Share

5. Tekanan Sang Mertua

"Mentari, keinginan ayahku hanya satu, keturunan dari Rakhan. Bekerja samalah dengan Rakhan agar kau bisa segera bebas dari belenggu pernikahan ini," saran Mawar.

Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan pria yang menjadi penyebab semua deritaku? Aku tidak akan kehilangan Arya jika perjanjian pernikahan sialan ini tidak dibuat, batin Mentari.

Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai.

Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya pada sosok yang balas menatapnya di cermin besar yang melekat di dinding walk in closet. Ia meyakinkan dirinya sendiri akan tetap bertahan dalam perjanjian terkutuk yang dibuat ayahnya dan ayah Rakhan sampai ia berhasil mewujudkan keinginan keluarga Mahawira. Setelah itu, ia akan pergi sejauh mungkin dan tidak akan pernah mau lagi berurusan dengan mereka. Mentari membulatkan tekad dalam hati.

Mentari menuruni anak tangga pelan-pelan. Gugup dan cemas bersatu padu mengiringi langkahnya. Pagi pertamanya di rumah keluarga Mahawira menyematkan rasa pahit yang harus ditelannya sendiri. Ia merasa sendirian meskipun di sekitarnya ada pria yang berperan sebagai suami, ayah mertua, dan seorang wanita cantik yang menjadi adik iparnya. Suasana dan pemandangan asing menyelimuti diri sekaligus mengiris hati.

Seorang wanita berbaju hitam-putih khas pelayan menyambut Mentari penuh hormat ketika wanita itu menginjakkan kaki ke karpet nilon merah bermotif bunga yang melapisi lantai. "Tuan sudah menunggu Anda di ruang makan, Nyonya Muda."

"Tuan?" Mentari menyatukan alisnya yang terukir bagai bulan sabit terbalik.

"Tuan Handoko dan Tuan Rakhan," jelas si pelayan menjawab kebingungan Mentari.

Mentari mengangguk lalu menghela napas untuk mengumpulkan keberanian. "Baik. Terima kasih."

Wanita muda itu berjalan dengan anggun menuju ruang makan. Seluruh anggota keluarga Mahawira sudah duduk mengelilingi meja kayu cokelat berbentuk oval. Penerapan etika dan kesopanan tampak kental di ruang makan tersebut. Mentari biasa sarapan sendiri dan hanya sesekali ditemani ayahnya di saat pria itu benar-benar punya waktu luang. Miris bagi Mentari melihat penampakan keluarga yang nyaris sempurna seperti keluarga Mahawira.

"Selamat pagi." Mentari menyampaikan ucapan selamat pagi sesopan yang ia bisa.

"Selamat pagi, Mentari." Bibir Handoko hampir tak terlihat dan hanya kumis tebalnya saja yang bergerak-gerak saat ia menyambut Mentari. Ayah mertuanya itu kemudian mempersilakan Mentari duduk di samping kursi Rakhan.

Mentari tertegun sesaat ketika tidak ada sambutan apa pun dari sang suami. Ia masih berdiri beberapa meter dari meja makan dan tampak gugup. Dengan alasan kesopanan dan yang terpenting adalah tidak mau mencari keributan dengan sang ayah, Rakhan bangkit lalu menarik kursi di samping kursinya. Manik cokelatnya menangkap pesimisme di mata Mentari.

"Silakan duduk." Nada bicara Rakhan terdengar seperti memerintah.

Mentari duduk dengan gugup. "Terima kasih."

"Hm." Hanya dehaman pelan yang terdengar sebagai bentuk respons dari Rakhan.

Mentari melirik Rakhan yang dibalas tatapan sinis oleh pria itu. Menyebalkan.

"Selamat pagi, Mentari," ucap Mawar yang duduk tepat di seberang Mentari, di samping ayahnya, sesaat setelah Mentari duduk.

"Selamat pagi, Mawar." Mentari tersenyum tulus pada Mawar meskipun hatinya sedang jengkel dengan perlakuan tak mengenakkan Rakhan.

"Hari ini aku akan pulang ke Surabaya. Suami dan anakku tidak bisa kutinggalkan lebih lama. Ayah juga akan ikut bersamaku. Sudah satu bulan Ayah belum bertemu cucunya di sana," papar Mawar sambil merapikan kerah blus hijau daun yang dikenakannya. Wanita itu kemudian meneguk cappucino dari cangkir keramik sebelum menyuapkan sepotong roti lapis ke mulutnya.

"Aku akan memberi keleluasaan pada kalian di sini agar bisa cepat menghadirkan cucu untukku," tambah Handoko.

Ucapan Handoko membuat tenggorokan Rakhan tiba-tiba gatal oleh kesal. Pria itu berdeham melepas umpatan untuk ayahnya yang tidak bisa ia ucapkan. Ia lalu mengendurkan dasi hitam bergaris putih yang melingkari leher kemeja biru yang dikenakannya. Ia perlu lebih banyak oksigen untuk bisa bernapas di ruangan yang penuh tekanan itu. Seandainya norma tidak lagi berlaku, ia ingin sekali meneriakkan protes sekencang yang ia bisa ke telinga pria tua yang sudah memaksanya menikah dengan wanita seperti Mentari.

Sama halnya dengan Rakhan, Mentari pun merasa terombang-ambing oleh keadaan. Ia mencemooh dirinya sendiri lantaran terlalu takut untuk mati dan justru menerima pernikahan yang pelan tapi pasti sedang menyiksanya.

"Kami akan kembali minggu depan sebelum acara resepsi pernikahan kalian digelar," cetus Mawar beberapa saat kemudian.

"Apa?!" Rakhan hampir melempar cangkir kopi yang dipegangnya jika tak segera menyadari bahwa sang penguasa Mahawira sedang menatap tajam ke arahnya. "Ayolah, Ayah! Kenapa harus ada resepsi segala? Tidak cukupkah aku menikah dengan gadis—"

"Cukup bicaramu, Rakhan!" potong Handoko dengan nada geram. "Kau putra pertamaku. Apa kata dunia jika putra pertamaku menikah tanpa perayaan? Apa kata ibumu di surga sana saat melihat anak laki-laki kebanggaannya menikah tanpa diketahui orang banyak, dan hanya mengenakan setelan jas kerja? Seandainya ibumu masih ada, ia pasti akan memarahiku habis-habisan." Handoko menggelengkan kepala dan tampak putus asa.

Syukurlah Ibu tidak harus melihat pernikahan bodoh ini. Rakhan bersyukur dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status