Share

Di-intip saat mandi

Sisa hari usai pengenalan diri dengan lingkungan dan warga setempat, enam mahasiswa itu kembali ke rumah kayu yang terdiri dari tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Pengamatan lingkungan yang dilakukan sepanjang pengenalan tadi, menjadi landasan awal mereka menentukan program kerja yang hendak dilakukan.

"Vin," panggil seorang wanita dengan potongan rambut lurus persegi, "lo merasa aneh enggak sih sama cewek yang bimbing kita tadi?"

"Maksud lo Kak Erina, Des?" tanggap Afrian pada wanita bernama lengkap Icasia Desry Putri itu, wanita yang terkenal di media sosial karena konten kehidupan sehari-harinya, sebagai anak tunggal dari orang terkaya ketiga di negeri.

Wanita itu mengangguk dan menjawab, "Rambutnya enggak diurus banget, enggak banyak omong, matanya kayak penuh dendam gitu sih gue lihat. Dia juga langsung nunduk setiap kita papasan sama cowok, enggak ada tuh dia kenalin kita ke warga cowok yang papasan tadi."

"Ya terus?" sahut Vina sambil bersandar memainkan gim bebas jaringan internet di ponselnya.

"Itu aneh, Vin. Ah ... enggak ada yang peka nih," gerutu Desry seraya beranjak dari duduknya, "gue mau mandi," tukasnya pergi begitu saja setelah mengambil pakaian dari ransel yang dibawa.

Tidak banyak kata dan hal yang bisa dilakukan para mahasiswa, tidak ada arahan dan penjelasan spesifik yang diungkapkan Erina sebagai pembimbing mereka di hari pertama. Hanya jawaban 'tidak tahu' dan 'mungkin' yang diterima setiap kali bertanya, cukup menyebabkan rasa malas bertanya dari enam mahasiswa itu.

Walau begitu, Afrian sedang menggambar area desa yang sudah dijelajahinya secara acak. Menandakan titik dan belokan yang diingatnya untuk menjadi penanda mereka selama di desa, "benar, kagak?" tanya pria itu menyodorkan bukunya ke Vina.

Wanita dengan kulit putih itu menunduk sesaat dan merampas pena dari tangan Afrian, "benar," jawabnya singkat sambil menambah garis ke titik yang sudah digambar ketua kelompok, "gudang rahasia kades kalau lewat semak, bisa tembus ke tiang pemancar sinyal."

Tiga teman lainnya yang sedang berbaring dan sibuk dengan ponsel pun seketika meraih lembaran itu, mengamati dengan pasti dan saling meyakinkan satu sama lain, "sesuai kata Kak Erina tadi, sinyal aktif cuma di malam hari. Tapi karena dia buta huruf dan angka, dia enggak bisa memastikan jamnya," jelas Afrian yang hanya ditanggapi anggukan.

"Tapi ... kenapa dia bisa buta huruf dan angka ya?" gumam Vina sambil mengetukkan pelan ujung pena ke dagunya.

"Aaaaaa!"

"Desry!" seru lima mahasiswa lain dari kamar terpojok sebagai titik kumpul mereka pun terbangun, tanpa banyak kata lagi mereka berlari ke sumber suara.

"Des!" sentak Vina menghampiri orang yang belum lama dikenalnya karena pengelompokkan KKN, "kenapa?" tanyanya sambil membantu Desry menekuk kakinya, hanya berlapiskan baju handuk, wanita itu meringsut mundur dan menjauhi kamar mandi dengan wajah memerah.

"Siapa lo?!" tegas Afrian menunjuk bayangan dari kaca berembun di kamar mandi, dengan cepat tiga mahasiswa laki-laki itu berlari ke belakang rumah, menyebar ke dua sisi agar tidak ada pelarian dari pemilik bayangan itu.

Sementara itu, Vina dan seorang mahasiswa perempuan lain membantu Desry untuk bergegas ke kamar wanita. Dengan kaki gemetar dan kepala yang terus menoleh ke kanan kiri, Desry perlahan dibantu duduk di sudut ruang yang jendela telah ditutup gorden.

Masih tidak ada kata dan tanggapan, tidak ada pula pertanyaan lagi yang ditujukan pada wanita dari jurusan perfilman itu. Sampai kemudian, terdengar sesuatu terdorong ke dalam rumah.

Dengan rasa khawatir pada Desry sekaligus penasaran, sesekali mengintip dari lubang kunci dengan harapan konyol dapat melihat ke depan rumah. Tanpa mereka sadari, Desry sudah beranjak untuk memakai pakaiannya dan langsung bergegas keluar.

"Cepat banget," kata Vina mengomentari sambil mengikuti wanita itu keluar kamar.

"Lo siapa? Gue tanya!" Suara keras sudah terdengar selama langkah Vina menuju ruang utama dari rumah itu, "mesum lo intip teman kita yang lagi mandi, hah?"

Afrian. Ya, si ketua kelompok sedang berdiri dengan berkacak pinggang di depan pria hampir botak yang meringkuk, tidak ada jawaban atas segala pertanyaan dan pendapat yang dilayangkan Afrian. Tentu saja, hal itu memicu emosi normal dari seorang pria saat mendapati sesama kaumnya berperilaku tidak wajar.

