengembung makin besar. Sama halnya dengan manusia lain, aku pun merasa perlu menanyakan hal yang dilarang oleh Kak Kai. Namun tak urung aku menuruti permintaannya dengan menutup bagian dadaku.“Kenapa?”Setelah aku menutupi dada dengan kemeja itu, Kak Kai kembali menarik kaki sebelah kiriku dan memijatnya. Kali ini pijatannya terasa terburu-buru.“Kenapa, Kak?” ulangku saat kulihat dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku. “Awww! Sakit, Kak!”Kulihat dia memejamkan mata sambil terus memijat kakiku. Kenapa dia terlihat begitu frustrasi. Sebenarnya dia itu kenapa sih?“Aaah!”“Astagfirullah,