BAB 3
Mata Lina membelalak tidak percaya mendengar perkataan yang baru saja aku katakan.
Kutinggalkan wanita yang menyandang status janda lebih dulu itu dalam keadaan mulut terbuka, syok berat.
"Melati … kamu serius?" Teriak Lina membuatku menghentikan langkah. Memutar badan ke arahnya lalu mengangguk. Lina berlari menghampiriku, wanita itu mencengkram kedua tanganku dengan kuat.
"Sakit, Lin. Biasa aja dong. Sebentar lagi status kita sama. Jendes eh salah janda." Aku menarik tangan darinya lalu mengusapnya sembari tawa itu terdengar renyah dari bibirku.
"Gil* kamu, Mel." Lagi-lagi Lina membuatku terkejut mendengar umpatannya.
"Kok gil* sih?" Aku yang sudah mulai berjalan pun menatap manik mata Lina dengan seksama. Apa ada yang salah dengan keputusanku?
"Kamu tahu nggak jadi janda itu nggak enak! Dipandang sebelah mata sama orang! Padahal mereka nggak tahu sebenarnya apa yang kita lakukan di luaran sana. Kita bekerja halal saja masih tidak percaya apalagi kamu belum punya anak." Tidak aku respon ucapan Lina. Hanya kubalas dengan senyuman.
"Malah senyum-senyum lagi."
"Lin, kamu kan tahu sendiri setahun ini gimana aku sama Mas Bima."
"Iya juga sih. Kelewatan memang! Terus tumben kamu pakai motor kamu sendiri. Nanti kalau suamimu mau kerja gimana?" Lina menoleh ke arah motor matic yang sudah terparkir apik ditempatnya.
"Itu motor aku, Lin. Sudah sewajarnya aku pakai. Tapi tadi tahu nggak reaksi Mas Bima, terkejut bukan main!"
"Aku juga terlalu bod*h dimanfaatin sama mereka. Tadi pagi aku udah ngusir mereka sih. Nggak tahu gimana sekarang paniknya Ibu sama Mas Bima." Aku kembali menyahut pikiranku menerawang jauh, membayangkan bagaimana Ibu pasti uring-uringan pada Mas Bima. Membayangkannya saja rasanya aku ingin tertawa.
"Kamu ngusir mereka? Lantas mereka gimana reaksinya?" tanya Lina antusias. Wanita itu memang mudah berubah, tadi sempat menyebutku gil* dengan keputusan yang aku ambil. Dan sekarang lihatlah, dia penasaran dengan apa yang aku lakukan dengan keluarga benalu itu.
"Ya gitu deh." Bibir Lina mencebik lalu memutar bola matanya malas.
"Eh memang sih, si Bima itu harus diberi pelajaran. Aku nggak habis pikir kamu bisa berubah seperti ini. Padahal dulu kebucinan kamu itu terlewat akut. Sampai-sampai dengan gampangnya memberikan uang dan juga motor itu untuk suamimu. Ah, kalau kamu berubah begini aku jadi semakin sayang kepadamu." Lina memelukku.
.
Jam menunjukan angka lima tepat. Aku segera membereskan tempat kerjaku. Memasukan peralatan menjahit ke dalam tas lalu memasukkannya ke dalam laci yang ada di bawah kursi.
Hari ini hari Sabtu, dimana aku pulang lebih awal. Sudah tidak sabar lagi rasanya ingin segera pulang. Menyaksikan bagaimana Ibu dan juga Mas Bima kelimpungan.
Motor matic yang aku kendarai meluncur menuju rumah. Akan tetapi, sebelum tiba di rumah aku membeli sate terlebih dahulu. Sepertinya hari ini aku ingin makan sate. Sudah lama lidahku ini tidak dijamu dengan makanan enak.
Akhirnya aku tiba di rumah bercat orange. Rumah yang ditinggalkan oleh kedua orang tuaku untukku. Maafkan aku Pak, Bu. Aku membiarkan rumah ini menjadi saksi atas sikap keluarga Mas Bima kepadaku! Akan tetapi, sekarang aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membalasnya satu persatu.
Aku membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Memindai setiap sudut rumah mencari keberadaan sang mertua dan suamiku. Tidak ada satu orang pun di rumah. Berarti memang mereka sudah pergi seperti mauku. Ternyata segampang itu mereka angkat kaki. Kenapa tidak aku lakukan itu sedari dulu.
Aku berniat membuka pintu kamar. Namun, aroma masakan yang menusuk hidung membuatku mengurungkan niat.