Masih mencerna situasi dan mengamati ekspresi pria itu, Vina dikejutkan dengan suara tamparan dan tendangan yang diberikan Desry pada pria itu. Sontak, Vina menarik Desry agar menjauh, "Li, bawa ke kamar, tenangin di kamar. Biar kita yang urus si botak ini," titah Vina pada mahasiswa perempuan lainnya.

"Enggak! Dia sudah melecehkan gue, gue harus lecehkan dia balik. Enggak waras ini cowok," teriak Desry seraya berontak dari pegangan temannya.

Melihat kesulitan yang dialami satu sama lain, Afrian berkata tegas, "Des, kita belum ada dua puluh empat jam di sini. Jangan ngadi-ngadi."

"Dia yang ngadi-ngadi! Kita tamu, belum ada dua puluh empat jam di sini, sudah berusaha lecehkan gue begitu," sahut Desry dengan emosi yang tak kunjung mereda.

"Masuk kamar sekarang, tenangin diri lo," ucap Afrian memerintahkan sambil menunjuk arah ke kamar wanita.

"Enggak! Gue enggak mau kita berdamai sama orang mesum. Orang mesum itu sampah, Af!"

"Masuk kamar, Des!" bentak Afrian yang sontak membuat Desry terdiam, bahkan terlihat wanita itu tersentak dan menahan napasnya untuk sesaat, "masuk kamar," kata ketua kelompok itu lagi dengan penuh penekanan.

Tanpa perlawanan dan bantahan lagi, Desry melangkah masuk bersama mahasiswa perempuan lain. Usai Vina memastikan Desry telah menutup pintu kamar, Vina berucap, "Angga sama Erwin jemput Kak Erina, ya? Ingat rumahnya kan? Semi permanen yang tadi kita lewat."

Dua mahasiswa laki-laki itu bertukar pandang tanpa ada niat menjawab, "kita harus tahu identitas si botak ini, baru bisa bertindak. Tapi jangan kepala desa, dia punya kontak langsung dosen kita. Takutnya jadi masalah di hari pertama."

Kepasrahan perintah dari ketua kelompok pun dilakukan, sepanjang menunggu Vina dan Afrian yang menjaga pria botak itu benar-benar dibuat bingung. Tatapan kosong dengan perilaku acak dan ocehan yang terdengar mengerikan, segala pemerkosaan sampai pembunuhan berselimut kebohongan pun diutarakannya dengan kebebasan mulut dalam bersuara.

"Kalian tahu, enggak? Pasti enggak tahu. Si Danang, orang sok pintar itu sebenarnya pembunuh. Dia benci banget sama Ririn, gegara ayahnya Ririn tolongin Gadis buat pergi dari sini."

Masih tidak menanggapi segala ceracau tidak berdasar itu, dua mahasiswa itu lebih memilih untuk duduk dan memandangi pohon mahoni yang berada tepat di ujung pekarangan rumah kayu ini, "jadi abang gue itu penyelamat buat Ririn, kalau kagak ada abang gue uuhh sudah habis si Ririn itu."

"Dayat Hidayat!" seru seorang wanita yang tentu saja mengejutkan Vina dan Afrian, wanita yang sedari tadi ditunggu untuk menjemput dan membawa pergi laki-laki aneh itu, "Ayo pulang. Bikin susah saja."

"Hehehe ... hehehe." Kekehan tidak beralasan dengan mata sendu itu benar-benar terasa mencekam di telinga para mahasiswa, "gue duluan ya, teman-teman!" seru pria itu sambil menggerakkan tangannya, mengisyaratkan tanda sampai jumpa pada kecanggungan para mahasiswa.

Di sisi lain, Desry duduk di pojok ruangan sambil mengamati lembar bergambarkan denah desa yang buatan Afrian. Dengan tangan yang memegang pulpen, sesekali wanita itu menuliskan sesuatu di sudut lembaran itu.

"Lo tulis apaan?" tanya seorang perempuan dengan rambut ikal sebatas dada, perempuan yang juga bagian dari kelompok KKN-nya dan menemani sejak dirinya ditegaskan untuk tetap berada di kamar.

"Lo cium bau gitu enggak pas tadi kita lewat gudang terlarang punya kades?" tanggap Desry dengan pertanyaan, alih-alih dirinya menjawab pertanyaan yang diberikan temannya itu.

"Lum ... lumayan," jawab perempuan itu dengan keraguan yang terlihat jelas, "kenapa? Lo aneh sama tempat yang justru jadi terlarang, padahal penduduk di sini kagak sampai tiga puluh orang?" lanjutnya bertanya.

"Kagak, gue lebih penasaran sama bau dan kunci ekstra gandanya. Ada apa di dalam sana sampai jadi terlarang?" tutur Desry terus melihat ke arah temannya yang juga ikut terlihat berpikir, "gue enggak peduli jumlah penduduknya, tapi bisa dong terlihat normal. Ini sih kagak, gue takutnya rumor di internet itu benar, bisa babak belur gue sebagai cewek di sini."

"Enggak lah, mana ada sih gituan di zaman modern. Jangan ngawur karena habis diintip orang," sambut temannya yang menghasilkan decakan malas belaka.

"Gais!" seru Vina tiba-tiba membuka pintu, wajah cemasnya sungguh tidak bisa disembunyikan, sama cemasnya dengan ekspresi Desry yang sedang memikirkan aroma dari gudang terlarang, "ini desa aneh, gue akui sekarang omongan lo Des. Ini ... desa aneh!" tegas Vina dengan penuh tekanan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melisristi
Kerennnn, sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status