Share

Katanya, wajar!

Kegelapan gulita memaksa mata untuk dapat melihat dalam gelap meski hampir mustahil rasanya, hanya kepekaan diri yang menguatkan kesadaran. Vina kembali menyalakan ponselnya dan menjulurkan tangan sambil memperhatikan sekitar, hanya dengan bekal melalui cahaya ponsel temaram.

"Gue punya ide," bisik Vina yang terdengar jelas oleh lima temannya, bisikan yang terasa seperti ucapan akibat keheningan, "kita ikuti mereka, tadi gue lihat ada kayak cahaya lentera. Gimana?"

"Ngapain?" sahut Desry langsung membuat tangan Vina yang memegang ponsel untuk terjulur ke depan wajahnya.

"Gue enggak mau basa-basi. Yang mau ikut ya ayo, yang enggak mau ikut silakan tidur," tukas Vina mematikan ponselnya lalu terasa wanita itu berdiri, getaran tipis dari lantai kayu cukup menyuratkan ketegasan wanita itu.

"Vin ... Vin," panggil Afrian yang tidak lagi menjaga intonasi suaranya, "jangan gegabah," lanjutnya dengan bantuan sorotan senter ponsel dari empat anggota kelompok.

Sesaat langkah Vina terhenti, namun ucapan Afrian tidak cukup membuat wanita itu menoleh atau kembali duduk. Justru sebaliknya, Vina kembali melangkah dan benar-benar mengabaikan himbauan dari ketua kelompoknya.

"Ck," decak Angga langsung bangkit dari duduknya dan mengejar Vina, "kita harus jaga dia, ini tempat masih asing," katanya lalu meninggalkan Afrian yang terdengar berdesis.

"Gue ikut deh," ucap Desry usai mengambil kameranya dan mengikuti jejak Angga.

"Gue jaga barang di sini, lo ketua kelompoknya harus ikut, Af," cetus Liona membuat pria berambut cepak itu mengernyit, "gue mau tidur, capek." Liona melanjutkan ucapannya dan mengambil posisi berbaring.

"Lo, Win?" sambung Afrian pada temannya yang sudah berdiri.

"Gue mau tidur di kamar cowok, lo urus saja yang lain. Cepat sana, entar jadi masalah," tukas Erwin seraya berjalan melewati Afrian, bahkan tanpa menunggu jawaban pun pria itu benar-benar beranjak meninggalkan kamar pojok.

"Jangan aneh-aneh sama Liona!" tegas Afrian sambil mengikuti Erwin menuju kamar lain, seraya mewaspadai kemungkinan dari segala kejadian, mengingat keberadaan mereka di desa orang yang terbilang aneh.

"Iya, siapa juga yang bisa tertarik sama cewek modelan kayak Liona?" sahut Erwin kemudian masuk kamar, "kalau enggak percaya juga, bawa saja kunci kamar," lanjutnya hendak mencabut kunci di pintu namun langsung dicegah oleh Afrian.

"Oke, gue susul yang lain," ucap Afrian menarik pintu kamar itu dan menutupnya, mengabaikan sorakan malas dari Erwin.

***

Berlari dalam kegelapan dengan hanya berbekal ponsel bercahayakan temaram, demi menjaga daya yang terbatas sebab jarangnya akses listrik untuk desa. Mengandalkan foto denah desa yang digambarnya siang tadi, Afrian bergegas menuju rumah Erina karena ingatannya terkait pertanyaan terakhir Vina.

Dari kejadian demi kejadian yang terjadi di desa selama kurang dari dua puluh empat jam, Afrian menyadari bahwa tipe wanita keras kepala dengan kemampuan analisis yang cepat benar-benar ada. Jauh sebelum KKN dilakukan, Afrian termasuk golongan laki-laki yang berpikir bahwa wanita hanya mengandalkan perasaan dan menolak fakta dengan analisis atau logika.

"Shh!" desis sebuah suara dari pojok kanan dekat semak.

Afrian menoleh dan mendapati Desry sedang bersembunyi di balik pohon dan semak yang tidak cukup lebat, namun kegelapan mendukung persembunyiannya itu. Bergegas sang ketua kelompok itu menghampiri dengan langkah yang berjingkat, "Vina sama Angga mana?" tanyanya pelan setelah merunduk di sebelah Desry, wanita yang kini hanya berjongkok namun mengangkat tangannya tinggi sambil memegang kamera.

Desry pun menarik-narik pelan celana Afrian, menyiratkan agar pria itu berjongkok dan mengikuti caranya, "Vina di belakang rumah itu, Angga di seberang sana," jawabnya setelah pria itu berjongkok.

"Ngapain?" tanyanya mengernyitkan dahi.

"Pasang telinga lo yang benar," ketus Desry menjawab.

Terdiam Afrian mendengar jawaban demikian, walau dirinya adalah seorang laki-laki dan sebagai ketua kelompok. Tidak pernah sedikit pun, Afrian berekspektasi akan dihormati atau dipatuhi dan didengar oleh anggota kelompoknya. Jadi jawaban Desry tentu tidak mengejutkannya.

Hening kembali terjadi, bahkan debur ombak hanya terdengar samar walau di malam hari. Afrian mengira mungkin karena jarak antara rumah Erina dengan tepi pantai tidak cukup dekat dan tidak juga cukup jauh, bahkan bunyi jangkring genggong hanya sesekali terdengar.

