Ufuk timur telah mengintip dengan sinar jingga dan berkas cahaya ungu yang turut menyinar samar, tidak ada bunyi ayam berkokok atau lalu lalang kendaraan yang khas para mahasiswa dengar setiap harinya. Hari kedua telah dimulai, setelah segala kegilaan mereka lewati kini harus kembali berhadapan dengan wajah kepalsuan, layaknya maling yang tidak mengetahui sandi brankas penyimpanan barang berharga.
Tangan direnggangkan ke atas sambil menguap lebar, mengabaikan wajah yang mungkin terlihat aneh dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih terpejam. Sensasi mager alias malas gerak adalah hal biasa yang dirasakan orang-orang setiap paginya, orang yang hanya sudah mengetahui rutinitas monoton atau rutinitas yang tidak diketahui. Rasa yang tentu saja tidak bisa dimiliki oleh orang yang sudah menunggu hari, merencanakan sesuatu, atau memang menunggu hal tertentu.Baru saja mata mengerjap untuk menyesuaikan segala yang hendak dilihat, senyuman konyol menyapa satu sama lain di antara tiga wanita yang sebelumnya tidak saling kenal itu. Malam terasa panjang meski lelah mengintai, bukan tanpa alasan, melainkan sebab tidur hanya beralaskan pada matras gulung yang sengaja dibawa.Tiba-tiba ketukan jendela dari sisi belakang di kamar para wanita ini terketuk, berirama dan tidak dilakukan secara acak seperti malam tadi, "Vina ... kamu sudah bangun?" Sebuah suara berbisik di dekat jendela, suara yang sudah cukup dikenal oleh sang pemilik nama tersebut.Vina merangkak mendekati sudut jendela yang terlihat sedikit beruap, sudah dapat dipastikan bahwa yang mengetuk tadi berbisik tepat di depan jendela, "sudah, kenapa?" sahut Vina yang langsung mendapat jawaban untuk segera keluar rumah itu.Tanpa basa-basi lagi, Vina mengambil sisir dan menggulung sedikit benda itu di poni sampingnya, rambut yang lurus dan sehat tentu dapat menjadi penyelamat bagi benda itu agar tidak tersangkut. Belum sempat merapikan rambut atau sekadar cuci muka, sudah mendapat panggilan yang harus segera disambut, sebab segala alasan akan sulit diterima jika sudah berkaitan dengan adab sebagai tamu di suatu tempat.Sesaat sebelum membuka pintu utama, Vina menyadari bahwa Desry mengikutinya sambil memegang kotak kecil berisikan alat mandi. Peralatan yang kemarin siang sudah dilihatnya, jika berbicara tentang mandi maka Vina jadi teringat bahwa dirinya belum membersihkan diri sejak kedatangan.Terlalu sibuk, rasanya."Cowok belum pada bangun?" tanya wanita dengan anting magnet di telinga, anting yang sudah menjadi ciri khasnya di kelompok KKN ini."Enggak tahu," jawab Vina acuh tak acuh sambil memutar kunci yang tertancap.Segera ia mendapati wanita yang kemarin membimbingnya itu bergegas masuk, bahkan tidak memberi kesempatan bergerak untuk Vina. Sangat cepat wanita itu bertindak dengan kembali mengunci pintu, "ada banyak yang mau saya bicarakan tentang desa ini.""T-tentang apa itu?" tanya Vina menyadari bahwa Erina tidak mengenakan pakaian dalam khusus wanita."Yang cowok kemana?" pungkas Erina mengabaikan pertanyaan Vina."Masih tidur," jawab si wakil ketua kelompok, ada rasa canggung namun juga ada kehendak agar tidak menunjukkan kecanggungan atas dasar tidak enak."Hah?" tukas Erina cepat, "ada orang yang belum bangun padahal sudah terang begini?""Hm ... di kota sih, ada saja yang bangun siang, soalnya mereka kerja malam," timpal Desry menunjukkan ekspresi herannya atas sahutan Erina."Suruh bangun terus kita ke kamar tempat tadi aku panggil Vina," tutur Erina setelah mengamati ekspresi Desry tanpa menjawabnya.Wanita itu pun bergegas menuju kamar pojok terlebih dahulu, sementara itu Vina berbisik pada Desry, "bangunin yang lain, terus bilang jangan ungkit semua yang sudah kita tahu atau sudah kita bahas semalam. Kita serempet dikit saja, yang penting jangan sampai ada yang sadar kalau kita sudah tahu," ujar Vina yang disambut ibu jari dari Desry, "ya sudah, gue ke kamar duluan."