Share

CHAPTER 4

Tanpa kamu bilang, aku sangat-sangat tau kalau kamu tidak mencintaiku.

* * *

“Vonny beneran mau datang ke rumah, Yo?”

Lio mengangguk mendengar pertanyaan mamanya. Ia tidak begitu antusias hanya karena Vonny datang karena ia tahu kalau tujuan Vonny hanya karena ingin meminta bantuan darinya.

“Kamu mau jalan berdua sama Vonny atau ada kegiatan lain?” Danisa, mamanya kembali bertanya. “Kalau cuma di rumah, Mama mau sekalian masakin makanan kesukaan Vonny nih.”

Mamanya memang mengenal Vonny sejak hari pertama cewek itu berkenalan dengan Lio. Saat itu wanita paruh baya yang mengajak bicara mamanya ada ibu Vonny. Mereka tidak sengaja memulai obrolan dan baru mengetahui kalau saling bertetangga di perumahan yang sama. Apalagi sama-sama memiliki anak yang seumur juga.

Namun sayangnya, bukan seperti di sinetron-sinetron yang akan menjodohkan anaknya, Lio sama sekali tidak merasakan itu. Padahal kalau mamanya akan menjodohkan Lio dengan Vonny, jelas Lio akan menerima dengan senang hati walaupun hidupnya akan terasa klise sekali.

Tapi kenyataannya tidak, sampai rasanya sangat mustahil untuk terlintas sedikit pun mamanya berbincang dengan orang tua Vonny untuk menjodohkan Lio dengan putrinya. Bahkan berpikir pun mungkin tidak akan pernah. Menyedihkan sekali hidup Lio harus menerima kenyataan pahit itu.

“Lio sama Vonny cuma di rumah. Ada tugas sekolah yang Vonny gak bisa makanya dia minta bantuan Lio.”

Cowok itu akhirnya menjawab dengan jujur namun kini fokusnya hanya kepada televisi yang menyala. Acaranya tidak seru tapi Lio terus menonton saja untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan Vonny. Sudah cukup untuk melihat cewek itu di sekolah, Lio menjadi lelah sendiri kalau ia harus menyadari berkali-kali kalau Vonny tidak pernah mencintai cowok itu.

Tidak butuh waktu lama, bel rumahnya berbunyi. Lio yang tahu pun tidak perlu menebak-nebak itu siapa karena langkah kaki yang terdengar riang memang pemiliknya hanya Vonny. Cewek itu kini berteriak dengan senang. “LIO!”

Lio yang masih bersandar di sofa pun hanya diam sampai ia melihat kalau Vonny kini duduk tepat di sampingnya. Mamanya pun yang melihat kedatangan Vonny ikut tersenyum.

“Sudah lama kamu gak main ke rumah, Von.” Mamanya mendekat dan bertanya, Vonny sendiri juga sudah memberi salam kepada Danisa.

“Iya ini, Tante.” Lio dapat melihat senyuman Vonny tercipta. “Lagi sibuk banget. Ini juga kalau gak karena tugas yang harus dikumpul, mungkin belum sempat datang ke sini.”

Danisa tersenyum. “Terus bagaimana kabar mama kamu? Sehat kan?”

Vonny kembali mengangguk. “Sehat kok, Tante. Terima kasih.”

“Nanti salam buat mama kamu ya, kalau ada waktu main ke rumah Tante lagi. Nanti Tante siapin makanan enak.”

Lio mendengar obrolan dua perempuan di dekatnya ini. Kalau saja ... kalau saja saat ini Vonny adalah pacar Lio, mungkin obrolan mamanya dan cewek itu tidak hanya tentang keadaan mereka masing-masing. Tapi tentang bagaimana hubungan antara Lio dan Vonny?

Lio memejamkan matanya sejenak merasakan pikirannya memang sudah benar-benar gila hanya karena Vonny. Ia pun bangkit dari sofa untuk menyiapkan sesuatu. “Kalau lo udah selesai obrol sama nyokap gue, langsung ke kamar gue aja. Gue mau siap-siap bahan dulu.”

“Gue langsung ikut aja, Yo!” Ternyata Vonny kini berdiri mengikuti langkah Lio. “Tante, Vonny izin ke kamar Lio ya.”

Mamanya mengangguk. “Nanti jangan lupa buat makan ya, udah siap itu di meja makan.”

Danisa kini menatap putranya. “Yo,” panggilnya lagi. “Mama mau berangkat kerja dulu. Malam ini lembur, nanti kamu kalau mau makan juga bisa langsung masak atau terserah mau pesan online juga boleh. Asalkan makan tepat waktu.”

“Iya, Ma.” Lio mengangguk pelan dan berjalan lebih dulu menuju kamarnya disusul oleh Vonny yang mengikuti.