Sampai kemudian Afrian menahan napasnya, tak segan pula pria itu membekap mulutnya sendiri juga menahan napas dan tak lupa membekap mulut Desry. Suara desahan disertai pukulan antar kulit terdengar jelas, tidak bisa dikatakan kencang namun jelas terdengar di malam hari yang sunyi.

"Lo mau tahu yang aneh?" bisik Desry setelah menyentak tangan Afrian dari mulutnya, "tadi suaminya Erina alias si Agus pergi bawa jala, terus tiba-tiba si botak masuk. Dan sekarang terdengar ini."

"Hah? Agus siapa?" pungkas Afrian cepat.

"Suami Erina, gue juga enggak tahu sih. Tapi tadi Angga bilang kalau cowok itu namanya Agus, dan cowok itu juga yang ajar anak kecil buat memuaskan diri pakai lima jari tadi siang," tutur Desry yang semakin tidak mengerti Afrian, terlihat jelas dari ekspresi pria itu yang semakin mengerut bingung, "sudahlah, nanti lo tanya Angga saja. Ribet."

"Terus maksud lo, Erina berhubungan terlarang sama si botak yang intip lo mandi?" tangkas Afrian justru menghasilkan decakan malas dari Desry, "ribet memang kalau ngomong sama cewek," sambung pria itu setelah menyadari tidak mendapat respon dari wanita dengan kamera di tangannya selain decakan.

"Lo yang ribet," ketus Desry mengabaikan keberadaan Afrian.

Perdebatan kecil yang dirasa menyebalkan oleh Afrian dan Desry pun terselesaikan secara paksa, jeritan dan desahan yang terdengar menyakitkan kian menimbulkan rasa ingin tahu amat tinggi. Sampai Vina mengendap berjalan melewati tempat persembunyian Afrian dan Desry, "shh!" desis Desry seperti sebelumnya ia memanggil si ketua kelompok.

"Balik," kata Vina dari gerak mulut yang dapat dibaca oleh wanita dengan kamera di tangannya, ditambah dengan isyarat jemari yang dilakukan untuk memberi kode pada Angga yang berada di sisi lain.

Empat mahasiswa itu pun bergegas pergi, walau masing-masing di antara mereka saling menyimpan pertanyaan dan ungkapan yang sangat ingin diutarakan satu sama lain. Meski begitu, membaca situasi dan menganalisis keadaan ternyata lebih penting dari pada mengutamakan kebebasan berpendapat.

"Kenapa?" bisik Angga setelah mereka berada di dekat pohon mahoni dekat rumah sementaranya.

"Ada dua bapak-bapak tadi masuk ke rumah Erina lewat jendela, sempat gaduh, tapi terus aktivitas menjijikkan itu dilanjutkan." Vina berujar sambil mengamati situasi sekitar, memastikan tidak ada yang mendengar selain ketiga temannya itu.

"Lah? Kok bukan digerebek?" pungkas Desry yang kini lebih andal menjaga intonasi suaranya.

Vina mengeluarkan ponselnya dan membuat folder baru di aplikasi catatan bawaan benda pipih miliknya itu, "gue rasa, kita harus buat catatan tentang semua yang kejadian di desa ini. Gue bakal bikin folder ini bisa diakses pakai surel kalian, nanti gue kirim tautannya. Jadi selain dari buku, kita juga komunikasi lewat catatan di ponsel."

"Vin ... kok bisa sih? Lo enggak jawab gue," rengek Desry mendapat lirikan tajam dari Afrian.

"Sabar," desis pria itu mengisyaratkan agar Desry memperhatikan hal yang diketik oleh Vina di catatan pertama dari folder itu.

"Katanya, wajar." Desry membaca dua kata yang Vina tempatkan sebagai judul dari catatan pertama itu, "kok wajar sih? Apanya? Dimana wajarnya istri begitu ke adik ipar pas suaminya pergi?"

"Biar saja sih, wajar juga kita begini ke Ririn. Cewek kurang ajar dia!" Vina berujar seperti menyerupai seseorang, "itu yang gue dengar dari salah satu bapak-bapak yang masuk ke rumah Erina, plus ... suara itu sama persis kayak suara orang yang intip ke kamar kita tadi," lanjut Vina lalu kembali berjalan ke rumah.

"I-itu serius?" tanya Desry terbata.

"Sudah ayo masuk," ucap si ketua kelompok mengambil alih kamera Desry yang hampir terjatuh dari pegangan wanita itu, "terus tidur," sambung Afrian memberi isyarat pada Angga untuk membantunya menuntun Desry ke dalam rumah.

Meski tubuh dan ekspresi Desry seperti mematung akibat rasa terkejutnya, saat dipegang kedua lengannya oleh Afrian dan Angga, terasa jelas Desry gemetar takut yang dapat dirasakan dengan mudah, "enggak usah takut, kita pelajari mereka sambil kumpulkan data terus minta bimbingan dosen dari pesan atau surel nanti." Angga berucap menenangkan Desry yang sama sekali tidak menghasilkan apapun.

"Sudah, kalian ke kamar saja sana. Biar gue yang urus," tutur Vina mengambil alih tuntunan dua pria itu terhadap Desry, sesaat setelah Vina memegang lengan temannya, Desry langsung terlonjak dan berlari ke kamar pojok.

"Gue mau tidur! Gue yakin ini mimpi," ujarnya yang dianggap wajar oleh Afrian, Angga, dan Vina sebagai respon tubuh Desry atas rasa terkejut sekaligus ketakutannya yang besar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melisristi
Iiihhhh seereeemm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status