“Mau kemana?” tanya Verro ketika melihat mantan kekasih Kakak sepupunya lari terbirit-birit ke luar dari kelas.
“Ada perlu sebentar,” Bee menjawab sambil menjauh.Verro berlari mengejar Bee hingga depan kampus.“Gue anter Bee, mang lo mau kemana sih?” tanya Verro dengan nafas tersengal.Lelaki itu membungkuk, telapak tangannya tersimpan di kedua lutut.Menghirup udara untuk memberi pasokan oksigen pada paru-paru setelah jauh berlari mengejar Bee.“Banyakin olah raga Ver,” celetuk Bee kemudian tertawa pelan menertawakan Verro yang kelelahan mengejarnya.Bee memberhentikan angkutan umum kemudian menaikinya.“Verro, ngapain ikut?”Bee mendorong tubuh Verro agar turun dari angkutan umum namun tenaga Verro cukup kuat sehingga tubuhnya bisa masuk sempurna ke dalam mobil tersebut.“Abis lo enggak jawab mau kemana, enggak mau dianter juga!” kesal Verro sambil mengelap keningnya dengan punggung tangan.Lelaki itu juga mengelap kacamatanya yang berembun dengan ujung kaos.“Ya ngapain juga kamu nganter aku?”“Emang gue enggak boleh nganterin temen gue?”“Sejak kapan kita berteman Ver? Kamu itu adik sepupu mantan aku yang enggak sengaja ternyata satu kampus dan sekarang satu kelas.”“Ya itu, kita teman sekelas,” balas Verro sambil menggerakkan telunjuknya bergantian ke arah Bee dan dirinya.Bee tertawa pelan, memang betul apa yang diucapkan Verro tapi bila dipikir-pikir, Verro intens bersosialisasi dengannya setelah hidupnya jatuh miskin sementara sahabat-sahabat perempuannya telah menjauh.“Lo mau kemana sih?” tanya Verro lagi penasaran.“Mau ketemu Ayah sama Bunda, mau minta ijin.”Verro menaikan kedua alis, bibirnya bungkam berhenti bertanya, tidak ingin salah bicara.Beberapa menit kemudian mereka sampai di tempat pemakaman umum.Tempat yang sama ketika beberapa hari lalu Verro menemani Bee mengantarkan jenazah Johan ke tempat peristirahatan terakhirnya.Dengan kekuatan uang, Beni bisa membuat Johan di makamkan di samping istrinya yang sudah lebih dulu meninggalkan mereka.Bee membeli bunga untuk ditabur di atas makam kedua orang tuanya, tidak lupa ia juga membeli air.Verro masih setia menemani Bee tanpa suara, melangkah beriringan di jalan setapak yang cukup untuk dua orang.“Ver, ada yang mau aku omongin sama Ayah dan Bunda ... tapi aku enggak mau kamu denger,” ucap Bee setelah langkahnya berhenti di dekat makam Johan dan Miranda.“Oke, gue pake earphone ... denger lagu, jadi gue enggak akan denger apapun yang lo omongin sama kedua orang tua lo,” kata Verro sambil mengeraskan volume lagu pada earphone bluetooth yang baru saja ia asongkan pada Bee.Setelah mendapat anggukan tanda persetujuan dari Bee, Verro menempelkan kembali earphonenya ke telinga.Setelah memastikan Verro tidak akan mendengar apa yang akan ia katakan, Bee melangkah lebih mendekat dan berjongkok di antara kedua pusara orang tuanya.Verro mengawasi wajah Bee yang nampak sendu.Gadis itu menaburkan banyak bunga di atas makam dengan nisan bertuliskan nama Johan dan Miranda lalu menyiramkan air sambil berusaha mencetuskan sebuah tersenyum meskipun terdapat genangan di pelupuk matanya.“Ayah ... Bunda, besok Bee mau nikah sama anaknya Om Beni ... .”Bee mulai berbicara sendiri yang ia tujukan kepada kedua orang tuanya yang telah tiada.Diam-diam Verro mengecilkan volume lagu pada earphonenya agar bisa mendengar ucapan Bee.Sengaja ia berdiri di belakang Bee agar gadis itu tidak melihat ekspresi wajahnya yang kini membulatkan mata sempurna setelah mendengar bila mantan kekasih Kakak sepupunya akan menikah esok hari.