Share

Gudang Berbau Busuk

Langit telah gelap dengan taburan bintang di angkasa luas yang hanya bisa dipandang, bersama cahaya bulan purnama yang lebih dominan menarik perhatian, lima mahasiswa beriringan jalan menuju rumah. Cahaya ponsel yang tidak seberapa cukup membantu penglihatan, setidaknya mereka harus sudah mulai membiasakan diri dari terbatasnya akses listrik.

Baru sampai di depan pohon mahoni yang berada dekat penginapan, Afrian terhenti dan memutar arah tubuhnya untuk melihat ke anggota kelompok yang ia pimpin. Sedari tadi, memang Afrian berjalan di paling depan, "Kemana Angga?" tanya pria itu langsung menimbulkan kecemasan dari anggota kelompoknya, apalagi mengingat Angga sore tadi berpamitan untuk mencari sinyal di dekat tiang pemancar sinyal, tiang yang jelas berada tidak jauh dari gudang terlarang milik kepala desa.

"Masih di tiang sinyal kali," celetuk Erwin menjawab.

"Ya sudah ayo kita jemput, yang cewek masuk duluan saja," tukas Afrian menyerahkan kunci ke Vina, lalu menarik lengan Erwin untuk bergegas menuju pemancar sinyal yang berada cukup jauh dari rumah sementara mereka.

Jalan desa yang tidak mendapat akses listrik walau di malam hari, dan hanya mendapat aliran listrik pada jam dan hari tertentu, jelas cukup menyulitkan mereka yang terbiasa hidup dengan dampingan listrik dan jaringan. Terangnya gemerlap bintang dan cahaya bulan jelas mengartikan bahwa mereka berada jauh dari area dengan polusi cahaya, sangat menenangkan memang bila tidak mengingat keanehan yang dialami pada hari ini.

"Dor!" seru Erwin saat menyorot senter ponselnya tepat ke wajah Angga yang baru menoleh, sunyinya desa membuat bunyi jangkrik genggong seolah membawa tiga pria ini menuju kegelapan malam bersama para sosok tak kasat mata.

"Shh!" desis Angga sambil meletakkan jari telunjuknya di hidung, lalu mengisyaratkan agar Erwin dan Afrian mematikan senter mereka, "sini duduk," bisik pria itu yang segera dituruti oleh Angga.

Berbekal cahaya terbatas dari layar laptop di pangkuan Angga, layar yang sudah memiliki cahaya rendah sebagai tanda lemahnya baterai. Erwin dan Afrian menerima sodoran pengantar bunyi atau earphone dari Angga, "dengar," titah pria dengan poni ke samping itu pada dua temannya.

'halo cantik ....'

'Cantikku kok sudah bau sih? Padahal belum lama aku enggak mampir ke sini, manja banget sih sampai mau dimandiin.'

'Ayo mandi, cantik.'

Sesaat setelah suara itu berakhir dengan gemerisik semak dan langkah, Erwin melepas earphone itu dan mengernyit, "kita bahas di rumah," tukas Afrian cepat, bahkan lebih cepat dari pada otak temannya yang masih mengolah kata untuk diucapkan.

Menutup laptop dan bergegas kembali ke rumah, tiga pria itu sengaja melewati gudang terlarang kepala desa melalui semak, dengan sebelumnya Erwin dan Afrian memilih jalan memutar demi keamanan di malam hari. Melihat cahaya temaram dari dalam, cukup menyampaikan kode pada tiga mahasiswa itu bahwa di dalam tempat itu ada orang, terutama gembok dan rantai yang terlihat berserakan.

Melepas alas kaki lalu berlari adalah hal yang mereka lakukan saat mendengar tawa laki-laki di dalam gudang, rasa takut lebih besar dari pada rasa penasaran yang dimiliki. Dalam otak ketiganya hanya tentang keamanan teman wanita di rumah, apalagi kondisi siang tadi saat Desry mengalami pelecehan karena diintip saat mandi.

Setibanya di rumah, Afrian mengetuk pintu dan memanggil Vina. Tak butuh waktu lama, pria itu masuk dan tentu saja langsung mengunci pintu utama, "amankan semua jendela, terus kumpul di kamar pojok, matikan senter" titah ketua kelompok itu pada Vina dan Liona yang menyambut kepulangan mereka.

Beberapa menit berlalu, berbekal satu senter ponsel, dua wanita itu kembali ke kamar pojok dan langsung mendapat perintah untuk mengunci kamar. Tentu saja, rasa heran menimpa ketiga wanita itu bahkan menimbulkan kecemasan di antara mereka, "kita bukan maniak, buat lingkaran, ada yang mau kita bicarakan." Erwin berujar saat menyadari Vina mematung dengan raut waspada di ambang pintu.

"Tentang gudang," kata Afrian sambil memeriksa ponselnya.