***Tiga pria dengan rambut berantakan duduk bersandar di dinding yang tentu terbuat dari kayu, dua di antara mereka masih memejamkan mata dengan malas dan satunya mengucek mata sambil menguap. Sedangkan tiga wanita berada di sisi lainnya sambil menyisir rambut, dan seorang wanita bersetelan daster duduk bersandar di pintu yang tertutup."Orang kota memang pemalas ya," komentar wanita yang bersandar dengan santainya.Komentar yang tentu saja membuat tiga pria langsung duduk tegak dan menoleh ke arahnya, menatapnya tajam kemudian kembali bersandar saat si wakil ketua kelompok berdeham, "Hm, malas gimana kak maksudnya?" tanya Vina mencoba berpikir netral, disaat dirinya cukup merasa kesal karena perkataan itu.Seolah ada anggapan yang melekat di desa, bahwa kota hanya tempat untuk orang malas yang dibuktikan langsung oleh Erina. Tapi keanehan yang ditemukan mereka, harus segera dibuktikan secara konkret."Ya kalian baru bangun pas sudah terang begini, terus tadi dia juga bilang ada yang lebih siang lagi bangunnya karena kerja malam," tutur Erina menunjuk Desry yang sontak menunjuk dirinya sendiri lalu menggeleng.Vina menyenggol lengan Desry, menyiratkan bahwa memang Desry berkata demikian tentang waktu bangun orang-orang di kota, "tapi itu wajar dong, kita sudah capek karena malam kerja. Apa salahnya bangun siang kalau malam kita penuh aktivitas?" timpal Desry yang mendapat tatapan tajam dari Afrian, tatapan yang dimaknainya sebagai isyarat untuk tetap tenang."Salah. Manusia itu bukan hewan yang bisa kerja malam dan tidur siang," ucap Erina setelah dirinya mendapat decakan dari Erwin."Pikiran kolot macam apa itu?" sentak pria dengan rambut kribo itu, pria yang selalu bersama komik tanpa mengenal momen."Ekhem!" deham Afrian cepat, tepat sebelum Erina berbicara lagi.Kecepatan yang patut diacungi ibu jari karena berhasil memotong perdebatan perihal waktu tidur, "maaf kak ... maaf banget, kakak ke sini mau ngapain?" tanya Afrian setelah melihat Erina spontan menunduk dan meremas ujung dasternya.Ada ketakutan yang terlihat jelas di mata Vina, takut akan situasi yang terasa tidak mengenakkan sedari awal menginjakkan kaki di desa ini. Ada banyak perandaian yang terbesit di benak wanita berusia dua puluh tahun itu, dan yang terbesar adalah andai KKN bisa dibatalkan sejak menerima panggilan telepon."Saya mau omongin tentang desa ini," jawab Erina tanpa mengangkat kepalanya.Satu lagi keanehan yang disadari para mahasiswa yaitu, spontanitas seorang Erina saat mendengar suara tinggi, geram, dan deham dari seorang pria. Spontanitas yang dapat bertahan dalam waktu tertentu, sampai perlahan dapat berperilaku seperti semula."Apa saja itu, kak?" tanya Vina lalu mengatup rapat kedua bibirnya, wanita itu merasa hampir mengungkapkan hal yang diketahui. Kata yang digunakan untuk bertanya, seolah mencerminkan banyak hal.Mengetahui kecemasan Vina, Liona menggenggam erat tangan temannya itu, "wajah lo jadi merah," bisik Liona yang hanya ditanggapi anggukan, "bisa ayo