Share

4. Tamu Spesial

Aku terbangun karena perut yang keroncongan, melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ah ... ternyata aku tertidur cukup lama.

Aku mengerakkan tubuh yang serasa pegal karena tertidur dengan posisi yang tidak nyaman, mendesis kala tangan yang menjadi bantalan kepala selama tidur terasa ngilu.

Terdengar lagi suara perutku yang kelaparan, jika diingat terakhir aku makan saat di kantor kemarin siang.

Aku segera bangun saat mengingat belum mengerjakan salat Isya, bergegas ke kamar mandi kutemukan noda merah di celana dalam. Pantas, semalam aku begitu emosi.

Rania adik bungsuku itu memang memiliki sikap yang menyebalkan. Selain terlahir bungsu, sikap Mama terhadap Rania selama ini membuatnya begitu manja.

Menyelesaikan ritual mandi kilat, aku memilih piama untuk dipakai sekarang. 

Setelah selesai berpakaian, kubawa langkah menuruni tangga menuju dapur. Beruntung hari ini adalah hari libur, aku merencanakan untuk tidur lagi setelah makan malam di dini hari ini.

Membuka lemari es, aku mencari bahan yang akan kumasak. Namun, pilihanku malah jatuh pada sebutir telur, tiga buah cabai rawit, dan sebungkus mi instan.

Yups! Pilihan yang tak sehat sebenarnya, tetapi memasak menu ini adalah yang paling cepat. Makanan sisa makan malam di atas meja tak membuatku berselera, jadilah menu ini yang kupilih.

Setelah lima menit, mi yang kumasak telah matang. Aku mengambil sepiring nasi hangat yang beruntung masih tersisa di ricecooker, belum dikatakan makan jika belum makan nasi. Duh ... Indonesia banget!

Saat sedang menikmati semangkuk mi dengan pedas level lima, langkah kaki seseorang membuatku mendongakkan kepala.

Di sana Rania berjalan ke arahku dengan bibir mengerucut. Tak menghiraukan kehadirannya, aku tetap melanjutkan acara makanku dengan khidmat.

“Kak.”

“Kak.”

“Kakak ....”

Aku tetap mengunyah makananku, jangankan menjawab menoleh pun tidak.

“Kakak!” panggilnya lagi yang kini sudah duduk di kursi di hadapanku.

“Apa?”

“Aku mau minta maaf,” ucapnya tertunduk. Aku sangat hafal sekali dengan sifatnya, dia melakukan itu jika sedang meminta maaf. Lalu, tersenyum riang kembali saat apa yang dia inginkan terkabul.

“Maaf buat apa?”

“Maafin buat kata-kataku semalem, Kak.”

“Enggak butuh minta maaf sih, butuhnya transferan,” sindirku.

Aku meminum segelas air putih hingga tandas setelah semua makanan sudah berpindah ke dalam perut, menumpuk mangkuk dan piring jadi satu. Lalu, aku membawanya untuk dicuci.

“Kakak ....” Nah, kan Rania mulai merajuk.

Kali ini dia mengikuti langkah kakiku, menggoyang-goyangkan tanganku seperti anak kecil yang meminta es krim.

“Gue tunggu transferannya!” Menghempaskan tangannya pelan. Aku membawa diri masuk ke kamar dan menguncinya.

Terdengar langkah kaki Rania yang menjauh dari pintu kamarku setelah bermenit-menit kuhiraukan, aku kembali membaringkan tubuh di atas kasur.

***

Pukul 06.00 pagi aku bangun dengan tubuh yang segar, setelah mandi aku bergegas menuju dapur.

Tumben sekali Mama tak bernyanyi pagi-pagi begini, di sana aku lihat Mama sedang berkutat dengan wajan dan panci.

“Pagi, Ma,” sapaku riang.

“Pagi, Sayang,” balas Mama tanpa membalikkan badan.

“Kok, Mama tumben enggak bangunin aku?”

“Mama lihat bungkus pembalut bekas pakai di kamar kamu, Ca.”

“Oh ... kok wangi rendang si, Ma?” Kutengokkan kepala wajan yang sedang mendidih. "Mama masak rendang?”

“Iya. Kamu bantu kupas kentangnya, Ca.”

Kulihat Mama bukan hanya memasak rendang, ada gulai ayam, tahu, tempe, dan kue yang sedang di oven serta agar-agar yang telah masak.

“Masaknya banyak banget, Ma. Ada yang mau dateng, ya?”

“Iya, ada tamu spesial yang mau dateng.”

“Tamu spesial?”

“Iya, dong! Kalau enggak spesial ngapain masak banyak kayak gini?”

"Tamunya siapa sih?"

“Nanti juga kamu tau, udah cepet bantuin, Mama.”

“Siap, Nyonya!”

“Nanti setelah masak kamu ke salon, ya, Ca.”

“Ke salon? Ngapain? Jemput tamunya Mama?”

“Ck! Bukan! Kamu dandan ke salon sana!”

“Kok harus ke salon segala sih, Ma?”

“Buat nyambut tamunya Mama lah, kamu itu gimana sih?”

“Itu, kan tamunya Mama, ngapain aku yang dandan!”

“Enggak usah banyak protes! Nanti pakai baju yang Mama taro di lemari kamu, awas jangan sampe enggak!”

“Sebenernya tamunya siapa si, Ma? Kok, heboh banget?”

Tanyaku hanya menggantung tanpa jawaban, Mama pura-pura tak mendengar dan asyik mengiris bawang.

***

“Ca! Cepetan!”

“Ta! Cepet anter Kakakmu sana!

“Ayo, Kak!”

Suara Mama dan Ranita bersahutan, sementara aku berjalan gontai menuju mereka. Sampai sekarang Mama masih bungkam soal siapa sebenarnya tamu yang akan datang.