“Bee enggak tau Akbi suka atau enggak sama Bee ... dan kalau Bee ditanya suka atau enggak sama Akbi, Bee jawab enggak karena Bee baru ketemu Akbi sekali ... Tapi Bee ikutin wasiat terakhir Ayah yang menyebutkan kalau Bee harus nurut sama Om Beni, jadi Bee akan menikah dengan Akbi sesuai permintaan beliau. Bee akan berusaha bahagia ... demi Ayah dan Bunda, doain Bee ya Yah ... Bun, doain Bee kuat karena jujur Bee enggak sanggup, kadang Bee bingung harus gimana dan kemana ... .”Bee terisak begitu memilukan, Verro nyaris menariknya untuk memberikan pelukan agar gadis itu tenang.Tapi ia sudah berjanji tidak menguping apa yang Bee ucapkan, akan ketauan bila ia sedang berbohong kalau tiba-tiba saja memeluk Bee sekarang.Bee tentu saja tidak mengungkapkan bila pernikahannya hanya satu tahun demi untuk mengikuti keinginan Beni yang telah banyak membantunya.Meski orang tuanya telah tiada, Bee tetap saja masih menganggap seolah mereka ada dan bisa menyembunyikan perasaan juga kebenaran dari hidup yang akan dijalaninya ke depan.Mengingat itu air mata Bee mengalir semakin deras, ia berharap bila Tuhan memberikan semua cobaan ini maka Tuhan pun akan memberikan kekuatan untuk menjalaninya.Bee menyeka air mata di pipi, kemudian meraba nisan kedua orang tuanya.“Ayah ... Bunda, Bee minta maaf kalau belum bisa membahagiakan Ayah dan Bunda, tapi Bee akan berusaha selalu bahagia demi Ayah dan Bunda, Bee pulang dulu ya ... minggu depan Bee kesini lagi.”Setelah berucap demikian Bee berdiri, menepuk-nepuk kedua tangan yang terdapat tanah makam kedua orang tuanya.Verro menundukan kepala berpura-pura tidak memperhatikan sebelum Bee menoleh kepadanya.“Ver ... ayo kita pulang,” ajak Bee sambil menarik lengan kaos Verro.“Udah curhatnya?” tanya Verro sambil mensejajarkan langkahnya dengan Bee.Bee mengangguk kemudian balas bertanya, “Kamu enggak denger ‘kan, Ver?”“Enggak Bee, aku enggak denger apa yang kamu omongin sama kedua orang tua kamu ... tapi kalau kamu mau curhat sama aku juga boleh, siapa tau aku bisa nyautin ... jangan sekali-sekali kamu datang kesini sendiri buat curhat, kalau nanti ada yang nyautin ‘kan repot.”Bee tertawa hingga tergelak setelah mendengar kelakar Verro.Setelah sampai di depan jalan, lelaki itu memberhentikan taxi untuk membawa mereka kembali ke kampus.****Beni menatap halaman belakang rumahnya yang luas, rumah peninggalan kedua orang tuanya yang kini menetap di Sydney.Dulu ia sering bermain di sana dengan Yuda dan Marina-mendiang adiknya yang meninggal karena penyakit jantung bawaan ketika masih duduk di bangku SD.Setelah lulus kuliah, Beni sengaja pergi ke Sydney dan tinggal bersama Kakek dan Neneknya untuk membantu perusahaan milik keluarga mereka di sana.Beni pergi membawa rasa sakit di hati karena perjuangannya mendapatkan Miranda selama bertahun-tahun ternyata kalah oleh Johan.Miranda adalah gadis sederhana yang tidak memandang harta.Ia memilih Johan yang lahir dari kalangan biasa dibanding dengan Beni yang sudah kaya dari jaman nenek moyangnya.Beni berusaha keras melupakan Miranda dan ketika dinikahkan dengan Diana, ia menerima dengan hati lapang sebagai salah satu bentuk usahanya untuk melupakan Miranda.Sesekali Beni dan Diana pulang ke Indonesia untuk berkumpul dengan keluarganya.Meskipun ingin, tapi Beni berusaha untuk tidak mencari tau tentang kehidupan Johan dan Miranda.Ia memilih untuk menjalani hidup dengan tenang bersama anak istrinya.Tidak bisa Beni pungkiri hingga detik ini, ia belum bisa benar-benar mengenyahkan Miranda dalam hati dan benaknya.FLASHBACK ON“Kenapa cemberut?” Beni bertanya kemudian mendudukan bokongnya di kursi kosong yang berada di depan Miranda.“Sebentar lagi ada ujian Akuntansi Keuangan dan saya belum mengerti,” jawab Miranda kemudian menenggelamkan kepala di antara kedua tangan yang ia tumpuk di atas meja.“Bagian mana yang kamu belum mengerti, mari saya ajarkan,” kata Beni yang tentu saja membuat Miranda mengangkat kepalanya penuh semangat.Miranda memberikan buku cetak yang sangat tebal kemudian menunjuk salah satu bagiannya.Dengan sabar Beni mengajarkan Miranda di tengah-tengah jadwal kosong menunggu kelas berikutnya.“Hebaaat, sekarang sudah bisa ‘kan?” Beni memberi pujian ketika Miranda berhasil mengerjakan satu soal dengan benar.“Tapi masih banyak soal lain yang sulit, sepertinya saya harus memberi nama anak saya Akkeu,” kata Miranda dengan ekspresi memberengut.Beni tergelak. “Kalau begitu anak laki-laki saya akan saya beri nama Akbi,” lanjutnya kemudian.