Saat mendengar topik pembicaraan, Vina mengikuti arahan untuk mengunci pintu kamar dan duduk bersama yang lain sampai membentuk lingkaran, "sinyal lo pada ada?" tanya si ketua kelompok tidak langsung mendapat tanggapan, "kalau sudah ada, ping ke grup diskusi kita. Jadi kalau ada sinyal kita diskusi di grup, kalau enggak ada sinyal kita diskusi lewat buku itu."

Afrian memulainya.

Disambung dengan Angga dan Erwin.

Dilanjut Vina dan Liona.

"Des, lo belum ada sinyal?"

"Masih proses, banyak banget pesan sama panggilan tak terjawab," jawab wanita itu dengan penegasan pada kondisi ponselnya, setelah beberapa waktu pula wanita itu mengakhiri pemeriksaan sinyal melalui grup diskusi.

'kita bahas di sini, turunkan intensitas cahaya ponsel ke yang paling rendah. Biar dari luar kita kelihatan sudah tidur, ada yang mau ditunjukkan Angga. Jangan ada yang bersuara, pakai earphone kabelnya bergantian.' Afrian mengirim pesan.

Sesaat setelah pesan itu terkirim, Vina menerima sodoran ponsel Angga dengan kabel earphone yang sudah tertancap di lubang seharusnya. Melihat tanda tertunda atau pause, wanita itu memulainya setelah memastikan dirinya sudah menggunakan pengantar suara dengan baik.

Dengan cepat, wanita itu membulatkan matanya dan melepas earphone itu. Tanpa banyak basa-basi juga, ia serahkan pada kedua teman wanitanya untuk mendengarkan secara bersama.

'itu suara siapa?' Vina mengirim pesan dengan kegelisahan napasnya yang terdengar jelas.

'Menurut lo?' balasan pesan dari Erwin, dengan cepat pula Vina mengangkat kepala untuk melihat ekspresi si pecandu komik itu yang ternyata terlihat abai.

'Pak kades?' tebak Vina lagi.

Tebakan yang belum terjawab namun langsung mendapat kejutan dari teriakan Desry, wanita dengan anting magnet yang spontan meluncurkan ponsel itu kembali ke pemiliknya yaitu Angga. Liona secepat yang ia bisa langsung membekap mulut Desry, mengisyaratkan agar temannya itu untuk tenang dan diam.

Meronta sudah pasti dilakukan Desry, terlihat samar dalam cahaya temaram dari ponsel dengan akurasi cahaya rendah. Wanita dari jurusan perfilman itu ketakutan, "jangan nangis," bisik Liona namun terdengar cukup jelas oleh empat temannya yang lain.

Sampai Afrian memencet ibu jari kaki Desry, memerintahkan agar wanita itu untuk diam dan patuh pada keadaan yang mereka alami. Dan beberapa saat kemudian, Desry terdiam dengan napas terseguk akibat tangisnya.

Perlahan Liona melepaskan tangannya dari mulut Desry, tidak ada yang bicara dan kembali lagi pada ponsel untuk fokus pada grup diskusi yang ada.

'Itu benar pak kades? Ada siapa di dalam gudang?' Desry mengetik dengan gemetar dan napas sulitnya yang masih jelas terdengar.

'Belum tahu, tapi kenapa lo pada yakin banget itu pak Danang?' balas Angga yang menolak penggiringan opini oleh para wanita, apalagi dirinya yang mendengar langsung.

'Suaranya.' Liona menjawab singkat.

'Itu seram banget! Gue mau pulang.' Desry mengirimkan pesan lagi untuk menyampaikan isi pikirannya, 'ini desa enggak waras. Itu gudang bau busuk loh, kenapa bisa dia sebut kata cantik, berarti cewek bau busuk ada di dalam sana? Kenapa enggak ada suara apapun?'

'Sabar, Des ... satu persatu.' Afrian menimpali.

'Enggak bisa, kita harus pulang terus lapor polisi.'

'Des ... lo lupa sama artikel dan kiriman yang sempat tren? Peneliti sampai pihak berwajib saja enggak bisa masuk sini, jadi kita tergolong beruntung. Jangan gegabah.' Vina pun ikut membujuk Desry meski harus tanpa berbicara walau duduk bersebelahan.

'Kalau kita celaka, gimana?'

'Kita enggak bakal celaka, gue jamin.' Afrian membalas kemudian menepuk bahu Desry, mengisyaratkan bahwa dirinya akan menjaga Desry.

"Loh sudah gelap saja rumah anak kota."

"Padahal pulang kerja begini enaknya lihat yang cantik-cantik."

Ke enam mahasiswa itu sontak mematikan ponsel dan saling berpegangan tangan, dalam kegelapan mereka sebenarnya saling menatap dan menguatkan. Hingga tiba-tiba ketukan dari jendela terdengar, "kira-kira kamar pojok begini di-isi kagak, ya?"

"Tanya si Ririn saja, kan dia yang urus anak kota."

"Lagian, ngapain si Danang terima anak kota kemari? Aneh-aneh saja dia."

Bunyi langkah dan suara obrolan pun terdengar perlahan menjauh, meski begitu belum ada napas lega yang terhembus, "jadi Ririn itu Erina?" bisik Vina tiba-tiba.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status