bisa," lanjutnya mendapat senyuman kecil Vina, senyuman yang selalu diartikannya sebagai suatu tekad dalam kebersamaan.Sementara itu, Desry menyalakan kamera dan mulai merekam. Meletakkan benda itu di sebelahnya lalu dihimpit antara kakinya yang duduk bersila dengan kaki Liona, membiarkan lensa perekam itu menyorot langsung ke arah pintu yang menjadi tempat Erina duduk kini."Desa Metanoia dipimpin sama Pak Danang Harja sebagai kepala desa, terus pemangku adat atau sesepuh kita kayak orang yang kita hormati itu bernama Pak Ujang. Desa ini sudah ada dari masih banyak orang kulit putih. Desa ini juga enggak mau ada listrik karena kita bisa hidup tanpa listrik dari dulu, di sini juga enggak mau ada sinyal atau apapun itu karena kita enggak butuh, katanya sinyal itu perusak kayak monster gitu," papar Erina yang justru mendapat ekspresi aneh dari enam insan yang berada di depannya."Orang kulit putih?" kata Erwin mengulang sebagian perkataan Erina, "bule?" pungkasnya melanjutnya.Untuk ke sekian kalinya, setiap ada pertanyaan maka akan ada kedua bahu Erina yang terangkat, sebagai tanda ketidaktahuan wanita itu, "apa sih yang lo tahu," gerutu Erwin bergumam seraya menyandarkan dirinya lagi ke dinding.Diamati Vina dengan baik segala tindak laku Erina, butuh sekitar tiga sampai lima menit setelah dehaman Afrian tadi. Durasi yang cukup lumayan untuk seseorang menunduk hanya karena mendengar sesamanya berdeham, dengan mata menyipit untuk meyakinkan penglihatannya, Vina bertanya, "Siapa yang bilang sinyal itu monster?""Danang, kepala desa," jawab Erina cepat.Jawaban yang langsung disadari Liona dan Vina, keduanya spontan mengeratkan genggaman tangan satu sama lain dan bertukar pandang, "kenapa di sini orang-orangnya enggak banyak, Kak? Padahal kan sudah ada dari masih banyak orang kulit putih," tanya Angga setelah menuliskan sesuatu di buku, buku yang sebelumnya dikhususkan Afrian untuk komunikasi kelompok perihal desa.Lagi, Erina hanya mengangkat kedua bahunya dan menggeleng.Melihat respon begitu, sontak Liona merangkak mendekati Erina. Tindakan yang jelas tanpa persetujuan kelompok, namun dirasa akan menjadi bagian dari yang terbaik."Siapa yang suruh kak Erina ke sini cuma buat bicara begitu?" tanya Liona tersenyum simpul, menatap Erina dengan tatapan mengintimidasi, begitu pula dengan tatapan Vina yang segera diikuti oleh empat mahasiswa lainnya."Oke kak sampai jumpa lagi," ujar enam mahasiswa itu serempak sambil melambaikan tangannya tanda perpisahan sementara.Melihat Erina sudah menjauh dari area rumah sementara, kelompok itu pun bergegas masuk dan berkumpul lagi di kamar terpojok, "jadi yang suruh Agus? Lo tahu cowok itu?""Suami Erina," jawab Angga atas pertanyaan Vina pada Afrian, "gue dengar namanya dipanggil saat gue lihat dia ajarin anak kecil buat memainkan kelaminnya demi kepuasan, gue juga dengar namanya semalam saat kita amati rumah itu," lanjutnya yang langsung mendapat jentikkan jari dari Vina."Benar, gue lupa!" ucap sang wakil ketua kelompok sambil tersenyum masam."Jadi kita juga diawasin dong?" tanya Desry sambil mengganti baterai kameranya dengan baterai cadangan."Wajar, semua tamu juga diawasin pemilik rumah," sahut Afrian menyiratkan bahwa, wajar baginya bila mahasiswa diawasi warga desa saat proses KKN."Tapi apa harus sampai suruh orang buat ke rumah ini cuma buat kasih penjelasan kayak intimidasi begi
