KUHEMPASKAN KELUARGA BENALU
BAB 1
"Mas, apa-apaan ini?" tanyaku pada Mas Bima yang masih berada diatas ranjang. Aku yang tengah memegang lembaran kertas di tangan, melemparnya begitu saja ke arah wajah laki-laki yang masih terlelap itu.
"Apa-apaan sih kamu ini! Masih ngantuk aku! Ganggu aja!" Laki-laki yang setahun ini membersamaiku itu hanya membuang lembaran kertas yang menutup wajahnya. Laki-laki itu tidak bangun, justru kembali meringkuk. Aku hanya bisa tertawa tidak percaya.
"Mas bangun!" Aku menarik lengan laki-laki itu lantas membuatnya dengan terpaksa membuka mata.
"Apa-apaan sih? Masih ngantuk ini! Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak! Malu tahu nggak didengerin sama tetangga?!"
Gubrak
Pintu kamar yang semula tertutup rapat kini dibuka dengan cukup kasar. Membuat aku dan juga Mas Bima menoleh ke arahnya.
"Apa-apaan sih kamu Melati? Berisik tahu nggak? Pagi-pagi sudah bikin keributan! Ajari istrimu itu dengan benar, Bima!" sungut Ibu mertuaku. Matanya melotot yang seakan ingin keluar dari tempatnya. Tangannya juga dilipat di depan dada. Menatap ke arahku dengan tatapan tidak suka.
"Mau ngomong apa sih?!" Kini Mas Bima bertanya. Membuatku teringat akan suatu yang membuatku marah.
Perkenalkan namaku Rima Melati, menikah dengan seorang laki-laki bernama Bima Santosa. Dulu dia begitu baik dan perhatian. Pernikahan kami berjalan sempurna pada bulan pertama dan kedua. Hingga tiba di bulan ke tiga tabiat aslinya keluar. Dia suami yang tidak peka terhadap istri. Tanpa sepengetahuanku, dia memberi sebagian besar gajinya untuk Ibu dan juga adiknya. Sebenarnya tidak masalah bagiku, tapi jika semuanya dibicarakan akan jauh lebih baik bukan.
Bulan ketiga itu juga adik iparku dan juga Ibu mertuaku diboyong oleh Mas Bima untuk tinggal di rumah ini. Laki-laki yang aku anggap baik dan juga pengertian itu tidak lebih dari laki-laki tidak tahu diri. Aku yang selama ini bekerja di salah satu pabrik ternama, begitu bodohnya membiayai adiknya kuliah dan juga mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Entah aku yang terlalu baik atau keluarga suamiku lah yang pintar memanfaatkan aku. Akan tetapi, kali ini amarahku sudah melampaui batas. Lembaran-lembaran itu adalah struk pembelian beberapa pakaian mahal dan juga beberapa makanan yang harganya tidaklah sedikit.
"Itu semua apa, Mas? Kamu beli pakaian mahal dan juga membeli makanan dengan harga fantastis? Padahal selama ini aku meminta kamu membantu dalam urusan keuangan rumah tangga kita kamu selalu menolak. Dengan beralasan untuk usaha lah, untuk modal lah. Tapi mana? Mana usaha yang kamu bilang itu?! Bukankah hanya bualanmu saja!"
" Kamu ini bicara apa sih, Melati? Aku nggak ngerti!" Mas Bima berubah menjadi bingung. Entah apakah itu memang bingung atau memang sengaja dibuat-buat. Agar aku terkecoh. Akan tetapi tidak untuk kali ini.
"Astaga, Bima. Istrimu ini benar-benar tidak tahu sopan santun ya! Tidak tahu tata Krama! Dia itu nggak sadar apa, tanpa ada kita disini dia itu bukan siapa-siapa. Seharusnya dia itu bersyukur sudah diperistri kamu, seorang anak pengusaha sukses yang terkenal dimana-mana. Siapa yang tidak tahu Ali Santosa."
"Hahahaha …." Aku tertawa terbahak-bahak.
"Kalian pikir kalian itu siapa?"
"Heh, Melati. Kami ini keluarga Santosa ya. Keluarga terpandang. Kamu itu beruntung sudah menjadi bagian dari keluarga ini." Lagi-lagi Ibu kembali berucap.
"Tidak salah?" tanyaku meremehkan.
"Inget ya, Melati. Kamu ini cuma seorang anak yatim piatu, jadi jangan belagu kamu. Dasar ker*!" Ibu mertuaku berkacak pinggang. Membuatku menoleh ke arahnya. Semula aku hanya ingin menanyakan perihal lembaran kertas itu. Akan tetapi wanita tua itu benar-benar membuatku tidak lagi bisa menahan amarah.
"Mas, mulai hari ini detik ini juga kamu dan keluarga kamu angkat kaki dari rumahku! Sekarang!"
Duar
Bak disambar petir di siang hari. Mertuaku terkejut bukan kepalang mendengar ucapanku. Jika selama setahun ini jika ada permasalahan aku lebih suka mengalah tapi tidak untuk saat ini! Aku tidak akan membiarkan orang-orang tidak tahu diri itu menang!
