"Nggak usah teriak-teriak, kita juga pasti pergi, kok. Kang suruh belajar sopan tuh istrimu sama sodara. Asal Kakang tau, kelakuan kaya gitu yang bikin sodara malas mendekat sama keluarga Kakang." Mataku mengerling kearah Kang Handoyo. Aku segera beranjak dari dari karpet ini. Bersiap pergi dari ruangan ini, sebelum pergi, ku ambil foto Mbak Meri, Tio, aku, Mas Rahman dan Kang Handoyo juga. Biasa hape baru. Sengaja pamer dikit, boleh dong. "Mas, yuk keluar aja, kedatangan kita disini nggak ada gunanya kok. Korban modus doang," ceplosku. Biarin aja, mau tersinggung elos, enggak ya elos. Dia yang janji, eh, malah dusta. Mas Rahman berdiri. Mata Kang Handoyo sayu. Hatiku lumayan kesal setelah menjadi korban modus Kang Handoyo. "Pasti tak ganti, Rum. Tenang aja. Besok siang kesini lagi, ya! Tolong bawain makanan dari rumah, lauknya apa aja deh, tekor beli terus," keluh Kang Handoyo. Kuhela nafas kasar. Walah Kang, Kang. Untuk makan sendiri aja itungan. Resiko lah. Coba kalo kaya gin
Silakan hina aja, belum tau dia, motorku lebih keren dari punya dia. "Eh, Bude, situ 'kan cs-nya Mbak Meri tuh, udah nengokin belum solmatenya sakit?" Mataku melirik kearah Bude Sri. "Udah dong! Semalam aku kesana pulang jam sembilan," jawabnya sok iyes. What kesana? Mana ada, wah pembohong nih. "Oh, ya! Kok nggak ketemu, ya sama aku! Aku semalam habis dari sana loh, ini Kang Handoyo minta dimasakin suruh ngirim makanan nanti siang," ucapku santai. "Mana ada! Kamu jangan ngarang cerita dong! Semalam kamu nggak ada tuh. Si Meri kasihan tau, dia itu semalem belum sadar, ih, miris banget deh. Aku disuruh jaga rumah sama si Handoyo," Bude Sri sok sedih. Dasar tukang ngibul. Mana ada Mbak Meri pingsan, semalem dia mencak-mencak kok. Dih, dasar tukang cari muka! Kucebikkan bibir ini. Jelas-jelas Bude Sri ini berdusta. "Oh, benarkah? Emang Mbak Meri dirawat diruangan mana, Bude?" tanyaku mengetes si perempuan cs-nya Mbak Meri ini. "Lho, katanya nengokin kok nggak tau Meri dirawat dir
Pulang dari warung, hatiku puas bisa memberi pelajaran kepada Bude Sri cs-nya Mbak Meri. Selama ini dia selalu ikut-ikutan menghinaku. Pagi ini, kubuat dia melongo. Aku harus segera mengeksekusi bahan masakan ini, lalu membantu suamiku di ladang. _______ "Mas, sarapan dulu," ucapku setelah motor ku parkir di kebun karet yang kami garap. Sebuah plastik berisi bekal makanan kuambil dari motor. "Masak apa, Dik?" Mas Rahman membuka bungkusan ini. "Balado telur, Mas. Sekalian buat ngirim ke rumah sakit nanti siang." Aku duduk ditanah. Suasana teduh dibawah pohon karet membuat nyaman. "Tadi Kang Handoyo telepon, katanya Mbak Meri hari ini sudah boleh pulang. Tapi ... Tio masih harus dirawat." Mas Rahman mulai menyantap nasi bungkus bekal yang ku bawa. "Terus jadi ngirim makanan engga?" Alisku bertaut. Mas Rahman meneguk air bekal minumnya. "Ya jadi. Ini mulung dulu, langsung kesana. Siapa lagi yang mau ngirim makanan ke mereka kalau bukan kita?" Mas Rahman menatapku ekspresi wajahn
"Ah enggak, hoak itu. Semalam aku kesana suara Mbak Meri aja kenceng kaya toa kok," ucapku jujur. Kubuka lagi plastik pemberian Bude Sri kucek lagi isinya apa. "Mak Odah, Mbak Lilis, aku minta tolong kalian ikut ngecek baju ini, ya! Takutnya nanti timbul masalah gara-gara baju ini. Tau sendiri 'kan iparku itu gimana." Mataku menatap Mak Odah dan Mbak Lilis bergantian. Mak Odah meletakkan sayur asem kedalam, lalu dia keluar lagi ikut memeriksa baju Mbak Meri. "Nggak ada apa-apa nya kok. Baju dua potong, celana dua potong," ucap Mbak Lilis. "Iya, aman kok, Rum. Tenang aja, nanti kalo Meri berulah, biar Emak yang ngadepin." Mak Odah siap pasang badan. Aku tersenyum, "Makasih lho, Mak." Kuusap lembut bahu Emak. "Aku mau mandi dulu, nanti mau ke rumah sakit lagi," ungkapku pada kedua orang ini. Merekapun mengerti lalu permisi pulang. Suamiku pulang saat aku selesai mandi. "Mas, udah langsung dibagi uangnya?" tanyaku pada Mas Rahman, sambil menjemur pakaian yang telah kucuci. Uang ha