Duduk di tanah kering yang telah menjadi pijakan depan rumah, tiga mahasiswi dan para wanita desa berkumpul di rumah Erina. Seperti biasa saat hendak membersihkan, merapikan dan mengikat sayuran yang dipanen, rumah Erina yang terbilang memiliki halaman cukup luas tentu menjadi tempat berkumpul."Kamu anak cantik, yang pakai anting depan belakang kuping, siapa namanya?" tanya Muniroh pada Desry yang sesaat terdiam memikirkan omongan wanita paruh baya itu.Sejanak Desry berpikir bahwa kalimat yang digunakan Muniroh sangat berantakan dan membingungkan, namun sekejap kemudian dia menyadari bahwa wanita di desa tidak mendapat izin untuk belajar, "Icasia Desry Putri, panggil Desry saja ya bu," jawabnya dengan kesopanan yang palsu."Oh Desry," timpal wanita itu yang hanya ditanggapi senyum canggung, "kamu jangan kayak teman-teman kamu itu ya, enggak ada sopannya sama orang tua. Sudah berbuat salah, kurang ajar, kupingnya budek kalau dibilangin, enggak minta maaf juga," lanjutnya yang tentu s
Desis dengan rasa sakit mendampingi tiga mahasiswi dan seorang wanita muda dari desa, keterampilan sederhana tangan Vina menepukkan kapas basah di kaki Erina, "tahan ya, nanti agak perih," ucap wakil ketua kelompok itu pada pasien dadakannya.Meneteskan obat merah untuk membunuh kuman sekaligus mencegah infeksi, ringis pelan dengan desis terdengar jelas dalam keheningan ini. Memasangkan plester khusus luka dan pengobatan sederhana selesai, Vina tersenyum kecil pada Erina yang mengulum senyum lebih dulu."Mau tolong aku urus sayur lagi, enggak? Biar besok bisa dijual Agus ke kota," kata Erina yang ternyata menambah kebungkaman bagi para mahasiswi.Ada begitu banyak pertanyaan, ketakutan, dan kegelisahan yang mahasiswi simpan membuat mulut mereka terbungkam serentak. Tak disangka, Erina kembali berucap, "Kalian takut sama mereka? Seharusnya kalian takut sama Danang si kepala desa sama Agus suamiku.""Hah?" tukas ketiganya serentak."Sudah ah, mau tolong aku enggak?" tegas Erina membuat
Diam, canggung, dan bingung hinggap dalam benak Vina dan tiga teman lainnya. Tatapan tajam Erina tidak kunjung mereda, bahkan semakin menajam saat tak kunjung dapat jawaban dari pria itu."Erwin, duduk dulu sini," kata Liona memecahkan hening di antara mereka berlima.Dalam kecanggungan sekaligus seberkas rasa takut, Erwin mendekati tiga teman wanitanya sambil tertunduk sebab pandangan Erina masih terus tertuju pada Erwin.Kegelisahan menghampiri perasaan pria dengan karet rambut di kepalanya, "lo tadi bilang apa, Win?" tanya Liona memancing pembicaraan."Hm ... Enggak ada," jawab Erwin setelah berdeham panjang."Tadi kamu bilang kalau bapak dan anak aku dibunuh," sahut Erina cepat memotong niat Liona untuk berbicara, "aku tanya, siapa yang bilang begitu ke kamu?"Liona berdecak saat rencananya untuk membuat topik pembicaraan baru dengan mengalihkan yang ada pun gagal, ketangkasan dengan fokus Erina sungguh mengkhawatirkan, "memangnya kenapa, Kak?" tanya Liona mencoba cara lain, berha
Tiga hari berlalu, malam demi malam dengan gentayang pikiran takut dan perasaan berkecamuk telah berhasil dilewati. Rasa lelah atas aktivitas harian dengan daya pikir untuk adaptasi, sungguh menguras tenaga yang tak jarang menimbulkan perang batin.Memasuki hari ke empat, enam mahasiswa itu sudah berkumpul di kamar pojok meski keadaan di luar belum tampak cahaya mentari yang mengintip. Bukan malas lagi yang membuat mereka enggan memulai hari, tetapi ketidaksamaan prinsip hidup mahasiswa dengan penduduk desa. Hanya ada satu hal yang membuat mereka bertahan, yaitu tugas akhir yang harus dituntaskan."Gimana hari kalian kemarin?" tanya Afrian membuka topik pembicaraan dengan para wanita yang masih bersandar dan terpejam."Menurut lo apalagi yang bisa dilakukan cewek-cewek di sini?" sahut Desry acuh tak acuh, bahkan ia sama sekali tidak membuka matanya walau untuk sekadar mengintip lawan bicaranya."Ada hal menarik enggak? Kayak kemarin lusa, Erina berantem sama ibu-ibu di sini kan," tutu
