Share

7. Disudutkan Teman

"Arya!" Mentari meneriakkan nama pria selalu mengisi hatinya. Matanya otomatis terbuka seiring dengan detak jantung yang terpacu semakin cepat. Tanpa ia sadari air mata menetes dari sudut mata dan membasahi bantal. Ia menatap lampu gantung kristal di langit-langit yang memancarkan cahaya kekuningan selama beberapa saat sebelum ia bangkit untuk duduk.

Mentari menekuk lutut lalu menangkup wajah dengan kedua tangan sambil terisak-isak. Lintasan memori yang terselip dalam tidurnya membangkitkan derita terdalam yang menghancurkan diri. Ia tidak pernah menduga akan kehilangan Arya secepat itu. Arya adalah satu-satunya orang yang tidak bersalah dalam kekacauan hidupnya saat ini. Cara ayahnya menyingkirkan Arya, itu yang dikutuk Mentari. Sangat kejam.

"Kau sudah bangun?" Suara berat yang mulai akrab di telinga Mentari membuat saraf-saraf di tubuhnya menegang.

Sial! Mentari mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat ia menoleh ke kanan dan pandangannya sejajar dengan pundak, ia mendapati Rakhan tengah duduk dengan kaki menyilangkan di kursi ottoman di samping jendela. Keangkuhan yang pria itu coba tunjukkan mengintimidasi Mentari secara tidak langsung.

"Sedang apa kau di sana?" Mentari tidak ingin bersopan santun pada Rakhan. Ia bertanya dengan nada tinggi.

"Kau lupa kalau aku suamimu?" Rakhan memperingatkan Mentari dengan semburan pongahnya.

Mentari mencebik. "Suami? Ya Tuhan, aku tidak percaya aku mau menikah dengan pria sombong sepertimu."

"Jangan pernah berpikir aku senang menikah denganmu," tandas Rakhan tidak terima ucapan Mentari yang seolah-olah merendahkannya.

Mentari beringsut ke tepi tempat tidur untuk meraih gelas kaca di atas nakas yang berisi air putih lalu meminumnya. Berdebat dengan Rakhan saat baru bangun tidur membuat tenggorokannya sekering padang tandus di musim kemarau.

"Lantas, mau apa kau ke sini? Jangan bilang kau sedang memanfaat situasi," tuduh Mentari ketika ia teringat ucapan Handoko kemarin saat mereka sedang sarapan .

"Kalau iya, kenapa? Aku berhak atas dirimu, 'kan?"

"Sialan kau, Rakhan!" desis Mentari. Wanita itu kemudian berdiri dan menoleh ke arah Rakhan yang masih bergeming di kursi ottoman. "Aku tidak mau melakukan hal bodoh. Melahirkan anakmu adalah kebodohan yang akan aku sesali seumur hidupku."

"Kalau begitu kau akan menjebak kita berdua selamanya dalam ikatan pernikahan sialan ini."

Selamanya? Tidak! Mentari menolak dengan tegas dalam hati. Ia tertegun beberapa saat lalu menatap tajam Rakhan. "Aku tidak mau melahirkan anakmu."

Rakhan mendengkus. Gerakan di rahangnya yang tampak mengeras dan kemarahan yang berkobar di mata pria itu membidas pertahanan Mentari dalam sekali tatap. "Kau akan menyesal menolak penawaranku. Karena tanpa izinmu sekalipun, aku bisa membuatmu melahirkan anakku."

Sekuat yang ia bisa dan meskipun tahu Rakhan menyadari kelemahannya, Mentari tetap berusaha menunjukkan ketegarannya. Wanita itu masih punya kekuatan menatap gerakan Rakhan sampai pria itu pergi dan menghilang dari hadapannya.

Jangan menangis! Mentari memberi peringatan kepada dirinya sendiri sesaat kemudian. Namun, perasaan sakit yang menusuk membuat bulir air mata jatuh ke pangkuannya. Ia tidak punya pilihan selain menyemangati dirinya sendiri. Ia harus bangkit untuk mencari tahu tentang Arya dan berharap ada keajaiban yang bisa mengembalikan Arya kepadanya.

