Aku mengarahkan pandanganku pada wanita yang ada dihadapanku. Dari cara bicaranya yang tidak sopan aku sudah bisa menebak siapa gerangan.
"Mbak Melati?" ucap wanita itu, membuatku tersenyum. Dugaanku benar adanya. Dia adalah Sari, adik iparku. Tatapannya tertuju pada barang-barang belanjaan ku yang terlihat banyak. Tangannya dilipat ke depan dada lalu menatapku dengan senyum meremehkan.
"Wah, pantas saja pengen pisah sama Mas Bima. Temannya aja janda kek begitu yang pasti nyetrum lah!" Sari berbicara asal. Membuat amarahku terasa di ubun-ubun ketika mendengar celotehannya yang tidak sopan.
"Heh, anak kurang ajar ya kamu! Tidak pernah di ajari sopan santun ya? Kalau kek begini terlihat ya siapa yang sebenarnya tidak berpendidikan? Gunanya apa sekolah tinggi-tinggi cuma bisanya ngomong nggak sopan seperti itu!" sungut Lina tidak terima. Jelas, wanita itu tidak terima masalah rumah tangga yang aku hadapi saat ini tidak ada sangkut pautnya dengan Lina. Rahang Sari terlihat mengeras itu pertanda bahwa gadis yang berperawakan tinggi besar itu tengah tersinggung.
"Halah, janda aja belagu!" umpat Sari dengan nada bicara yang tidak enak di dengar. Membuat Lina langsung terpancing emosi.
"Apa kamu bilang? Sini biar aku kasih tahu janda yang sebenarnya!" Lina menarik rambut Sari membuat gadis itu berteriak histeris. Aku yang terkejut melihat tindakan Lina yang brutal membuatku spontan melerai. Banyak pasang mata yang menonton pertunjukan ini.
Begitu juga dengan kamera yang ada di ponsel mereka masing-masing, semua membidik pada subjek yang sama.
"Udah, Lin." Aku terus menarik lengan Lina yang terus saja melayangkan cakaran demi cakaran. Tidak kalah brutalnya dari Lina. Sari berusaha menarik rambut Lina dengan kuat membuat Lina berteriak kesakitan.
"Apa-apaan kamu, Sari!" Mas Bima datang. Dia menarik lengan adiknya dengan kuat. Begitu juga aku, aku menahan Lina agar tidak kembali melayangkan serangan. Entah darimana datangnya Mas Bima, baru aku sadari bahwa ia sudah ada di belakang Sari.
"Ada apa ini?" Laki-laki berpakaian serba hitam yang sepertinya dari pihak keamanan datang setelah perkelahian itu selesai. Jika tidak mungkin Lina dan juga Sari akan dibawa ke kantornya.
"Tidak apa-apa kok, Pak. Hanya kesalahpahaman saja. Kami akan segera menyelesaikannya." Mas Bima mencoba menjelaskan, meskipun pada kenyataannya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Kedua tangannya menangkup di depan dada memberi isyarat bahwa ia meminta maaf.
Sedangkan Sari dan juga Lina merapikan rambut dan pakaiannya yang terlihat acak-acakan.
"Ya sudah sebaiknya kalian selesaikan masalah kalian di luar! Jangan di sini! Mengganggu kenyamanan pelanggan lain!" pinta pihak keamanan. Tidak berapa lama laki-laki itu meminta orang-orang yang menonton untuk segera membubarkan diri.
"Baik, Pak!" jawab Mas Bima. Aku mengangguk lalu menatap ke arah Lina yang bahunya masih naik turun. Mungkin emosinya belum terkontrol. Segera aku menggandeng Putri Lina dan berniat meninggalkan Sari dan juga Mas Bima. Akan tetapi, lagi-lagi laki-laki itu mencekal pergelangan tanganku.
"Kita harus bicara Melati!" ucap Mas Bima dengan suara pelan. Namun, masih bisa didengar oleh telingaku.
"Aku sibuk, Mas!" Aku mencoba melepas cekalan laki-laki itu. Namun, tidak berhasil.
