POV Melati."Kamu beneran mau keluar dari pabrik?" tanya Linda tidak percaya. Matanya yang semula fokus dengan jahitan kini langsung menoleh ke arahku.Hanya anggukan kepala aku berikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. DertReflek tangan Lina langsung mematikan mesin jahit. Karena tangannya terkejut terkena setruman listrik dengan tegangan kecil. Kaki Lina yang tidak menggunakan sandal membuatnya sering merasakan kejutan itu. Meskipun tidak sakit. Akan tetapi, cukup membuat kita kaget. "Terus kamu mau buka usaha apa?" tanya Lina."Belum tahu, kan nanti kalau aku sudah cerai sama Mas Bima.""Kamu udah mengajukan gugatan?""Belum sih, lagi menyiapkan keperluannya. Lagian aku harus mengajukan cuti buat mengurus semuanya. Kalau nunggu libur kan pasti hari Minggu. Mana mungkin pengadilan minggu buka," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lina."Iya juga sih, tapi beneran kamu mau cerai? Nggak akan nyesel?" Lina kembali mengulang pertanyaannya. Dia seorang janda, aku yakin dia mera
Tok … tok.Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Membuat aku yang baru saja pulang dari bekerja tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu utama.CeklekSeorang laki-laki yang hingga kini masih bergelar suami itu berdiri tepat di hadapanku. Ia tengah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Ada apa lagi, Mas. Kamu datang ke sini? Bukannya sudah jelas ya. Kalau kita akan berpisah!" ucapku setenang mungkin. "Kita nggak akan pernah berpisah, Melati. Kamu nggak bisa mengambil keputusan itu tanpa meminta persetujuanku!" sahut Mas Bima dengan rasa percaya diri yang tinggi ia berbicara lantang. Berfikir aku akan kembali menimbang keputusanku. "Kenapa tidak? Aku sudah mengajukan gugatan cerai kita di pengadilan agama!" Mas Bima yang mendengar ucapanku baru saja sontak matanya membelalak tidak percaya. Bahwa aku akan menepati ucapanku. Padahal selama ini dia pikir aku istri yang penurut, tidak akan pernah mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Sayangnya, itu Mela
"Iya, apa dijual begitu! Bisa nggak?" Aku kembali bertanya."Wah, kalau soal itu aku nggak tahu tuh. Nanti coba aku tanyakan dulu sama teman. Memangnya rumah siapa yang mau kamu jual?""Rumahnya Mas Bima?""Apa? Rumah Bima? Nggak salah?""Nggak lah, sertifikatnya aja udah ada ditanganku. Tinggal jual aja. Kan gampang! Tapi kalau bisa sih!" Aku kembali menyahut."Nanti kalau dia marah gimana? Kamu bakal dilaporkan ke pihak berwajib. Nggak usah aneh-aneh deh!" Orang yang ada di seberang telepon terdengar khawatir."Nggak Lah, tenang. Aku punya ide kok!""Ide? Apaan?" Seketika sambungan telepon aku tutup setelah panjang lebar aku menjelaskan kepada janda anak satu itu.Sudah tidak sabar lagi rasanya. Untuk segera menikmati semua uang yang akan mengalir ke dalam rekening ku itu. Semoga aja Mas Bima tidak menyadari hal itu cukup lama. Semoga saja.Jam menunjukkan angka delapan malam. Aku yang tengah duduk di depan televisi merasakan getaran-getaran perut yang minta diisi. Aku memutuskan me
POV authorJam menunjukan angka tujuh tepat. Melati sudah bersiap hendak pergi bekerja. Ini akan menjadi hari terakhirnya untuk pergi ke pabrik itu. Dia sudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini memberinya banyak uang. Melati sudah mengambil keputusan. Keputusan yang diambil setelah banyak pertimbangan. Selain dia akan mengurus perceraiannya yang memakan waktu. Dia juga berniat untuk membuka usaha.Motor matic yang berwarna hitam itu melaju membelah jalan raya. Kendaraan roda dua itu mengantarkan Melati menuju tempat kerjanya. Tidak butuh waktu lama, Melati akhirnya tiba di pelataran dimana tempatnya bekerja. Helm yang bertengger di kepalanya kini sudah berpindah tempat, yakni di atas jok."Kamu udah pikirkan matang-matang keputusan kamu, Mel?" tanya Lina, sahabat Melati. Ditatapnya wanita itu dengan seksama oleh Melati. "Sudah, Lina. Aku pengen buka usaha di rumah. Sama ngurus perceraian kan tidak sebentar.""Terus gimana Bima? Katanya kemarin pulang kerja dia nya
