Share

3. Pernikahan Semu

"Sudahlah, Rakhan. Ayah punya alasan untuk menikahkanmu dengan putrinya Lucian Sagara."

Mawar menyudahi pernyataan keberatan Rakhan dengan segera menyeret kakak kesayangannya keluar dari kamar. Handoko Mahawira, ayah mereka, telah menunggu kehadiran mereka di ruang keluarga. Pria tua berambut putih dan bertubuh tambun yang mengenakan jas abu-abu itu tampak bahagia. Matanya berbinar melihat putra sulungnya akan segera mewujudkan harapannya.

Mengendarai dua mobil berbeda, mereka pergi menuju kediaman Lucian Sagara. Handoko dan Lucian menginginkan ikatan antara Rakhan dan Mentari segera diresmikan dengan tidak menyertakan pertunangan ke dalam rencana ikatan tersebut. Pernikahan adalah ikatan yang lebih kuat. Paling kuat. Dengan uang dan kuasa mereka, pernikahan Rakhan dan Mentari bisa dilakukan secara mendadak. Kedua keluarga berkuasa itu mampu memengaruhi setiap aspek kehidupan yang terkait dengan mereka.

Lucian menyambut hangat kedatangan sahabat lamanya, Handoko. Ia membawa rombongan calon besannya ke sebuah ruangan di tengah rumahnya yang luas dan bernuansa elegan. Ruangan yang didominasi warna monokrom abu-abu pada furnitur, karpet, dinding, dan tirai yang menghias jendela-jendela besar. Dari jendela-jendela itu, pandangan mereka disuguhi pemandangan taman penuh bunga mawar beraneka warna.

Tatapan Rakhan terpatri pada Mentari yang duduk bergeming di sofa single. Wajah tirus Mentari dengan hidung mancung dan mata cokelat yang bulat besar tampak tidak begitu istimewa untuk Rakhan. Ia sudah punya banyak pengalaman dengan  wanita-wanita yang lebih cantik. Tetapi ada sesuatu yang membuat Rakhan tidak bisa memalingkan pandangannya ke arah lain, rambut cokelat Mentari yang terurai di samping wajah dan melewati bahunya yang terekspos. Warna rambut alami gadis itu memberi efek hipnotis yang kuat terhadap dirinya.

"Apakah kalian sudah saling mengenal?" tanya Handoko setelah semua orang duduk di kursi yang telah disediakan.

"Tidak," jawab Rakhan dan Mentari hampir bersamaan. Posisi duduk Mentari dan Rakhan yang bersebelahan membuat mereka menoleh dan saling memandang secara otomatis selama beberapa saat.

"Aku rasa aku tidak perlu mengenalnya. Kenal atau tidak, dia akan tetap tidur di ranjangku, 'kan?" tutur Rakhan dengan nada sinis.

Mentari membelalak. Pria seperti inikah yang diingikan ayahnya untuk dijadikan menantu? Mentari bertanya dalam hati.

Rakhan Mahawira memang terkenal dengan ucapan pedasnya di beberapa media, tapi Mentari tidak menduga ia harus mendengar sendiri ucapan tak berperasaan itu langsung dari mulut Rakhan.

Rakhan melirik jam tangannya lalu mendesah kesal. "Ayah, aku tidak terbiasa membuang waktu. Bisakah acara ini dipercepat?"

Mawar menyikut lengan Rakhan dan melemparkan tatapan memperingati, tapi Rakhan tidak peduli. Justru ia memberikan pertanyaan menantang untuk Lucian. "Pak Lucian, urusan saya masih banyak. Bisakah Anda meminta petugas catatan sipil itu untuk segera memulainya?"

Demi semesta yang menaungi bumi Jakarta, tidak ada seorang pun yang berani memerintah Lucian Sagara. Rakhan Mahawira adalah pengecualian. Pria itu dengan mudah meluncurkan kata-kata yang berisi titah. Lucian melengkungkan bibirnya membentuk senyuman. Senyuman yang tidak setahun sekali ia perlihatkan pada orang-orang di sekitarnya termasuk putrinya.

"Kau sudah tidak sabar, Nak?" tanyanya.

