Qu Yilin berjalan mendekati jendela sambil meremas-remas punggung tangannya sendiri. Kulit putih nan lembutnya pun menjadi memerah akibat remasan-remasan yang seakan menjadi pelampiasan suatu perasaan."Tujuh belas tahun yang lalu, ayahmu pergi mengembara selama bertahun-tahun. Dia ditugaskan untuk mencari obat penawar racun guna menyembuhkan penyakit nenekmu. Dan di dalam perjalanannya, ayahmu menemukan pecahan kepala tombak aneh di Puncak Gunung Naga." Qu Yilin mulai bercerita.Pangeran Han Yuze diam mendengarkan, meskipun di dalam hati dirinya merasa ada suatu kejanggalan. "Ayah pergi mencari obat untuk nenek, bukankah saat itu kakek masih menjadi kaisar? Selain tabib istana, apakah kakek tidak mengundang tabib terbaik di negara ini untuk menyembuhkan penyakit nenek?" Pangeran Han Yuze tak bisa untuk menahan pertanyaannya."Tentu saja semua sudah dilakukan dan tidak ada yang berhasil sama sekali. Penyakit nenekmu bukanlah penyakit biasa saja, melainkan karena diracuni seseorang,"
Jing Ling bukan belum pernah datang ke mari sebelumnya, dan dia sudah tidak merasa asing dengan tempat ini.Jing Yue kemudian menyalakan dupa pengharum ruangan, serta dupa batangan yang untuk melakukan persembahan doa. Wanita itu memberikan satu batang dupa yang sudah dinyalakan kepada Jing Ling, dan menyalakan satu batang lagi untuk dirinya sendiri.Keduanya melakukan ritual tersebut untuk mendoakan dan mengenang arwah para anggota keluarga yang sudah mendahului pergi ke alam keabadian.Mereka memegang batang dupa dengan kedua tangan, lalu membungkuk sebanyak tiga kali di hadapan papan memori para leluhur.Tak bisa dipungkiri, jika hati keduanya pun merasa sangat sedih dan terluka saat mengenang kejadian tragis di masa lalu. Peristiwa berdarah itu telah membuat semua orang yang namanya tertera di papan peringatan harus meninggalkan dunia ini dengan cara sangat mengenaskan.Sesuai melakukan ritual tersebut, Jing Yue mau tak mau meneteskan air mata. Wanita itu kemudian mengeluarkan sua
53. Tombak Naga Emas! "Benda ini pula yang menjadi saksi atas tragedi di malam itu. Kamu buka dan lihatlah, Ah Ling!" Tangan sedikit Jing Yue bergetar saat teringat kenangan pahit telah membuatnya merasa tertekan dalam hati selama tujuh belas tahun ini."Benda ini ditinggalkan olehnya untukmu beserta sebuah kitab. Tapi kamu tidak perlu berterima kasih kepadanya." "Tak perlu berterima kasih padanya?" Alis hitam Jing Ling sampai berkerut akibat merasa heran. "Siapa maksud Ibu?""Itu ... nanti akan ibu ceritakan pelan-pelan," jawab Jing Yue, sendu."Hmm, Ibu rupanya sudah mulai senang bermain teka-teki denganku.""Konyol!" Jing Yue menyentil ujung hidung anaknya dengan lembut. "Sudah jangan banyak bicara. Cepat kamu lihat benda itu!""Oh." Jing Ling mengangguk. "Baiklah, baiiiik."Sebenarnya, hati Jing Yue terasa sedang tercabik-cabik dan berdarah oleh kenangan yang membuat separuh usianya hanya terkungkung dalam dendam. Sakitnya tak terkata hingga menangis sepanjang puluhan tahun ini p
Jing Yue hanya menggelengkan kepala."Ibu, lihatlah! Ibu bisa melihat sejauh mana perkembanganku." Jing Ling begitu bersemangat, lalu dia melompat ke tengah ruangan dengan gerakan lincah. Di hadapan Jing Yue dan seluruh papan peringatan Keluarga Jing, Jing Ling memainkan tombak itu dengan penuh semangat. Satu kali gerak Sambaran ke udara berhasil menimbulkan gelombang angin besar yang membuat semua tirai di ruangan itu bergerak melambai. "Menyambar kuat seperti ekor naga raksasa, tapi juga lentur dan lembut saat diayunkan!" teriak Jing Ling sembari terus mengayunkan tombak itu sambil melakukan gerak berputar, menusuk ke depan, memutar bilah tersebut dengan gerakan lincah."Gelombang angin yang berderu kencang cukup untuk merobohkan bukit anakan!"Pemuda itu lalu melompat cukup tinggi dan menyabetkan mata tombak ke tirai yang digantung sebagai hiasan. Hanya dalam satu kali sabetan saja, kain merah itu terpotong menjadi dua bagian dan melayang terbang dengan sangat lembut, lalu jatuh
