Share

CHAPTER 2

Aku selalu ingin kebahagiaan datang di hidupku agar aku tahu kalau sedih yang aku rasakan itu hanya sementara.

* * *

Warna biru menjadi usapan terakhir untuk memperjelas lukisan yang sedang Lio kerjakan. Sketsa Vonny yang ia buat di sekolah kini sudah dipindahkan ke kanvas yang lebih besar. Sudah sejam yang lalu Lio mengurung diri di kamar dan mengerjakan lukisan ini dengan cepat.

Senyuman tipis namun penuh kebahagiaan kini terpancar jelas di wajah Lio. Lukisan wajah Vonny yang kesebelas, sisanya ia menaruh di tempat paling pojok di kamarnya, ia tidak ingin orang lain melihat terutama Vonny sendiri kalau selama ini Lio menggambar wajah cewek itu.

Dulu waktu masih kecil, Lio juga pernah melukis wajah Vonny karena permintaan cewek itu sendiri. Tapi yang pasti karena kemampuan melukisnya belum sehebat sekarang, jelas bentuknya tidak benar-benar sesuai dengan wajah Vonny. Tapi Lio tetap bersyukur karena Vonny menyukainya, ia melihat cewek itu tidak henti-hentinya memperhatikan lukisan yang telah Lio buat.

Menciptakan perasaan bahagia yang sangat sulit dijelaskan. Tatapan Vonny ke lukisan itu seakan-akan cewek itu sedang menatap mata Lio tanpa henti. Memberikan seluruh cinta yang cewek itu punya untuknya. Walaupun Lio sendiri yakin kalau pikirannya kali ini diketahui oleh Vonny, pasti cewek itu akan marah besar kepadanya.

Tapi tangan Lio yang sedang melukis terhenti ketika mengingat kembali percakapan yang terjadi di antara dirinya dengan Vonny.

“Hari? Ketua tim basket CHS?”

“Ya kayak dia deh, Yo.”

Kayak dia .... Helaan napas berat Lio tercipta. Di antara banyaknya laki-laki kenapa harus kayak Hari? Kenapa cowok itu? Apa tidak terlintas sedikit pun laki-laki itu adalah dirinya?

Lio merasa kecewa ketika tahu kalau dirinya tidak menjadi tipe cowok yang Vonny harapkan. Ia sama sekali tidak ada di pikiran cewek itu. Kalau Vonny menyukainya, setidaknya Vonny mengatakan kalau dia menyukai cowok yang suka melukis seperti Lio. Tapi percuma saja, Lio tidak bisa membalikkan waktu dan mengemis kepada Vonny tolong katakan kalau dirinya lah yang seharusnya dikatakan oleh cewek itu.

“Lio!”

Panggilan dan ketukan pintu terdengar seketika membuat Lio langsung panik. Ia mencari kain untuk menutupi lukisan yang sudah ia selesaikan. Masalahnya ia tidak ingin siapa pun tahu kalau ia menyimpan lukisan bergambar Vonny di kamarnya.

“Lio! Kamu ada di kamar, kan?”

Itu suara mamanya, Danisa, baru saja memanggilnya. Lio langsung membuka pintu dan berdiri menatap mamanya dengan bingung. “Iya, Ma. Ada apa?”

Mata mamanya mengarah ke dalam kamar namun Lio langsung segera menutup pintu kamarnya. Ia kini berdiri di depan tidak memberikan izin mamanya untuk benar-benar melihat isi kamarnya.

“Kamu udah makan atau belum, Yo?” tanya Danisa merasa khawatir. “Kayaknya Mama belum lihat kamu datang ke meja makan. Terus kata Bibi juga makanan di meja masih utuh. Kasihan Bibi lho, Yo. Dia udah masakin makanan enak buat kita, masa gak kamu makan sih? Ayo dong makan!”

“Iya, Ma, maaf. Lio tadi lagi selesai kerjain lukisan.” Cowok itu menjawabnya dengan tampang rasa bersalah. “Tapi sekarang udah selesai kok, tenang aja.”

Dihelanya napas, Danisa menggeleng-geleng heran. “Kalau waktunya makan ya makan, belajar ya belajar, dan kalau lukis ya lukis. Tapi kamu jangan selalu melukis sampai lupa waktu begitu, Yo. Masa sama makan aja kamu lupa sih? Lebih penting lukisan daripada kesehatan kamu?”