“Ta! Lo tau enggak tamu Mama yang mau dateng?”

“Enggak, tuh,” jawabnya cuek.

“Kok gue gak percaya, ya?”

“Gue juga enggak lagi ngeyakinin, kok!”

“Beneran lo enggak tau?”

“Ck! Ngapain juga bohong.”

“Kenapa cuma gue yang disuruh dandan? Pake acara ke salon segala lagi!”

“Mau nikahin lo kali ...”

“Mulut lo! Sembarangan, ya.”

“Udah sampe, Kak. Masuk gih! Entar gue jemput.”

“Hallo ... Cici! Nih, kakakku. Yang bagus, ya.” Ranita melambaikan tangannya pada seseorang yang dia panggil Cici dan berlalu pergi.

Lalu, wanita yang dipanggil Cici itu menggiringku ke dalam.

Entah apa yang dilakukan olehnya, hingga satu jam kemudian dia baru melepaskan aku. Aku melihat ke arah cermin. Aku tak percaya bahwa yang ada dalam cermin adalah diriku. Riasan tipis dengan look korean fresh dan rambut curly di bagian bawah mempercantik tampilanku. 

“Nah, cantik, kan?”

Mau tak mau ada semburat merah jambu di kedua pipiku. “Makasih, ya, Ci.”

“Sama-sama. Semoga lamarannya lancar, ya. Jangan lupa kalau nikahan nanti pake MUA sini, ya. Nanti pasti saya kasih diskon pokoknya.”

Apa? Lamaran? Siapa yang dilamar? Belum sempat menyuarakan semua tanya dalam hati, Ranita sudah datang menjemput.

Kupandangi Ranita dengan tajam, yang dipandangi malah terlihat senyum semringah.

“Cantik banget lo, Kak,” pujinya.

“Ci, makasih, ya.” Cici hanya memberikan jempolnya sebagai respons.

 “Ayo, Kak! Gue udah dimarahin Mama, nih!"

Aku menahan pergelangan tangannya yang akan menstater motor. “Jelasin sama gue siapa yang mau lamaran?”

“La-lamaran? Si-siapa yang mau lamaran?”

“Jangan belaga pilon, ya!”

“Lo tanya aja deh ke Mama. Cepetan naik, ntar kita dimarahin Mama lho!”

“Ta!”

“Kak! Mama udah nunggu. Nanya-nanyanya ntar aja, di rumah!”

Dengan segala tanya yang tak terjawab akhirnya aku naik ke atas motor. Kalau benar yang Cici katakan akan ada lamaran, kemungkinan terbesar wanita yang akan dilamar itu pasti aku.

Pertama aku adalah anak pertama, kedua hanya aku yang disuruh dandan sampai harus ke salon dan ketiga, ini yang paling menyedihkan sekaligus membantah pernyataan satu dan dua. Bahwa, aku tak punya kekasih.

Lalu, mataku melotot sempurna kala satu pertanyaan yang kuharap tak pernah jadi pernyataan. Astaga, jangan bilang kalau Mama nekat menjodohkan aku, lantaran aku selalu menolak jika dikenalkan pada kandidat yang Mama pilihkan.

“Kak! Buruan turun!”

“Kenapa lo parkir di sini?”

“Lo pikir kenapa?”

“Kenapa?”

“Ish ... tamunya Mama tuh, udah dateng. Kita masuk lewat belakang!”

Aku dan Ranita melewati jalan memutar untuk bisa masuk lewat belakang. Ketika kami masuk dapur, kulihat Mama sedang membuatkan minuman.

“Kalian tuh, dari mana aja sih? Kok lama banget! Tamunya keburu dateng, kan!”

“Ma, tugasku dah selesai, kan? Aku ke kamar, ya?” tanya Ranita pada Mama. Namun, sebelum Mama menjawab anak itu sudah kabur lebih dulu.

“Ca, ini bawa ke depan.” Mama meletakkan nampan berisi beberapa gelas jus jeruk.

“Ma, Caca mau ngomong.”

“Ngomongnya nanti aja, kita ke depan dulu. Kasian kalau tamunya kelamaan ditinggal.”

“Ta-tapi, Ma?”

“Jangan kebanyakan tapi,” balas Mama sembari mendorong punggungku agar berjalan.

Sesampainya di ruang tamu, kulihat Papa yang sedang mengobrol dengan pria yang seusia dengan Papa, di sampingnya duduk seorang wanita yang mungkin seusia Mama.

“Aduh ... Jeng, kok repot-repot sih?” kata wanita yang duduk di samping pria tadi.

“Ah ... enggak, kok, Jeng Anna. Cuma air minum aja!” 

“Ca, ayo!” kata Mama padaku dengan melirik ke arah nampan.

“Ini Caca toh? Wah cantik, ya Pa?” ucap wanita yang dipanggil Jeng Anna oleh Mama.

“Jelas cantik dong, Ma.”

Setelah menyuguhkan jus jeruk yang kubawa, aku menyalami satu per satu tamu Mama yang baru kutahu bernama Tante Anna dan Om Handoko.

“Gas, sini loh! Kenalan sama Caca!” Aku menoleh ke arah lambaian tangan Tante Anna, kenapa aku tak lihat kalau ada orang di sana.

Pria yang dipanggil Gas itu lantas berdiri dan mengulurkan tangan ke arahku. “Bagas.” Ucapnya datar.

Pria itu menaikkan alis kala aku tak segera membalas uluran tangannya. Namun, sebuah cubitan di pinggang membuatku cepat-cepat membalas uluran tangan pria itu. “Raisa,” balasku.

Sungguh aku melihat senyum mengejek di wajah pria bernama Bagas itu. Heh! Apa maksudnya coba?

.

.

.

.

.

.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status