"Apa perlu aku berteriak? Agar semua orang kembali datang ke sini?" Ancamku pada Mas Bima. Laki-laki itu akhirnya melepas tangannya.
"Wanita seperti itu yang Mas coba pertahankan? Kek nggak ada wanita lain saja! Diluaran sana banyak wanita yang jauh lebih baik dari Mbak Melati, Mas." Kini Sari kembali bersuara. Adik iparku satu itu memang tidak punya akhlak.
"Cukup Sari! Apa yang kamu katakan itu? Ha? Terus kenapa kamu malah bersikap kekanak-kanakan seperti ini! Berkelahi di tempat umum!" Kini Mas Bima malah memarahi Sari. Raut wajah adik perempuan satu-satunya yang dimiliki itu terlihat mencebik. Tidak menyangkan bahwa kakak kandungnya akan berbicara seperti itu. Terlebih di hadapanku. Membuat harga dirinya jatuh, mungkin.
"Dia dulu yang mulai, Mas." Sari menunjuk ke arahku dan juga Lina.
"Eh, jaga bicaramu ya! Mau kusumpal mulut itu pake cabe! Ha?" Lina kembali tersulut emosi.
"He siapa takut! Dasar janda gatel." Lina hendak melayangkan pukulannya kepada Sari namun segera aku tahan.
"Sabar, Lin. Kita nggak usah meladeni orang-orang nggak tahu diri seperti mereka!" ucapku penuh penekanan. Membuat Sari juga hendak melayangkan cakarannya kepadaku. Namun, segera ditahan Mas Bima. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Netra kami sempat beradu, namun aku segera melempar pandangan ke segala arah.
.
"Keluarga suamimu itu memang benar-benar gila!" ucap Lina setelah tiba di rumahnya.
"Sayang, bawa belanjaan ini masuk ya!" pintaku pada anak Linda. Gadis kecil itu mengangguk lalu meninggalkan aku dan juga Ibunya dengan membawa beberapa kantong belanjaan di tangan. Tidak mungkin aku membahas soal peristiwa tadi di depannya. Meskipun pada kenyataannya tadi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Ibunya berkelahi. Ah, aku hanya menjaga hatinya agar ya gak kembali terluka.
"Lin, ada anakmu yang melihat kamu tengah berkelahi sama Sari."
"Iya, nanti aku urus dia!"
Huh hah
Aku menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.
"Sepertinya aku akan meminta uangku kembali! Uang yang digunakan untuk membiayai kuliah hidup mereka selama ini!" Kening Lina berkerut. Dia tidak mengerti akan ucapanku.
"Gimana caranya?"
Bersambung
Setelah kejadian kemarin aku memutuskan untuk memblokir nomor milik Mas Bima beserta keluarganya. Karena dari semalam Sari maupun Mas Bima terus menerorku. Mas Bima mengirim pesan permohonan maaf dan permintaan untuk kembali lagi, sedangkan Sari ia mencaci dan juga mengumpat. Entah dari apa Tuhan menciptakan gadis itu. Jam menunjukan angka tujuh kurang. Aku segera mengeluarkan motor berniat pergi ke pabrik. Alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati sebuah mobil Pajero berhenti di halaman rumah.'Siapa ya pagi-pagi sudah bertamu?' tanyaku dalam hati. "Hai, selamat pagi!" salam diucapkan dari sepasang suami istri itu. Aku perhatikan sepertinya tidak asing lagi. Akan tetapi, ingatanku tidak begitu bagus. Hingga cukup lama aku diam memperhatikan. Dari ujung kaki hingga ke ujung kepala penampilan mereka sepertinya orang kaya. Laki-laki yang mengenakan jam tangan itu terlihat menenteng sebuah map berwarna merah jambu. Entah apa isinya, membuatku semakin penasaran. "Lupa ya sama kami?" t