"Siapa yang masak?" gumamku pelan, tidak mungkin makhluk astral yang melakukannya. Aku berjalan menuju dapur. Mencari sumber aroma makanan itu, alangkah terkejutnya aku ketika mendapati seorang wanita tengah berdiri di hadapan kompor. Aku memperhatikan kakinya yang masih menapak di lantai. Berarti dia memang manusia bukan makhluk astral seperti bayanganku.
Wanita itu memutar badannya ke arahku. Alangkah terkejutnya aku saat mendapati Ibu mertua tersenyum kepadaku.
"Astagfirullahaladzim," gumamku pelan. Kuusap dada ini yang jantungnya hampir copot, terkejut.
"Melati sudah pulang? Kok Ibu nggak denger motornya? Capek ya? Mau makan? Ini Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu. Tumis kangkung dan juga ikan goreng." Aku melirik ke arah meja. Benar saja, di sana sudah ada dua ekor ikan nila yang sudah di goreng.
"Tumben Ibu masak?" tanyaku.
Tap … tap … tap.
Terdengar langkah cepat mendekat. Seketika aku menoleh siapa Yang sudah datang. Ternyata benar, dia adalah Sari. Adik iparku.
"Tumben Ibu masak?" ucap gadis remaja itu membuatku tersenyum meremehkan.
Mata ibu mertuaku melotot. Aku yakin itu adalah kode untuk putrinya. Bahwasanya wanita itu tengah merayuku.
"Mbak Melati bawa apa itu? Bagi dong!" Biasanya jika aku membeli makan pasti semua orang yang ada di rumah ini pasti aku belikan tapi tidak untuk hari ini. Aku membuka plastik, lalu meletakan bungkusan sate itu diatas meja.
Tangan gadis itu berniat mengambilnya. Dengan cepat aku menepuk tangannya pelan.
Plak
"Mau? Beli aja sendiri!" ucapanku berhasil membuat mata Sari tak kalah melotot.
"Mbak Melati pelit amat! Inget, ya Mbak. Aku ini adik Mas Bima. Kalau aku udah bicara sama Mas Bima kamu bakal-"
"Sari jangan kurang ajar sama Mbak iparmu!" Ibu mertua berteriak. Membuat Sari yang berdiri disampingku berjalan mendekati ibunya.
"Kenapa Ibu bicara seperti itu? Bukankah-"
Ngek.
Tangan ibu mertuaku sudah berada di telinga Sari. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan.
"Aduh … sakit Bu."
"Maaf, ya Ti. Sari memang kurang ajar!"
"Kenapa Ibu sama Sari belum pergi dari rumah ini?"
"Ha? Pergi? Maksud Mbak apa?" tanya Sari tidak tahu, entah kemana seharian gadis itu padahal tadi pagi sudah terjadi huru-hara.
"Jadi Ibu belum cerita ya sama kamu? Baiklah, aku akan menjelaskan kembali. Kalian harus angkat kaki dari rumah ini, secepatnya."
"Bu, beneran apa yang dikatakan Mbak Melati?" Pertanyaan Gadis itu tidak dijawab oleh ibunya. Malah wanita yang bergelar mertua itu mendekatiku. Menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di sampingku. Aku hanya melirik sekilas. Lantas aku mengambil sendok yang ada di depanku. Membuka bungkusan sate itu yang didalamnya terlihat lontong dan juga sambal kacang yang menggiurkan. Tentu juga dengan beberapa tusukan sate.
"Melati, kamu tadi bercanda kan? Ibu minta maaf ya, kalau ada salah. Tapi jangan usir kami. Mau tidur dimana kami nanti?" Ibu mertua mengusap lenganku dengan lembut. Tidak pernah aku terima perlakuan itu sebelumnya.
"Bukannya kalian keturunan keluarga Ali Santosa ya? Kenapa soal rumah kalian khawatir?" ucapku sembari memasukan sate kedalam mulut.
