Share

8. Pengalihan Isu

Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.

Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu.

"Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.

Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi, mungkin, tak terkecuali dengannya.

"Arya belum pernah datang ke kampus lagi sejak dia memutuskan pergi sama elo tempo hari." Penjelasan yang tenang dan jauh dari nada menghakimi memberi Mentari sedikit keleluasaan untuk menarik napas lebih dalam. Ia sudah salah menduga.

Mentari akhirnya berani menoleh dan menatap gadis berambut hitam yang diikat membentuk ekor kuda yang kini telah berdiri di sampingnya. Ia lantas memosisikan dirinya berdiri berhadapan dengan gadis itu. "Gue tahu, Sri."

"Jadi, elo tahu Arya—"

"Nggak," potong Mentari seolah ia tahu apa yang akan ditanyakan Sri.

Sri meraih tangan Mentari lalu menarik teman baiknya itu ke samping tangga, tempat yang cukup tenang dan sedikit bebas dari lalu lalang para mahasiswa.

"Arya ke mana?" tanya Sri dengan suara yang sengaja dipelankan.

Mentari menggeleng. Ia tidak punya alasan untuk berbohong kepada Sri, tetapi ia dihantui rasa takut yang besar. Mentari sudah kehilangan Arya dan ia tidak mau kehilangan semua orang yang ia sayangi. Meskipun ayahnya lebih layak disebut monster, namun hanya pria kejam itu yang Mentari punya.

"Kalian putus di tengah jalan? Kenapa?" Sri mengasumsikan sendiri alasan Mentari tidak datang bersama Arya.

"Nggak, Sri."

"Terus kenapa?"

Desakan Sri menimbulkan ketakutan yang lain bagi Mentari. Wanita itu cemas rasa percayanya kepada Sri akan membuka mulutnya sendiri untuk berterus terang.

"Sri, gue harus pergi." Akhirnya Mentari mengambil keputusan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bukan untuk menghindar, hanya untuk menjauh sementara waktu sambil memikirkan jalan keluar. Ia berharap bisa menemukan Arya sebelum pernikahannya dengan Rakhan dipublikasikan ke seantero jagad raya dan persoalan menghilangnya Arya menjadi polemik baru dalam hidupnya.

"Elo mau ke mana? Elo bisa cerita ke gue kalau ada apa-apa, Tari."

"Gue bakal cerita tapi nggak sekarang." Mentari celingukan memeriksa suasana di sekitarnya.

"Tari ...."

Mentari kembali memandang ke arah Sri. Keinginan yang sangat besar untuk bercerita pada Sri justru semakin meremas-remas hatinya. Ia percaya pada Sri, tapi ia tidak tidak memercayai orang-orang di sekitar gadis lugu itu.

"Gue janji akan cerita semuanya, Sri. Gue pergi ya." Mentari berbalik meninggalkan Sri. Ia bahkan tidak mengacuhkan panggilan Sri yang memenuhi koridor kampus.

Menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk hati dan air mata yang terus memaksa untuk mengalir, Mentari mengendarai mobil keluar dari area kampus dan terus melaju tak tentu arah. Sampai akhirnya ia merasakan dadanya hampir meledak, Mentari menghentikan laju mobilnya di bahu jalan. Ia membiarkan semua kesedihan menyerang, menghantam, dan meruntuhkan pertahanannya. Ia meluapkan perasaan nyeri yang menggerogoti hati dan seluruh tubuhnya dengan menangis.

Sebuah ide melintas di kepala Mentari beberapa menit kemudian. Ia tidak akan menemukan Arya kalau ia tidak berusaha mencari Arya lebih jauh. Mentari melajukan kembali mobilnya. Kali ini dengan arah yang pasti. Gerbang Tol Tebet menjadi opsi lintasan pertama ke mana ia harus mencari Arya.

Menyusuri jalan bebas hambatan selama lebih dari tiga puluh menit dan bergelut dengan kepadatan arus lalu lintas di jalan protokol berikutnya, akhirnya Mentari tiba di tempat terakhir kali ia bersama Arya. Perasaan tenang yang ia coba bangun kembali nyatanya tidak bisa mencegah tangan dan seluruh tubuhnya berhenti gemetaran. Trauma itu jelas masih ada dan Mentari tidak akan pernah lupa bagaimana orang-orang kepercayaan ayahnya memperlakukan Arya. Ingatan kejadian siang itu bersama Arya melumpuhkan gerak motoriknya hingga Mentari merasakan lemas yang luar biasa. Ia tidak berdaya di kursi kemudi. Air matanya kembali meleleh dan membasahi wajah. Pelan-pelan, pandangannya semakin buram dan merubah menjadi gelap.

***

"Arya ...." Mentari mengucapkan dengan lirih satu-satunya nama pria yang terpahat di hatinya. Matanya terbuka perlahan-lahan dan mendapati dirinya tidak lagi berada di balik kemudi. Sekuat tenaga Mentari berusaha bangkit untuk duduk dan ketika selimutnya turun ke pangkuan, ia tahu seseorang sudah mengganti baju yang dikenakannya pagi tadi dengan baju tidur berbahan satin dan bermodel chemise. Jenis baju tidur yang sangat tidak ingin ia kenakan. Pemandangan yang ia lihat kemudian membuatnya ingin menjerit. Ia sudah kembali ke kamarnya di rumah keluarga Mahawira. Hati dan harapannya kembali patah.

"Untuk apa kau pergi ke kampung nelayan itu?"

Tanpa menoleh kepada si penanya, Mentari yakin jika Rakhan sudah menunggunya untuk bangun dan diinterogasi. Mentari menunduk dan tidak berniat menjawab pertanyaan pria itu.

"Aku bertanya padamu, Mentari." Rakhan menandaskan dengan nada geram.

Mentari memberanikan diri mengangkat kembali wajahnya. Ia tidak perlu repot-repot mencari keberadaan Rakhan karena pria itu telah berdiri di depan ranjangnya. Kedua tangan Rakhan terkubur dalam saku celana dan matanya menatap tajam Mentari. Pria yang masih mengenakan setelan kantor itu jelas sekali sedang berusaha menekan Mentari agar ia mau bicara.

"Aku tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadamu." Suara Mentari terdengar sedikit serak tapi cukup jelas di telinga Rakhan.

Rakhan mendesah kesal. "Aku tidak percaya ayahku menikahkanku dengan gadis ingusan yang sok pintar."

"Aku pun tidak merasa senang menjadi istrimu."

"Tidak satu pun dari kita yang diuntungkan oleh pernikahan sialan ini."

"Lantas, kenapa kau berlagak peduli padaku? Kau bisa membiarkanku tetap di sana, di kampung nelayan itu."

"Aku tidak peduli padamu," tepis Rakhan. Ia melangkah mendekat ke tempat tidur hingga ujung sepatu hitamnya yang berkilat nyaris menyentuh kaki dipan jati tersebut. "Aku peduli pada harga diriku," lanjutnya.

Mentari mengangkat sebelah ujung bibirnya dan mengeluarkan desis mencemooh. "Pengalihan isu yang bagus."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status