Share

Bab 7

Aku mengarahkan pandanganku pada wanita yang ada dihadapanku. Dari cara bicaranya yang tidak sopan aku sudah bisa menebak siapa gerangan.

"Mbak Melati?" ucap wanita itu, membuatku tersenyum. Dugaanku benar adanya. Dia adalah Sari, adik iparku. Tatapannya tertuju pada barang-barang belanjaan ku yang terlihat banyak. Tangannya dilipat ke depan dada lalu menatapku dengan senyum meremehkan.

"Wah, pantas saja pengen pisah sama Mas Bima. Temannya aja janda kek begitu yang pasti nyetrum lah!" Sari berbicara asal. Membuat amarahku terasa di ubun-ubun ketika mendengar celotehannya yang tidak sopan.

"Heh, anak kurang ajar ya kamu! Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kalau kek begini terlihat ya siapa yang sebenarnya tidak berpendidikan? Gunanya apa sekolah tinggi-tinggi cuma bisanya ngomong nggak sopan seperti itu!" sungut Lina tidak terima. Jelas, wanita itu tidak terima masalah rumah tangga yang aku hadapi saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Lina. Rahang Sari terlihat mengeras itu pertanda bahwa gadis yang berperawakan tinggi besar itu tengah tersinggung.

"Halah, janda aja belagu!" umpat Sari dengan nada bicara yang tidak enak di dengar. Membuat Lina langsung terpancing emosi.

"Apa kamu bilang? Sini biar aku kasih tahu janda yang sebenarnya!" Lina menarik rambut Sari membuat gadis itu berteriak histeris. Aku yang terkejut melihat tindakan Lina yang brutal membuatku spontan melerai. Banyak pasang mata yang menonton pertunjukan ini. 

Begitu juga dengan kamera yang ada di ponsel mereka masing-masing, semua membidik pada subjek yang sama. 

"Udah, Lin." Aku terus menarik lengan Lina yang terus saja melayangkan cakaran demi cakaran. Tidak kalah brutalnya dari Lina. Sari berusaha menarik rambut Lina dengan kuat membuat Lina berteriak kesakitan.

"Apa-apaan kamu, Sari!" Mas Bima datang. Dia menarik lengan adiknya dengan kuat. Begitu juga aku, aku menahan Lina agar tidak kembali melayangkan serangan. Entah darimana datangnya Mas Bima, baru aku sadari bahwa ia sudah ada di belakang Sari.

"Ada apa ini?" Laki-laki berpakaian serba hitam  yang sepertinya dari pihak keamanan datang setelah perkelahian itu selesai. Jika tidak mungkin Lina dan juga Sari akan dibawa ke kantornya.

"Tidak apa-apa kok, Pak. Hanya kesalahpahaman saja. Kami akan segera menyelesaikannya." Mas Bima mencoba menjelaskan, meskipun pada kenyataannya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Kedua tangannya menangkup di depan dada memberi isyarat bahwa ia meminta maaf.

Sedangkan Sari dan juga Lina merapikan rambut dan pakaiannya yang terlihat acak-acakan. 

"Ya sudah sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian di luar! Jangan di sini! Mengganggu kenyamanan pelanggan lain!" pinta pihak keamanan. Tidak berapa lama laki-laki itu meminta orang-orang yang menonton untuk segera membubarkan diri.

"Baik, Pak!" jawab Mas Bima. Aku mengangguk lalu menatap ke arah Lina yang bahunya masih naik turun. Mungkin emosinya belum terkontrol. Segera aku menggandeng Putri Lina dan berniat meninggalkan Sari dan juga Mas Bima. Akan tetapi, lagi-lagi laki-laki itu mencekal pergelangan tanganku.

"Kita harus bicara Melati!" ucap Mas Bima dengan suara pelan. Namun, masih bisa didengar oleh telingaku.

"Aku sibuk, Mas!" Aku mencoba melepas cekalan laki-laki itu. Namun, tidak berhasil.

"Apa perlu aku berteriak? Agar semua orang kembali datang ke sini?" Ancamku pada Mas Bima. Laki-laki itu akhirnya melepas tangannya. 

"Wanita seperti itu yang Mas coba pertahankan? Kek nggak ada wanita lain saja! Diluaran sana banyak wanita yang jauh lebih baik dari Mbak Melati, Mas." Kini Sari kembali bersuara. Adik iparku satu itu memang tidak punya akhlak. 

"Cukup Sari! Apa yang kamu katakan itu? Ha? Terus kenapa kamu malah bersikap kekanak-kanakan seperti ini! Berkelahi di tempat umum!" Kini Mas Bima malah memarahi Sari. Raut wajah adik perempuan satu-satunya yang dimiliki itu terlihat mencebik. Tidak menyangkan bahwa kakak kandungnya akan berbicara seperti itu. Terlebih di hadapanku. Membuat harga dirinya jatuh, mungkin.

"Dia dulu yang mulai, Mas." Sari menunjuk ke arahku dan juga Lina.

"Eh, jaga bicaramu ya! Mau kusumpal mulut itu pake cabe! Ha?" Lina kembali tersulut emosi.

"He siapa takut! Dasar janda gatel." Lina hendak melayangkan pukulannya kepada Sari namun segera aku tahan. 

"Sabar, Lin. Kita nggak usah meladeni orang-orang nggak tahu diri seperti mereka!" ucapku penuh penekanan. Membuat Sari juga hendak melayangkan cakarannya kepadaku. Namun, segera ditahan Mas Bima. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Netra kami sempat beradu, namun aku segera melempar pandangan ke segala arah.

.

"Keluarga suamimu itu memang benar-benar gila!" ucap Lina setelah tiba di rumahnya. 

"Sayang, bawa belanjaan ini masuk ya!" pintaku pada anak Linda. Gadis kecil itu mengangguk lalu meninggalkan aku dan juga Ibunya dengan membawa beberapa kantong belanjaan di tangan. Tidak mungkin aku membahas soal peristiwa tadi di depannya. Meskipun pada kenyataannya tadi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Ibunya berkelahi. Ah, aku hanya menjaga hatinya agar ya gak kembali terluka.

"Lin, ada anakmu yang melihat kamu tengah berkelahi sama Sari."

"Iya, nanti aku urus dia!"

Huh hah

Aku menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. 

"Sepertinya aku akan meminta uangku kembali! Uang yang digunakan untuk membiayai kuliah hidup mereka selama ini!" Kening Lina berkerut. Dia tidak mengerti akan ucapanku.

"Gimana caranya?"

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status