BAB 4DuarSeperti disambar petir di siang hari. Ucapanku baru saja lagi-lagi mampu membuat Ibu mertua tidak lagi bisa berkutik. Padahal tadi pagi wanita itu masih menyombongkan dirinya dengan embel-embel keluarga Ali Santosa."Mbak Melati jangan bicara seperti itu ya? Jangan sampai Mbak yang angkat kaki dari rumah ini!" Suara lantang penuh penekanan itu keluar dari mulut gadis berambut pirang. Aku hanya terkekeh lalu menatap mereka bergantian."Ini rumahku anak ingusan! Yang seharusnya pergi dari rumah ini kalian bukan aku!" Aku menjawab dengan santai. Nampak mimik muka orang yang ada dihadapanku tidak suka melihat sikap yang aku tunjukan saat ini."Paket!" Di sela-sela aku berucap terdengar seseorang dari luar berteriak. Dari caranya berucap sepertinya seorang kurir yang sedang mengantar barang.Sari meninggalkanku dan juga Ibunya yang masih berada di dapur. Mungkin dia menyadari bahwa barang yang dibelinya sudah tiba."Bu …." Sari berteriak memanggil ibunya. Dengan tergopoh-gopoh w
BAB 5Wajah Mas Bima terlihat terkejut. Ketika aku menyebut kata pengadilan. Tatapan yang semula marah kini berubah menjadi sendu. Laki-laki itu kembali menghampiriku. Mencoba meraih tanganku. Akan tetapi, lagi-lagi aku menepisnya dengan kasar."Melati Mas mohon. Jangan seperti ini, kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku akan mencoba membuat Ibu dan juga Sari untuk berubah!" Mas Bima mencoba membuatku berubah pikiran."Aku nggak mau, Mas!" Pendirianku masih sama."Melati pernikahan kita baru seumur jagung, baru setahun kita menikah. Apa kata orang jika kita berpisah? Bagaimana dengan ibu?""Aku tidak peduli!" BrakSeseorang membuka pintu kamar dengan paksa. Aku dan juga Mas Bima menoleh ke arahnya. "Cukup, Bim. Kamu nggak usah ngemis sama wanita seperti Melati! Buang-buang waktu! Kemasi barang-barang kamu kita pergi dari rumah ini! Kita bisa hidup tanpa wanita ini!" Ternyata yang aku pikirkan benar. Ibu berubah baik hanya untuk merayuku, membuatku seperti dulu. Sepertinya sandiwara
BAB 6Semilir angin terasa begitu sejuk di siang ini. Kicauan burung seakan sahut menyahut bergantian. Aku yang tengah duduk di kursi meja makan memandang jauh keluar. Berharap semuanya hanya mimpi. Mimpi buruk jika aku terbangun semua akan berubah menjadi baik-baik saja.Akan tetapi semua harapan dan mimpi itu nyata adanya. Perpisahan akan segera aku hadapi sendirian. Tidak terasa bulir-bulir air mata itu kembali mengalir.'Maafkan Melati, Pak, Bu. Melati gagal mempertahankan rumah tangga ini. Melati tidak bisa lagi menjalani sesuatu yang Melati anggap melebihi batas," gumamku dalam hati. Aku menekan dada ini kuat-kuat, terasa begitu sesak seakan ada batu besar yang tengah menghimpit. Tidak ada sandaran, tidak ada tangan yang mengusap air mata.Tidak aku pungkiri hatiku masih ada ruang untuk laki-laki yang bernama Bima, laki-laki yang pernah mengisi hari dan juga kekosongan ini. Memberikan warna dengan jutaan tawa. Akan tetapi, akhir dari semua hanya air mata.TulingSatu pesan mas
Aku mengarahkan pandanganku pada wanita yang ada dihadapanku. Dari cara bicaranya yang tidak sopan aku sudah bisa menebak siapa gerangan."Mbak Melati?" ucap wanita itu, membuatku tersenyum. Dugaanku benar adanya. Dia adalah Sari, adik iparku. Tatapannya tertuju pada barang-barang belanjaan ku yang terlihat banyak. Tangannya dilipat ke depan dada lalu menatapku dengan senyum meremehkan."Wah, pantas saja pengen pisah sama Mas Bima. Temannya aja janda kek begitu yang pasti nyetrum lah!" Sari berbicara asal. Membuat amarahku terasa di ubun-ubun ketika mendengar celotehannya yang tidak sopan."Heh, anak kurang ajar ya kamu! Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kalau kek begini terlihat ya siapa yang sebenarnya tidak berpendidikan? Gunanya apa sekolah tinggi-tinggi cuma bisanya ngomong nggak sopan seperti itu!" sungut Lina tidak terima. Jelas, wanita itu tidak terima masalah rumah tangga yang aku hadapi saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Lina. Rahang Sari terlihat mengeras itu pe