POV Bima"Mas, mulai hari ini detik ini juga kamu dan keluarga kamu angkat kaki dari rumahku! Sekarang!" ucap Melati dengan amarah yang meluap-luap. Aku yang duduk di sisi ranjang terperangah mendengar kalimat tersebut. Ini kali pertama wanita yang aku nikahi satahun lalu itu berucap kasar. Apalagi mengusirku dari rumah. Memang benar tempat tinggal yang kini kami tempati adalah rumah Melati, istriku. Aku hanya hidup menumpang padanya. "Bim … bima." Ibu memanggil namaku berulang kali. Membuat lamunanku buyar. Segera aku mengejar wanita yang sudah rapi mengenakan seragam kerja itu. Berjalan menuju pintu utama.Tunggu, apa yang akan dia lakukan dengan kunci motor itu? Benar saja, Melati berjalan sembari menuntun motor menuju halaman rumah. Aku masih bingung dengan sikapnya yang mendadak berubah. Apalagi kemarin dia masih sama, menurut dengan semua ucapan dan juga permintaanku. Kenapa hari ini dia sudah berubah? Ada apa dengan Melati? Dimana Melatiku yang dulu. Seorang istri yang selalu
POV Melati."Kamu beneran mau keluar dari pabrik?" tanya Linda tidak percaya. Matanya yang semula fokus dengan jahitan kini langsung menoleh ke arahku.Hanya anggukan kepala aku berikan sebagai jawaban atas pertanyaannya. DertReflek tangan Lina langsung mematikan mesin jahit. Karena tangannya terkejut terkena setruman listrik dengan tegangan kecil. Kaki Lina yang tidak menggunakan sandal membuatnya sering merasakan kejutan itu. Meskipun tidak sakit. Akan tetapi, cukup membuat kita kaget. "Terus kamu mau buka usaha apa?" tanya Lina."Belum tahu, kan nanti kalau aku sudah cerai sama Mas Bima.""Kamu udah mengajukan gugatan?""Belum sih, lagi menyiapkan keperluannya. Lagian aku harus mengajukan cuti buat mengurus semuanya. Kalau nunggu libur kan pasti hari Minggu. Mana mungkin pengadilan minggu buka," jawabku tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lina."Iya juga sih, tapi beneran kamu mau cerai? Nggak akan nyesel?" Lina kembali mengulang pertanyaannya. Dia seorang janda, aku yakin dia mera
Tok … tok.Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Membuat aku yang baru saja pulang dari bekerja tergopoh-gopoh berjalan menuju pintu utama.CeklekSeorang laki-laki yang hingga kini masih bergelar suami itu berdiri tepat di hadapanku. Ia tengah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Ada apa lagi, Mas. Kamu datang ke sini? Bukannya sudah jelas ya. Kalau kita akan berpisah!" ucapku setenang mungkin. "Kita nggak akan pernah berpisah, Melati. Kamu nggak bisa mengambil keputusan itu tanpa meminta persetujuanku!" sahut Mas Bima dengan rasa percaya diri yang tinggi ia berbicara lantang. Berfikir aku akan kembali menimbang keputusanku. "Kenapa tidak? Aku sudah mengajukan gugatan cerai kita di pengadilan agama!" Mas Bima yang mendengar ucapanku baru saja sontak matanya membelalak tidak percaya. Bahwa aku akan menepati ucapanku. Padahal selama ini dia pikir aku istri yang penurut, tidak akan pernah mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Sayangnya, itu Mela
"Iya, apa dijual begitu! Bisa nggak?" Aku kembali bertanya."Wah, kalau soal itu aku nggak tahu tuh. Nanti coba aku tanyakan dulu sama teman. Memangnya rumah siapa yang mau kamu jual?""Rumahnya Mas Bima?""Apa? Rumah Bima? Nggak salah?""Nggak lah, sertifikatnya aja udah ada ditanganku. Tinggal jual aja. Kan gampang! Tapi kalau bisa sih!" Aku kembali menyahut."Nanti kalau dia marah gimana? Kamu bakal dilaporkan ke pihak berwajib. Nggak usah aneh-aneh deh!" Orang yang ada di seberang telepon terdengar khawatir."Nggak Lah, tenang. Aku punya ide kok!""Ide? Apaan?" Seketika sambungan telepon aku tutup setelah panjang lebar aku menjelaskan kepada janda anak satu itu.Sudah tidak sabar lagi rasanya. Untuk segera menikmati semua uang yang akan mengalir ke dalam rekening ku itu. Semoga aja Mas Bima tidak menyadari hal itu cukup lama. Semoga saja.Jam menunjukkan angka delapan malam. Aku yang tengah duduk di depan televisi merasakan getaran-getaran perut yang minta diisi. Aku memutuskan me