"Iya. Saya sudah tidak sabar membuatkan kalian cucu." Alih-alih mengucapkan dengan nada bercanda, justru Rakhan mengucapkan dengan sangat serius. Namun, reaksi Lucian sungguh di luar dugaan. Ia tertawa.

Dari tempat duduknya, Mentari memandang jijik tingkah ayahnya dan Rakhan. Mereka tidak memiliki selera humor yang bagus, tapi mereka punya sifat menyebalkan yang sama, pikirnya.

"Papa, sebaiknya kita tidak berlama-lama. Aku ada jam kuliah," desak Mentari sambil melirik Rakhan dengan lirikan tajam yang merendahkan.

"Kau tidak perlu melanjutkan pendidikanmu setelah menikah. Tugas wanita setelah menikah itu mengurus suami dan anak-anaknya," tutur Handoko.

"Maaf, Pak Mahawira. Saya tidak sependapat dengan Anda. Saya rasa—"

"Kau bebas melakukan apa saja setelah menjadi istriku." Rakhan memotong dengan nada geram.

"Baiklah. Kita tidak perlu mendebatkan masalah itu. Sekarang tanda tangani saja dokumen pernikahan itu." Lucian menunjuk pada lembaran dokumen di atas meja yang sudah disiapkan petugas catatan sipil.

Tanpa berpikir panjang Rakhan menandatangani dokumen pernikahan itu, begitupun dengan Mentari. Prosesi akad nikah pun berjalan dengan cepat. Beberapa saat setelah semuanya selesai, Rakhan berdiri. Pria dengan setelan jas hitam itu memandang Lucian. "Saya tidak bisa tinggal lebih lama, Pak Sagara."

"Baiklah, Rakhan." Lucian mengulurkan tangan yang disambut oleh jabatan tangan Rakhan.

"Ayo, Mentari!" perintah Rakhan.

Mentari terpangah. Ia masih tidak mengerti perintah Rakhan. Ia menyipitkan mata menatap heran Rakhan.

Rakhan berjalan mengitari meja lalu menarik pelan tangan Mentari. "Ayo, kita pulang!"

Serta merta Mentari mengibaskan cekalan Rakhan dari tangannya. "Rumahku di sini."

"Mentari, kau sudah menjadi istri kakakku. Rumahmu sekarang adalah di rumah keluarga Mahawira," jelas Mawar.

Mata Mentari membulat. Jantungnya berdenyut dua kali kencang mendengar ucapan Mawar. "Aku tidak akan pergi ke mana pun. Rumahku di sini."

Rakhan mendengkus. Ia mengalihkan tatapannya pada Lucian dan memanggil namanya dengan nada memperingati. "Pak Sagara."

Lucian menangkap nada memperingati Rakhan. Ia segera mendekati Mentari. Pria itu duduk di tangan sofa lalu meletakkan tangannya di pundak Mentari. "Kau sudah menandatangani dokumen dan perjanjian pernikahanmu dengan Rakhan, Mentari. Kau harus ikut dengannya."

Mentari menelengkan kepala, mengarahkan pandangan marahnya pada Lucian. "Papa ...."

"Pergilah, Nak. Rakhan pria yang baik." Lucian membelai lembut rambut Mentari.

Merasa dibohongi, dibuang, dan dijual kepada keluarga Mahawira dengan alasan yang tidak Mentari ketahui, Mentari merasa frustrasi. Ia bangkit berdiri. Tanpa menunggu Rakhan dan yang lainnya, Mentari mengayuh langkah cepat keluar dari rumah. Di sepanjang jalan Mentari terus menyumpahi ayahnya, Rakhan, dan seluruh keluarga Mahawira dalam hati. Masih basah luka di hatinya lantaran kehilangan Arya, kini ia harus dihadapkan pada kenyataan ayahnya menjualnya pada keluarga Mahawira.

Mentari mengabaikan rasa panas di mata dan kepalanya di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Mahawira. Amarah berkecamuk dan merobek-robek dinding hatinya, menambah luka baru. Ia menyesali kenapa ia tidak menekan pelatuk pistol itu tadi malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status