Aku melenggang pergi dari ruang perawatan Mbak Meri. Mending cari makanan dan minuman yang bikin kenyang dan adem. "Mas, ayok ikut aku! Kita cari makan diluar aja," ajakku pada Mas Rahman. Kamipun berjalan bersama mencari tempat nongkrong yang asyik sambil makan. Usai makan siang, pas azan Dzuhur berkumandang. Aku dan suami mencari mushola terdekat untuk tunaikan kewajiban. "Dik, kamu tadi bawa nasi bungkus berapa?" Mas Rahman duduk disampingku usai kami sholat. "Lima bungkus, Mas. Untuk kita semua. Tapi, bukanya ucapan trimakasih yang ku dapat malah cuitan sumbang," keluhku kesal. "Hah, entahlah, Dik. Mas juga nggak habis pikir, kok mereka setega itu. Liat tadi, Kang Handoyo pun nggak nawari kita makan. Jan kebangeten," ucap Mas Rahman ia merebahkan diri di ubin. Mending ngadem di mushola ini, ayem, ketimbang di dalam ruangan sana. ber-AC tapi rasanya mendidih. "Mas, cukup ini terakhir kalinya kita berurusan sama keluarga Kang Handoyo orang yang nggak tau terimakasih itu. Beso
_________ "Heh madesu, bangun!" Suara sumbang terdengar jelas ditelinga. "Enak ya tidur diruang ber-AC!" Mataku perlahan terbuka, menatap sosok yang berdiri mendelik kearahku. Yah, Mak Lampir bangun. Aku segera duduk bersandar di dinding. "Bulik, siap-siap, hari ini sudah boleh pulang," lirih Tio. Aku menoleh Tio lalu tersenyum. Kemana Mas Rahman dan Kang Handoyo? Kok nggak ada? Ah, lebih baik cuci muka dulu, biar seger. "Hei, mau kemana kamu?" Mbak Meri mendelik lagi. Tangannya memegangi botol infus yang masih separuh. Aku malas menanggapi Mbak Meri. Lebih baik ketoilet aja. Keluar dari toilet, datang dua orang perawat menghampiri Tio dan Mbak Meri. "Hari ini boleh pulang, tinggal nunggu infusnya habis. Tolong administrasi diurus ke kasir, biar bisa segera pulang," ucap perawat itu ramah. Kuraih hapeku di tas, kunci layar kubuka, ternyata dilayar sudah tertera jam tiga lebih sepuluh menit. Hem, rupanya sudah sore. "Hei Arum! Sampai rumah nanti kalo barangku ada yang hilang
Setelah mendapat penjelasan dari Mbak Lilis, Mak Odah menarik tanganku untuk keluar dari rumah ini. "Dasar wong licik, maen fitnah Arum sembarang. Tak labrak sekalian si Sri itu," Mak Odah berapi-api. "Mak, Mak, jangan! Nggak usah, biarin aja. Toh kita udah tau siapa yang licik, sekarang tinggal kita kudu mawas diri aja biar nggak kecolongan," cegahku pada Mak Odah. Kalau sampai Mak Odah ngelabrak Bude Sri, bisa perang dunia ke lima. "Aku jengkel, Rum!" Dada Mak Odah naik turun. Wanita tua berdaster ini terbakar emosi. "Rum, kita datengin Bude Sri aja, yuk! Aku punya bukti kok!" Mbak Lilis malah meyulut perkara lagi. "Nggak usahlah Mbak Lilis, bukan ranah kita. Yang penting sekarang 'kan udah terbukti aku nggak salah. Biar jadi urusan Kang Handoyo itu. Kita nonton aja," ucapku santai. "Pulang, yuk! Aku capek. Makasih sudah mau bantuin aku ya!" Kami akhirnya pulang. Mas Rahman membawa motor matic, aku berjalan bersama Mak Odah dan Mbak Lilis. ___________ "Man Rahman!" Suara Kan
"Mak, uangnya nanti nunggu nimbang karet, ya!" Kuulas senyum pada Mak Odah. "Iya, nggak papa. Yang penting tu kambing laku. Ya udah, Mak pulang dulu." Wanita tua berdaster inipun undur diri. Suamiku pulang mencari rumput. Bersamaan dengan kedatangan Kang Handoyo. "Rum, uangnya udah ada 'kan?" Lagi-lagi uang diotaknya Kang Handoyo. "Iya, ada! Nggak sabaran banget sih!" Ketusku bibir ini maju. "Mana! Aku butuh sekarang!" Tangan Kang Handoyo langsung menadah. Mataku membulat sempurna. Benar-benar nggak punya aturan ni orang. Seenaknya saja minta uang begini. "Enak aja! Ada prosesnya. Tunggu aja dirumahmu sana. Nanti ku antar uangnya. Oh iya, siapin surat menyurat juga. Ada uang ada surat." Tegasku mantap. Kang Handoyo berpikir sejenak. Kali ini aku harus cerdas berhadapan dengan dia. "Baik, akan kusiapkan suratnya. Ingat uangnya harus tiga puluh juta. Jangan sampai kurang!" Kang Handoyo sok mengancam. Aku tersenyum sinis, "Iya iya. Bawel!" ketusku. Kang Handoyo pun pergi. Bagu