POV Melati"Halo, Mbak Melati." Bu Tami menyapa ketika melihatku datang bersama motor yang langsung dimatikan mesinnya. Wanita itu mendatangiku mengulurkan tangan untuk bersalaman kemudian mencium pipi kanan dan kiri."Ih, Mbak Melati ini cantik banget." Wanita itu kembali berucap. Membuatku mengulum senyum. "Terima kasih, Bu. Bagaimana ini? Apa kita langsung ke alamat rumahnya sekarang?" tanyaku pada Ibu Tami."Tapi Mbak Melati saya bawa mobil. Bagaimana kalau Mbak Melati ikut saya. Biar motor Mbak Melati dititipkan di warung itu?" Ibu Tami menunjuk warung makan sederhana yang letaknya tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku menatap sekelilingnya. Di sana ada bapak tukang parkir berseragam orange. Membuatku lega jika harus menitipkan kuda besi itu di warung tersebut."Boleh, Bu. Saya titipkan sekarang ya.""Mbak Melati kita nggak sarapan dulu?" tanya Ibu Tami membuatku menghentikan langkah."Kebetulan saya sudah sarapan. Ibu Tami mau sarapan dulu?" tanyaku."Ow, ya sudah nanti saj
****Aku duduk di sofa. Dengan tangan membawa keripik singkong kesukaan. Pandanganku tertuju pada layar televisi yang menyala. Tok … tok.Suara ketukan pintu itu terdengar dari luar. Membuatku terkejut. Karena ketukannya kini berubah menjadi gedoran yang cukup kuat.Aku menyibak gorden jendela melihat siapa yang bertamu. Seketika wajahku berubah menjadi masam. Setelah melihat siapa yang datang. Ceklek"Lama banget sih? Ngapain kamu di dalam, ha?" Mas Bima langsung bertanya dengan nada tinggi. Membuatku berdecak tidak percaya."Ada apa sih, Mas. Ribut-ribut!" tanyaku tidak kalah ketus. "Beberapa hari lalu Mita kesini kan sama suaminya? Dia ngasih kamu sertifikat rumah?" Aku diam mendengar penuturan laki-laki itu."Terus kamu bilang juga sama mereka kalau aku minta kamu buat ganti rekening yang biasa jadi rekening punya kamu?""Iya," jawabku santai. Membuat laki-laki itu terlihat marah. "Mana sertifikat itu!" pinta Mas Bima dengan mata melotot. Benar saja, uang yang dikirim Mita tem
DuarBak disambar petir di siang hari. Ucapan Rian baru saja membuat Mas Bima begitu juga aku terkejut bukan kepalang. Pertanggungjawaban apa yang dimaksud anak laki-laki itu? Apakah Sari hamil? Ya Tuhan, jika itu terjadi bagaimana dengan ibu mertuaku. Pastinya akan syok berat. "Maksud kamu apa? Ha?" tanya Mas Bima. Tangannya mencekal pergelangan tangan Rian. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.Aku hanya diam. Berfikir sejenak. Apakah ini ada hubungannya dengan hoodie yang dibeli Sari beberapa waktu lalu? Dan sekarang jaket berukuran besar itu ada dirumah ini. Apakah itu salah satu tujuan Sari menutupi perutnya? Ah, ini berita besar dan juga menghebohkan."Sari hamil?" Aku langsung bertanya pada intinya. Mas Bima yang mendengar pertanyaanku pun seketika menoleh ke arahku. Pembicaraan soal sertifikat rumah yang tadi sempat memanas pun menguap begitu saja. Karena kehadiran Rian."Bicara apa kamu, Melati?!" sungut Mas Bima tidak terima dengan pertanyaan yang baru saja aku ucapka
"Mau kemana, Bu?" tanya Bima ketika melihat Rosita berjalan menuju pintu utama hendak keluar."Mau belanja, Bim? Kita harus tetap makan! Uang Ibu tinggal ini!" Rosita berhenti sebentar, memperlihatkan lembaran uang merah yang berada di genggamannya. Bima yang melihat uang tersebut hanya bisa menghela napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Kemarin niat Bima ke rumah Melati hanya untuk menanyakan perihal uang dan juga sertifikat. Entah mengapa tujuan itu justru ia lupakan. Bima malah mendapati Rian. "Nanti Bima ke rumah Melati lagi, buat minta uang!""Kamu ini kerumah Melati mau minta uang atau sengaja sih Bim, mau minta Melati buat rujuk?!" Suara Rosita meninggi. Entah mengapa semenjak terungkapnya kehamilan Sari, Rosita sedikit sensitif. Apalagi jika pembahasannya tentang Melati. Bima yang mendengar penuturan sang Ibu lantas mengalihkan pandangannya pada wanita itu. "Ibu bicara apa sih? Bima ini mau minta sertifikat yang di bawa Melati. Begitu juga uang kita yang ada padanya. Ib