Apalagi Mas Bima, mata yang sedari tadi tidak bisa dibuka kini melotot hendak keluar dari tempatnya.
Bersambung
BAB 2"Apa yang kamu katakan, Melati? Bercanda kamu," ucap Mas Bima sembari terkekeh. Aku tahu pasti dia mengira aku hanya bercanda. Karena selama ini aku tidak mau memperpanjang masalah."Ya sudah kalau begitu, masalah sepele jangan dipermasalahkan. Aku pengennya kita rukun-rukun aja, tapi lain kali jangan diulangi lagi!" Kata-kata itulah yang selalu keluar dari mulutku jika kami berdebat. Akan tetapi, tidak pagi ini. Aku berbicara lantang dengan kepala tegak. Maaf, Mas. Aku tidak akan mengalah untuk saat ini."Aku tidak bercanda, Mas. Kemasi pakaian kalian dan angkat kaki dari rumah ini!" Aku segera meninggalkan ibu dan anak itu yang masih diam mematung. Berjalan cepat menyambar kunci motor yang digantung pada dinding. "Bim- Bima …." Terdengar Ibu mertua yang meneriaki sang putra agar sadar. Karena mungkin Mas Bima tengah terserang syok akut. Sudut bibir ini menyunggingkan senyum. Lalu berjalan menuju motor yang masih terparkir di sudut ruang tamu. Aku memutar kunci motor lantas m
BAB 3Mata Lina membelalak tidak percaya mendengar perkataan yang baru saja aku katakan. Kutinggalkan wanita yang menyandang status janda lebih dulu itu dalam keadaan mulut terbuka, syok berat."Melati … kamu serius?" Teriak Lina membuatku menghentikan langkah. Memutar badan ke arahnya lalu mengangguk. Lina berlari menghampiriku, wanita itu mencengkram kedua tanganku dengan kuat."Sakit, Lin. Biasa aja dong. Sebentar lagi status kita sama. Jendes eh salah janda." Aku menarik tangan darinya lalu mengusapnya sembari tawa itu terdengar renyah dari bibirku."Gil* kamu, Mel." Lagi-lagi Lina membuatku terkejut mendengar umpatannya."Kok gil* sih?" Aku yang sudah mulai berjalan pun menatap manik mata Lina dengan seksama. Apa ada yang salah dengan keputusanku?"Kamu tahu nggak jadi janda itu nggak enak! Dipandang sebelah mata sama orang! Padahal mereka nggak tahu sebenarnya apa yang kita lakukan di luaran sana. Kita bekerja halal saja masih tidak percaya apalagi kamu belum punya anak." Tidak
BAB 4DuarSeperti disambar petir di siang hari. Ucapanku baru saja lagi-lagi mampu membuat Ibu mertua tidak lagi bisa berkutik. Padahal tadi pagi wanita itu masih menyombongkan dirinya dengan embel-embel keluarga Ali Santosa."Mbak Melati jangan bicara seperti itu ya? Jangan sampai Mbak yang angkat kaki dari rumah ini!" Suara lantang penuh penekanan itu keluar dari mulut gadis berambut pirang. Aku hanya terkekeh lalu menatap mereka bergantian."Ini rumahku anak ingusan! Yang seharusnya pergi dari rumah ini kalian bukan aku!" Aku menjawab dengan santai. Nampak mimik muka orang yang ada dihadapanku tidak suka melihat sikap yang aku tunjukan saat ini."Paket!" Di sela-sela aku berucap terdengar seseorang dari luar berteriak. Dari caranya berucap sepertinya seorang kurir yang sedang mengantar barang.Sari meninggalkanku dan juga Ibunya yang masih berada di dapur. Mungkin dia menyadari bahwa barang yang dibelinya sudah tiba."Bu …." Sari berteriak memanggil ibunya. Dengan tergopoh-gopoh w
BAB 5Wajah Mas Bima terlihat terkejut. Ketika aku menyebut kata pengadilan. Tatapan yang semula marah kini berubah menjadi sendu. Laki-laki itu kembali menghampiriku. Mencoba meraih tanganku. Akan tetapi, lagi-lagi aku menepisnya dengan kasar."Melati Mas mohon. Jangan seperti ini, kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku akan mencoba membuat Ibu dan juga Sari untuk berubah!" Mas Bima mencoba membuatku berubah pikiran."Aku nggak mau, Mas!" Pendirianku masih sama."Melati pernikahan kita baru seumur jagung, baru setahun kita menikah. Apa kata orang jika kita berpisah? Bagaimana dengan ibu?""Aku tidak peduli!" BrakSeseorang membuka pintu kamar dengan paksa. Aku dan juga Mas Bima menoleh ke arahnya. "Cukup, Bim. Kamu nggak usah ngemis sama wanita seperti Melati! Buang-buang waktu! Kemasi barang-barang kamu kita pergi dari rumah ini! Kita bisa hidup tanpa wanita ini!" Ternyata yang aku pikirkan benar. Ibu berubah baik hanya untuk merayuku, membuatku seperti dulu. Sepertinya sandiwara