“Iya, Mama.” Lio kini menarik mamanya untuk mereka bersama-sama ke meja makan. “Mama lihat sendiri ini Lio mau makan. Maaf kalau Lio tadi lukis, soalnya sebentar doang jadi gak perlu lama-lama buat selesainnya.”

“Sebentar tapi bisa satu jam lebih?” tebak mamanya sangat benar. “Itu namanya lama, Yo. Kamu mau mati pelan-pelan karena telat makan?”

“Ma, Lio mau makan. Jadi Mama jangan khawatir oke?” tanya Lio berusaha membujuk. Ia pun kini sudah mengambil piring sendiri, mengisi nasi, dan lauk lalu mulai makan dengan lahap.

Danisa pun kini duduk di samping putranya sembari memperhatikan Lio yang terus makan. Lio sendiri pun menoleh dengan wajah bingung karena mamanya seakan sedang ingin mengatakan sesuatu.

“Ada apa, Ma?” tanya Lio penasaran.

Mamanya menggeleng pelan. “Mama cuma kepikiran sama kamu, Yo. Siapa lagi kalau bukan Mama yang ingatin kamu makan? Dari kecil cuma Mama yang ada di samping kamu, Lio. Papa kamu yang pergi jauuuh ... gak akan pernah bisa Mama harapkan untuk jaga kamu. Dan selama Mama masih bisa bekerja keras untuk keluarga kita yang kecil ini, Mama harap kamu gak hanya asyik sama kegiatan sendiri dan lupa sama kesehatan kamu.”

Lio masih makan namun ucapan mamanya menohok. Ia jadi diam namun tetap mendengarkan.

“Kalau Mama gak ada, kamu yang akan kenapa-kenapa. Tapi kalau kamu yang gak ada, Mama yang gak punya siapa-siapa, Yo.”

Lio dapat melihat mata sendu milik mamanya kini menatapnya hangat. Sejak kecil hidup berdua dengan mamanya sudah menjadi hal biasa. Papanya, Adran, memutuskan pergi dan meninggalkan istri beserta anaknya begitu saja.

Entah apa yang telah terjadi, Danisa tidak pernah bercerita kepada Lio. Sampai sebesar ini pun Lio juga tidak ingin membuka luka lama untuk mencari tahu sebenarnya tentang di mana kini keberadaan papanya.

Tetapi semua ucapan mamanya benar, dari di lihat sisi mana pun. Jika salah satunya tidak ada, baik Lio atau Danisa sendiri, mereka akhirnya akan selalu sendirian dan tidak memiliki siapa-siapa. Tidak tahu yang akan terjadi jika sejak dulu mereka tidak benar-benar berjuang berdua sama-sama.

Walaupun Lio sama sekali tidak pernah merasa kurang di hidupnya. Apa yang ia mau selalu didapatkan dengan mudah dari mamanya. Tapi ketika sudah beranjak dewasa, Lio sadar kalau mamanya pasti selalu merasa kurang. Tidak ada yang benar-benar bisa menjaga mamanya, Lio jangan diharap, bukan masalahnya tidak bisa. Hanya saja di mata Danisa, Lio tetap Lio kecil yang seharusnya beliau lindungi bukan sebaliknya.

Jadi ketika Lio berusaha melindungi mamanya, mungkin akan terlihat seperti pelukan Lio kecil yang menangis karena mamanya selalu bekerja setiap hari. Mungkin sampai detik ini seperti itu dari mata Danisa ketika menatap putranya.

Lupa makan saja menjadi masalah. Tapi bagi Lio, kekhawatiran dari mamanya sama seperti cat pada lukisan yang masih diisi dengan sketsa. Sudah cukup namun belum sempurna.

“Lio gak pernah pergi kok, Ma.”

Mamanya kini memberikan tatapan senang namun sedih secara bersamaan. Kulit yang samar-samar memunculkan keriput tipis membuat Lio tidak bisa menahan rasa sedihnya.

“Lio janji gak akan pernah pergi.”

Senyuman Lio tercipta dengan sempurna. Menatap mamanya dengan penuh bahagia.

“Lio akan selalu ingat tentang kesehatan. Lio mencoba ingat waktu dalam kerjakan semua hal.”

Danisa mengangguk dan menepuk bahu putranya itu dengan pelan. “Mama senang dengarnya, Yo.”

“Tapi Mama juga janji ya? Mama juga harus ingat kesehatan Mama.” Lio kembali menambahkan. “Karena seperti kata Mama, kalau gak ada Mama, Lio gak punya siapa-siapa di dunia ini.”

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status