Setelah kejadian kemarin aku memutuskan untuk memblokir nomor milik Mas Bima beserta keluarganya. Karena dari semalam Sari maupun Mas Bima terus menerorku. Mas Bima mengirim pesan permohonan maaf dan permintaan untuk kembali lagi, sedangkan Sari ia mencaci dan juga mengumpat. Entah dari apa Tuhan menciptakan gadis itu. Jam menunjukan angka tujuh kurang. Aku segera mengeluarkan motor berniat pergi ke pabrik. Alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati sebuah mobil Pajero berhenti di halaman rumah.'Siapa ya pagi-pagi sudah bertamu?' tanyaku dalam hati. "Hai, selamat pagi!" salam diucapkan dari sepasang suami istri itu. Aku perhatikan sepertinya tidak asing lagi. Akan tetapi, ingatanku tidak begitu bagus. Hingga cukup lama aku diam memperhatikan. Dari ujung kaki hingga ke ujung kepala penampilan mereka sepertinya orang kaya. Laki-laki yang mengenakan jam tangan itu terlihat menenteng sebuah map berwarna merah jambu. Entah apa isinya, membuatku semakin penasaran. "Lupa ya sama kami?" t
POV Bima"Mas, mulai hari ini detik ini juga kamu dan keluarga kamu angkat kaki dari rumahku! Sekarang!" ucap Melati dengan amarah yang meluap-luap. Aku yang duduk di sisi ranjang terperangah mendengar kalimat tersebut. Ini kali pertama wanita yang aku nikahi satahun lalu itu berucap kasar. Apalagi mengusirku dari rumah. Memang benar tempat tinggal yang kini kami tempati adalah rumah Melati, istriku. Aku hanya hidup menumpang padanya. "Bim … bima." Ibu memanggil namaku berulang kali. Membuat lamunanku buyar. Segera aku mengejar wanita yang sudah rapi mengenakan seragam kerja itu. Berjalan menuju pintu utama.Tunggu, apa yang akan dia lakukan dengan kunci motor itu? Benar saja, Melati berjalan sembari menuntun motor menuju halaman rumah. Aku masih bingung dengan sikapnya yang mendadak berubah. Apalagi kemarin dia masih sama, menurut dengan semua ucapan dan juga permintaanku. Kenapa hari ini dia sudah berubah? Ada apa dengan Melati? Dimana Melatiku yang dulu. Seorang istri yang selalu
POV Melati."Kamu beneran mau keluar dari pabrik?" tanya Linda tidak percaya. Matanya yang semula fokus dengan jahitan kini langsung menoleh ke arahku.Hanya anggukan kepala aku berikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. DertReflek tangan Lina langsung mematikan mesin jahit. Karena tangannya terkejut terkena setruman listrik dengan tegangan kecil. Kaki Lina yang tidak menggunakan sandal membuatnya sering merasakan kejutan itu. Meskipun tidak sakit. Akan tetapi, cukup membuat kita kaget. "Terus kamu mau buka usaha apa?" tanya Lina."Belum tahu, kan nanti kalau aku sudah cerai sama Mas Bima.""Kamu udah mengajukan gugatan?""Belum sih, lagi menyiapkan keperluannya. Lagian aku harus mengajukan cuti buat mengurus semuanya. Kalau nunggu libur kan pasti hari Minggu. Mana mungkin pengadilan minggu buka," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lina."Iya juga sih, tapi beneran kamu mau cerai? Nggak akan nyesel?" Lina kembali mengulang pertanyaannya. Dia seorang janda, aku yakin dia mera
Tok … tok.Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Membuat aku yang baru saja pulang dari bekerja tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu utama.CeklekSeorang laki-laki yang hingga kini masih bergelar suami itu berdiri tepat di hadapanku. Ia tengah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Ada apa lagi, Mas. Kamu datang ke sini? Bukannya sudah jelas ya. Kalau kita akan berpisah!" ucapku setenang mungkin. "Kita nggak akan pernah berpisah, Melati. Kamu nggak bisa mengambil keputusan itu tanpa meminta persetujuanku!" sahut Mas Bima dengan rasa percaya diri yang tinggi ia berbicara lantang. Berfikir aku akan kembali menimbang keputusanku. "Kenapa tidak? Aku sudah mengajukan gugatan cerai kita di pengadilan agama!" Mas Bima yang mendengar ucapanku baru saja sontak matanya membelalak tidak percaya. Bahwa aku akan menepati ucapanku. Padahal selama ini dia pikir aku istri yang penurut, tidak akan pernah mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Sayangnya, itu Mela