Beruntung pagi itu Mentari tidak harus sarapan bersama Rakhan. Setelah ayah mertua dan adik iparnya pergi ke Surabaya, Mentari mendapatkan sedikit kebebasan sekaligus teror dari Rakhan. Ia berhasil menghindar dari teror tersebut pagi itu. Entah besok atau lusa.

Jika Handoko pernah bilang Mentari tidak perlu melanjutkan kuliahnya, hal sebaliknya pernah diungkap Rakhan di hari pernikahan mereka. Berpegang pada ucapan Rakhan tersebut, pagi itu Mentari memberanikan diri pergi ke garasi dan meminta satpam khusus di sana untuk memberikan kunci mobil yang bisa ia pakai. Ia tidak berniat kabur, hanya ingin pergi ke kampus yang sudah seminggu ia tinggalkan sejak ia dan Arya memutuskan lari bersama.

Suasana kampus semuram hati Mentari. Ia tidak melihat keramahan dan keceriaan yang selalu menyambut kedatangannya seperti hari-hari yang lalu. Semua pandangan seolah menatapnya penuh curiga. Sempat terlintas bahwa itu hanya perasaannya saja, namun Mentari tak bisa menampik kenyataan bahwa ia dan Arya punya banyak teman yang mengetahui hubungan asmara mereka. Kemungkinan besar teman-teman mereka juga mengetahui rencana mereka untuk kawin lari. Dan jika Mentari kembali ke kampus hanya seorang diri, sudah pasti hal itu menimbulkan pertanyaan.

Suara derap langkah beberapa pasang sepatu memenuhi koridor kampus. Mentari mengarahkan pandangan kepada tiga mahasiswa yang berjalan mendekat ke arahnya. Raut wajah mereka tampak tidak bersahabat dan ketika jarak mereka semakin sempit dengannya, Mentari melihat sorot mata bermusuhan dari ketiganya.

"Arya mana?" selidik Edo salah satu sahabat Arya tanpa basa-basi.

Mentari menggeleng. Ia tidak punya jawaban untuk pertanyaan Edo. Meskipun ia tahu orang-orang suruhan ayahnya mencelakai Arya, tapi Mentari belum siap mengatakan kebenaran. Ia masih mempertimbangkan beberapa hal, termasuk ayahnya.

"elo bohong, Tari. elo sama Arya pergi berdua. Aneh rasanya kalau elo bilang, elo enggak tahu di mana Arya." Edo tersenyum sinis.

"Kita tahu, seluruh dunia juga tahu, kalau bokap lo nggak suka sama hubungan elo dan Arya. Arya di kemana-in sama bokap lu?" desak Mike, sahabat Arya yang lain.

"Gue emang pergi sama Arya tapi ...." Suara Mentari terdengar pelan dan sedikit bergetar. Ketakutan mulai mengalir ke seluruh pembuluh nadinya. Tolol. Seharusnya ia kedatangannya ke kampus akan jadi bumerang baginya.

Edo menatap geram Mentari. Kobaran kemarahan tampak jelas di mata pria muda itu. "Kalau Arya sampai kenapa-napa, elo tahu siapa yang akan kita seret ke meja hijau."

Mentari membelalak. Kabut bening menyelimuti matanya. Tuduhan Edo meremas-remas hatinya. "Do, gue cinta sama Arya. Gue—"

"Kita bukan orang berduit kayak elo sama bokap lo, tapi kalau sampai Arya nggak balik, elo sama bokap lo yang akan bertanggung jawab," potong Edo mengancam.

Pundak Mentari melorot. Mendung mewarnai wajah dan tatapannya. Ia terlambat menyadari risiko yang akan ia terima saat memutuskan untuk kembali ke kampus. Kabut bening menyelimuti mata dan rasa nyeri kembali menghujam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status