Derit pintu kayu terbuka perlahan dalam harapan cemas, posisi kaki memasang kuda-kuda secara mantap juga dilakukan Angga dan Erwin, sementara Vina berdiri di tengah ruang tepat berhadapan dengan pintu utama. Empat insan itu saling menanti kejadian selanjutnya tepat sesaat pintu terbuka, "Vina ...." Suara Erina menyambut diikuti tangannya yang mendorong pintu agar cepat terbuka, dorongan yang cukup membuat Afrian tersentak.Dorongan mengejutkan itu diselesaikan dengan terjatuhnya tubuh Erina, bersetelan daster yang sudah compang-camping kian menambah kesan mengkhawatirkan dari sosok pembimbing para mahasiswa selama di desa ini. Tanpa banyak bicara lagi, tiga pria itu membopong Erina ke kamar pojok dan Vina kembali mengunci pintu utama.Kaki yang berlumuran darah dengan banyak luka lecet serupa bekas cakar, rambut acak-acakan, dan badan yang basah dengan keringat tentu memancing rasa heran dalam benak masing-masing mahasiswa, "jam berapa, Af?" tanya Angga mengisyaratkan bahwa mereka har
[2 Tahun Lalu]Menjalani hari berstatus sebagai mahasiswa semester awal, tepatnya semester dua. Pastilah dipenuhi berbagai ekspektasi dan keinginan untuk terlibat langsung dengan segala kegiatan kampus, ingin meraih banyak penghargaan atas kegiatan yang diikuti, berharap nilai terdongkrak sempurna karena aktif dalam kegiatan kampus, dan banyak lagi.Tidak jarang keinginan dan ekspektasi yang dicurahkan melebihi batas kemampuan yang dimiliki, melebihi batas waktu yang ditetapkan, dan meninggalkan banyak kekecewaan dan rasa gagal. Meski begitu, momen-momen pada semester awal juga yang seringkali dianggap sebagai proses pembentukan mental menuju semester berikutnya.Seorang wanita berambut cokelat yang terpadu indah dengan kulit putih bersihnya, penampilannya menarik meski sebagai mahasiswa semester awal yang selalu dinantikan banyak teman seangkatannya. Tidak hanya bermodalkan penampilan menarik, wanita dengan kalung liontin sabit itu juga memiliki keaktifan, ketangkasan, dan kepintaran
Trauma, tentu suatu hal yang tidak ingin dialami dan dirasakan siapapun. Namun, perasaan yang dilewati dengan berbagai beban pikiran dan kejadian yang diluar kendali, kerap kali menjadi siksaan dalam diri seseorang."Kuat?" tanya seorang pria berambut cepak pada wanita yang sedari tadi menunduk.Kaki yang tertekuk dan pundak yang terlihat lemah, seolah tidak bisa lagi menanggung beratnya beban hidup. Bermandikan peluh dan air mata yang sulit dikendalikan, wanita bernama lengkap Arshavina Citrani itu mengangguk untuk menanggapi pertanyaan ketua kelompoknya, "harus," jawabnya lirih.Perlahan kepala itu terangkat dan menyibakkan rambut lurus panjang yang sedari tadi menutupi wajahnya, mengusap keseluruhan wajah dengan baju yang disingkapkan guna menghapus jejak peluh dan air mata, "enggak ada alasan untuk kabur dari tanggung jawab," ucap Vina mengulum senyum simpul."Yakin?" tanya Afrian sambil mengulurkan tangan membantu Vina untuk berdiri, uluran tangan yang disambut cepat bersama deng