"Jika Ibu bertanya, apakah aku takut?" Jing Ling berkata jujur. "Tentu saja aku takut. Bahkan sangat takut. Mendengar cerita tentang kekejamannya saja hatiku sudah bergetar dan ragu. Tapi aku akan berusaha mengatasi ketakutan itu demi keluargaku!" "Ibu, mohon doakan aku agar aku bisa menjadi lebih kuat dan dapat memenuhi harapan Ibu!" Jing Ling mengepalkan kedua tangannya.Jing Yue semakin terharu. "Tentu saja ibu akan selalu mendoakanmu. Hanya kamulah satu-satunya kebahagiaan, kebanggaan dan harapan ibu." "Doa saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan latihan yang keras. Ibarat seseorang ingin mengangkat gunung, tapi bergerak saja malas." Suara orang lain mengejutkan keduanya. "Ayah!" Jing Ling berseru kegirangan saat berbalik badan dan melihat Hua Yan, Hua Fei dan Hua Lin sudah berdiri di sana dengan sikap tenang lagi anggun. "Ayah datang." "Mmhh. Aku ingin bicara beberapa hal dengan ibumu," ujar Hua Yan sambil melangkah mendekati Jing Yue."Silakan, Ayah." Jing Ling memberi
Sebenarnya, apa yang membuat mereka harus pergi secepat itu?Beberapa hari yang lalu.Setelah mendapat perawatan dari tabib, luka-luka Jing Ling dan Hua Fei sudah semakin membaik. Begitu pula dengan keadaan Hua Yan yang tidak lagi terlalu mengkhawatirkan. Siang hari itu, Hua Yan duduk santai di ruangan pribadinya dengan ditemani oleh Hua Wu yang begitu setia melayani sang guru."Guru, ada salah seorang murid yang baru saja keluar lembah, dan dia menemukan kertas ini di jalanan." Hua Wu membungkuk hormat seraya menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Hua Yan.Hua Yan langsung membaca tulisan yang tertera pada kertas putih tulang yang baru saja diterimanya. Munculnya beberapa garis kerutan di dahi pria itu, seharusnya adalah suatu pertanda tentang bagaimana ia sedang berpikir keras.Hua Yan bergumam lirih. "Kompetisi tahunan ...." Setelah bergumam, Hua Yan langsung menyembunyikan kertas tersebut di tempat yang aman."Benar, Guru. Murid-murid lain sudah ramai membicarakan ini saat jam
Wajah Hua Fei menunjukkan kekhawatiran yang tidak dibuat-buat."Sudah paman bilang, kalau paman tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari racun dalam tubuh paman. Apakah kamu lupa siapa pamanmu ini?" Hua Yan menepuk lembut bahu Hua Fei."Aku adalah salah seorang dari tiga ahli racun yang ada di wilayah Kekaisaran Han ini. Aku bukan hanya dapat menekannya, tetapi juga pasti bisa membuat penawarnya." "Ah Fei tentu saja selalu ingat. Aku hanya tidak ingin racun itu akan menjadi pengganggu yang merepotkan paman nantinya." Hua Fei tetap merasa cemas. Hua Yan tersenyum lembut sebelum berkata, "Paman tahu akan kekhawatiranmu, Ah Fei. Tapi percayalah kalau paman akan baik-baik saja di bawah perawatan Tabib Guo. Beliau adalah adik seperguruan mendiang kakekmu, tentu saja Tabib Guo bisa dengan mudah mengatasi racun kecil ini."Walaupun Hua Yan mengatakan kalau itu hanya racun kecil, tetapi sesungguhnya ada suatu hal yang masih menjadi ganjalan pikiran pria tersebut, yaitu tentang
Hua Fei yang baru saja selesai merapikan pakaian Hua Yan pun segera menghadapkan muka ke wajah sang paman. Ada kecemasan pada cahaya matanya yang tak dapat disembunyikan.Hua Yan tersenyum, menepuk bahu Hua Fei dengan lembut. Pria itu kemudian berkata sambil berjalan menuju ke pintu keluar. "Kita serahkan saja semuanya pada takdir."Hua Fei merasa sedih dan tidak puas dengan jawaban Hua Yan. Dia lalu mengikuti langkah pria yang merupakan pelindung terbesarnya. Jika Hua Yan saja berkata demikian, bukankah itu artinya jikalau racun itu sebenarnya tidak mudah ditangani?Hua Fei tidak berharap apa pun selain daripada kesehatan sang paman, orang yang merupakan satu-satunya saudara muda mendiang sang ayah."Sepertinya paman mencoba untuk membuatku tenang. Tapi itu justru membuatku hatiku semakin gelisah. Setelah ini, aku akan mencari tahu tentang racun yang ada di tubuh paman." Hua Fei berkata dalam hati sambil terus mengikuti Hua Yan. Mereka meninggalkan ruang perpustakaan dan langsung me