BAB 6Semilir angin terasa begitu sejuk di siang ini. Kicauan burung seakan sahut menyahut bergantian. Aku yang tengah duduk di kursi meja makan memandang jauh keluar. Berharap semuanya hanya mimpi. Mimpi buruk jika aku terbangun semua akan berubah menjadi baik-baik saja.Akan tetapi semua harapan dan mimpi itu nyata adanya. Perpisahan akan segera aku hadapi sendirian. Tidak terasa bulir-bulir air mata itu kembali mengalir.'Maafkan Melati, Pak, Bu. Melati gagal mempertahankan rumah tangga ini. Melati tidak bisa lagi menjalani sesuatu yang Melati anggap melebihi batas," gumamku dalam hati. Aku menekan dada ini kuat-kuat, terasa begitu sesak seakan ada batu besar yang tengah menghimpit. Tidak ada sandaran, tidak ada tangan yang mengusap air mata.Tidak aku pungkiri hatiku masih ada ruang untuk laki-laki yang bernama Bima, laki-laki yang pernah mengisi hari dan juga kekosongan ini. Memberikan warna dengan jutaan tawa. Akan tetapi, akhir dari semua hanya air mata.TulingSatu pesan mas
Aku mengarahkan pandanganku pada wanita yang ada dihadapanku. Dari cara bicaranya yang tidak sopan aku sudah bisa menebak siapa gerangan."Mbak Melati?" ucap wanita itu, membuatku tersenyum. Dugaanku benar adanya. Dia adalah Sari, adik iparku. Tatapannya tertuju pada barang-barang belanjaan ku yang terlihat banyak. Tangannya dilipat ke depan dada lalu menatapku dengan senyum meremehkan."Wah, pantas saja pengen pisah sama Mas Bima. Temannya aja janda kek begitu yang pasti nyetrum lah!" Sari berbicara asal. Membuat amarahku terasa di ubun-ubun ketika mendengar celotehannya yang tidak sopan."Heh, anak kurang ajar ya kamu! Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kalau kek begini terlihat ya siapa yang sebenarnya tidak berpendidikan? Gunanya apa sekolah tinggi-tinggi cuma bisanya ngomong nggak sopan seperti itu!" sungut Lina tidak terima. Jelas, wanita itu tidak terima masalah rumah tangga yang aku hadapi saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Lina. Rahang Sari terlihat mengeras itu pe
Setelah kejadian kemarin aku memutuskan untuk memblokir nomor milik Mas Bima beserta keluarganya. Karena dari semalam Sari maupun Mas Bima terus menerorku. Mas Bima mengirim pesan permohonan maaf dan permintaan untuk kembali lagi, sedangkan Sari ia mencaci dan juga mengumpat. Entah dari apa Tuhan menciptakan gadis itu. Jam menunjukan angka tujuh kurang. Aku segera mengeluarkan motor berniat pergi ke pabrik. Alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati sebuah mobil Pajero berhenti di halaman rumah.'Siapa ya pagi-pagi sudah bertamu?' tanyaku dalam hati. "Hai, selamat pagi!" salam diucapkan dari sepasang suami istri itu. Aku perhatikan sepertinya tidak asing lagi. Akan tetapi, ingatanku tidak begitu bagus. Hingga cukup lama aku diam memperhatikan. Dari ujung kaki hingga ke ujung kepala penampilan mereka sepertinya orang kaya. Laki-laki yang mengenakan jam tangan itu terlihat menenteng sebuah map berwarna merah jambu. Entah apa isinya, membuatku semakin penasaran. "Lupa ya sama kami?" t
POV Bima"Mas, mulai hari ini detik ini juga kamu dan keluarga kamu angkat kaki dari rumahku! Sekarang!" ucap Melati dengan amarah yang meluap-luap. Aku yang duduk di sisi ranjang terperangah mendengar kalimat tersebut. Ini kali pertama wanita yang aku nikahi satahun lalu itu berucap kasar. Apalagi mengusirku dari rumah. Memang benar tempat tinggal yang kini kami tempati adalah rumah Melati, istriku. Aku hanya hidup menumpang padanya. "Bim … bima." Ibu memanggil namaku berulang kali. Membuat lamunanku buyar. Segera aku mengejar wanita yang sudah rapi mengenakan seragam kerja itu. Berjalan menuju pintu utama.Tunggu, apa yang akan dia lakukan dengan kunci motor itu? Benar saja, Melati berjalan sembari menuntun motor menuju halaman rumah. Aku masih bingung dengan sikapnya yang mendadak berubah. Apalagi kemarin dia masih sama, menurut dengan semua ucapan dan juga permintaanku. Kenapa hari ini dia sudah berubah? Ada apa dengan Melati? Dimana Melatiku yang dulu. Seorang istri yang selalu