* * *

Lio rasa tidak seharusnya orang heran ketika melihat kamarnya yang dipenuhi oleh kanvas, cat lukis, kuas, dan peralatan yang lain. Apalagi untuk orang-orang yang sudah mengenalnya seperti Vonny. Jadi ia tidak peduli kalau-kalau cewek itu protes dengan keadaan kamar Lio.

Tetapi benar saja, ketika mereka berdua sudah berada di dalam kamar pun tidak ada kata protes dari Vonny. Cewek itu tidak mempermasalahkan seberantakan apa kamar Lio. Namun tetap saja, Lio harus waspada ketika Vonny kini ada di dalam kamarnya. Cewek itu tidak boleh menyentuh kanvas yang ia tutupi kain karena di sana ... ia menggambar wajah cewek itu.

“Tugas lo temanya apa?” Lio bertanya lebih dulu sambil tangannya mempersiapkan kanvas dan cat. Membenarkan peralatan itu di tempat yang tepat sebelum mereka benar-benar akan mengerjakan tugas Vonny.

Cewek itu berhenti memperhatikan ponsel. Matanya yang sejak tadi melihat ke layar kini tampak mendongak. “Alam, Yo.”

“Oh, gampang.”

“Gampang?” tawa Vonny tercipta. “Ya menurut lo doang kali gampang. Kalau gue gambar gunung yang ada bentuknya jadi segitiga. Udah kayak perusak alam aja gue, ubah-ubah bentuk gunung.”

Lio tersenyum kecil mendengar itu. Ia tahu kalau Vonny memang tidak bisa menggambar hanya saja cewek itu terlalu jujur. Tidak perlu dijelaskan pun Lio akan paham, kalau Vonny bisa, cewek itu tidak akan datang ke rumahnya.

“Atau laut? Bukannya bikin ombak, gue malah bikin tsunami, Yo.” Vonny makin tertawa keras. Tidak sadar kalau tawa cewek itu membuat fokus Lio jadi terarah kepada wajah Vonny yang sangat bahagia. Berhasil menciptakan senyuman yang lebih lebar di bibir Lio, cewek itu bisa saja, dengan cara sederhana mampu membuat Lio sebahagia ini.

“Supaya gak curiga banget, buat lukisannya biasa aja ya, Von? Nanti lo malah ditanya-tanya lagi karena mereka gak percaya kalau lo bisa gambar.”

“Terserah lo deh, Yo. Gue sih ikut aja, lagian kalau orang lain gak percaya itu lukisan gue, gue gak peduli. Yang kasih nilai kan guru.”

Senyuman Vonny membentuk lebar, tapi tetap manis di wajahnya yang sangat cantik menurut Lio. Tapi yang kali ini Lio dengan cepat mengalihkan pandangan untuk segera menyiapkan segala hal keperluan melukisnya.

Gue gak tau, Von. Kalau gue jujur, gue suka sama lo. Apa kita masih sama? Apa kita masih dekat kayak sekarang? Atau lo nanti menjauh dari gue?

Gue gak mau lo jauh dari gue. Gue takut kalau perasaan gue malah buat lo jijik dekat sama gue.

Ketika sudah selesai menyiapkan, Lio pun mendongak dan melihat Vonny tersenyum sendiri ke layar ponselnya. Cewek itu seakan sedang membaca sesuatu yang membuat Vonny benar-benar bahagia.

Sampai akhirnya Vonny tersadar kalau cewek itu sedang diperhatikan oleh Lio. “Eh, sorry, Yo. Lo udah tungguin dari tadi? Sorry banget, tadi ada pesan dari Hari. Jadi gue keasyikan balas deh.”

Hari?

Lio terdiam dan membiarkan Vonny kini mendekat ke kanvas lalu siap untuk belajar melukis. Senyuman cewek itu belum luntur seakan apa yang dilakukan Hari di pesan itu benar-benar membuat Vonny bahagia.

“Yo ... buat gambar pantai aja ya. Gue harus mulai sketsa kayak bagaimana?”

Suara pertanyaan Vonny terdengar tapi Lio masih diam. Membuat Vonny melihat Lio yang melamun.

“Yo?” panggil Vonny lagi.

Lio masih mendengarnya, tapi entah kenapa ia begitu penasaran ... bagaimana Vonny kini bahkan dekat dengan Hari? Mereka sudah saling membalas pesan seperti itu.

“Yo?” panggil Vonny panik. “Lo gak kenapa-kenapa, kan?”

Tersadar sudah terlalu lama diam, Lio dengan cepat menggeleng dan tersenyum tipis. “Gue gak apa-apa.”

“Lo kayak kesambet, Yo, gue takut.” Vonny berkata demikian tapi tidak membuat Lio tertawa. “Are you okay?”

Lio mengangguk walaupun dalam hati ia ingin sekali berteriak keras tepat di depan wajah Vonny. KENAPA LO GAK SUKA SAMA GUE, VON? KENAPA?!

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status