POV authorJam menunjukan angka tujuh tepat. Melati sudah bersiap hendak pergi bekerja. Ini akan menjadi hari terakhirnya untuk pergi ke pabrik itu. Dia sudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini memberinya banyak uang. Melati sudah mengambil keputusan. Keputusan yang diambil setelah banyak pertimbangan. Selain dia akan mengurus perceraiannya yang memakan waktu. Dia juga berniat untuk membuka usaha.Motor matic yang berwarna hitam itu melaju membelah jalan raya. Kendaraan roda dua itu mengantarkan Melati menuju tempat kerjanya. Tidak butuh waktu lama, Melati akhirnya tiba di pelataran dimana tempatnya bekerja. Helm yang bertengger di kepalanya kini sudah berpindah tempat, yakni di atas jok."Kamu udah pikirkan matang-matang keputusan kamu, Mel?" tanya Lina, sahabat Melati. Ditatapnya wanita itu dengan seksama oleh Melati. "Sudah, Lina. Aku pengen buka usaha di rumah. Sama ngurus perceraian kan tidak sebentar.""Terus gimana Bima? Katanya kemarin pulang kerja dia nya
POV Melati"Halo, Mbak Melati." Bu Tami menyapa ketika melihatku datang bersama motor yang langsung dimatikan mesinnya. Wanita itu mendatangiku mengulurkan tangan untuk bersalaman kemudian mencium pipi kanan dan kiri."Ih, Mbak Melati ini cantik banget." Wanita itu kembali berucap. Membuatku mengulum senyum. "Terima kasih, Bu. Bagaimana ini? Apa kita langsung ke alamat rumahnya sekarang?" tanyaku pada Ibu Tami."Tapi Mbak Melati saya bawa mobil. Bagaimana kalau Mbak Melati ikut saya. Biar motor Mbak Melati dititipkan di warung itu?" Ibu Tami menunjuk warung makan sederhana yang letaknya tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku menatap sekelilingnya. Di sana ada bapak tukang parkir berseragam orange. Membuatku lega jika harus menitipkan kuda besi itu di warung tersebut."Boleh, Bu. Saya titipkan sekarang ya.""Mbak Melati kita nggak sarapan dulu?" tanya Ibu Tami membuatku menghentikan langkah."Kebetulan saya sudah sarapan. Ibu Tami mau sarapan dulu?" tanyaku."Ow, ya sudah nanti saj
****Aku duduk di sofa. Dengan tangan membawa keripik singkong kesukaan. Pandanganku tertuju pada layar televisi yang menyala. Tok … tok.Suara ketukan pintu itu terdengar dari luar. Membuatku terkejut. Karena ketukannya kini berubah menjadi gedoran yang cukup kuat.Aku menyibak gorden jendela melihat siapa yang bertamu. Seketika wajahku berubah menjadi masam. Setelah melihat siapa yang datang. Ceklek"Lama banget sih? Ngapain kamu di dalam, ha?" Mas Bima langsung bertanya dengan nada tinggi. Membuatku berdecak tidak percaya."Ada apa sih, Mas. Ribut-ribut!" tanyaku tidak kalah ketus. "Beberapa hari lalu Mita kesini kan sama suaminya? Dia ngasih kamu sertifikat rumah?" Aku diam mendengar penuturan laki-laki itu."Terus kamu bilang juga sama mereka kalau aku minta kamu buat ganti rekening yang biasa jadi rekening punya kamu?""Iya," jawabku santai. Membuat laki-laki itu terlihat marah. "Mana sertifikat itu!" pinta Mas Bima dengan mata melotot. Benar saja, uang yang dikirim Mita tem