“Oh ya, kamu mengulang mata kuliah Akuntansi Biaya ‘kan?”Beni mengangguk membenarkan.“Kalau gitu nanti kita jodohin anak kita,” sambung Miranda membuat hati Beni mencelos.Beni pikir kenapa tidak anaknya dari Miranda yang diberi nama itu.“Coba nanti kamu tanya Johan, dia hebat dalam akuntansi biaya,” tambah Miranda dan Beni langsung mengangguk tidak berniat memperpanjang.Johan memang sahabatnya, tapi ia tidak ingin ada nama lelaki itu bila sedang berdua dengan Miranda.FLASHBACK OFF“Saya akan mewujudkan keinginanmu, Mir ... dengan menjodohkan anak-anak kita, saya yakin Bee bisa membuat Akbi jatuh cinta seperti kamu yang mampu membuat saya jatuh cinta hingga sulit melupakanmu ... semoga dengan Akbi menikahi Bee, saya bisa melupakan cinta yang menyesakkan ini,” gumam Beni berharap Miranda mendengarnya dari surga.Mungkin bila Diana bisa menjadi istri yang baik dan lemah lembut, wanita cantik itu bisa menggantikan posisi Miranda di hati Beni.Tapi Diana terlalu egois, dia selalu menyalahkan Beni atas ketidak harmonisan rumah tangganya karena menganggap Beni masih belum melupakan Miranda.Ia berpikir bila dirinyalah yang menjadi korban dalam hal ini, menikah dengan pria yang tidak pernah mencintainya.Padahal Beni sudah berusaha untuk mencintai Diana sepenuh hati tapi semakin Beni mengejar, Diana seolah semakin menjauh.Diana lebih suka mencari kebahagiaan di luar bersama para sahabatnya.Dari balik tirai, Diana cukup lama memperhatikan Beni.Akhir-akhir ini suaminya banyak melamun dan menyendiri.Ia mendengus sebal, suaminya mungkin sedang memikirkan Miranda karena sebentar lagi Akbi akan menikah dengan anak dari wanita itu.Diana berjanji akan membuat Bee menderita untuk membalaskan penderitaannya selama ini karena ibu dari gadis itu.“Bee!!” Suara bariton seorang pria yang begitu familiar ditelinganya membuat Bee menghentikan langkah.Aldo, lelaki itu melambaikan tangan dengan ekspresi datar seperti biasa bahkan nyaris garang karena tidak pernah ada senyum di bibirnya.Bee memutar tubuh, melangkah santai tidak terburu-buru menghampiri Aldo.Pria itu datang ke kampusnya seperti ini pasti ada yang perlu disampaikan mengingat pernikahannya dengan Akbi hanya tinggal hitungan jam.“Ada apa Kak Aldo kesini?” Bee bertanya setelah sampai tepat di depan Aldo.“Lelet! Ayo masuk ke dalam mobil!” gerutu Aldo mencela namun tangannya menarik handle pintu mobil hingga pintu itu terbuka untuk Bee.“Mau kemana?” Bee bertanya kembali tanpa menyerah meskipun Aldo jarang menjawabnya.“Beli cincin kawin,” balas Aldo lalu menutup pintu mobil setelah Bee berada di dalam.Pria itu memutar setengah bagian mobil kemudian duduk di kursi penumpang di samping driver.Bee tidak bersuara selama perjalanan, ia termenung menatap jendela di sampi
“Bi, lepas ... kamu nyakitin aku!” protes Bee dengan nada rendah setelah menaiki lift yang membawa mereka menuju basement.Tatapan mata tajam Akbi langsung menghujam Bee yang juga kesal karena lelaki itu berbuat kasar.Sesaat mereka saling melempar tatapan tajam kemudian Akbi melepaskan cengkramannya di tangan Bee.Bee mengusap pergelangan tangannya yang sudah memerah kemudian meniupnya berharap bila nyeri dan warna merah itu akan pudar.“Lebay!” gumam Akbi yang masih terdengar oleh Bee.“Ini merah Bi, trus sakit ... kamu terlalu kencang narik tangan akunya,” balas Bee dengan suara rendah dan lebih tenang.Akbi tidak sudi menjawab, bibirnya bungkam hingga keduanya berada di dalam mobil.“Bi, aku lapar ... bisa kita makan dulu?” Akbi berdecak sebal kemudian menatap Bee sekilas sambil menautkan alis.“Gue mau ketemu Anggit, dia udah nungguin gue ... lo pesen makan aja dari rumah,” balas Akbi ketus.“Oh ... ya udah.” Setelah mendengar kalimat itu, Akbi menginjak pedal gasnya kencang me
“Ngapain lo di sini? Sama cewe cantik lagi ... tumben lo selingkuh dari si artis itu,” adalah Raka, sahabat Akbi yang paling senang berseloroh.Akbi malas menjawab, ia menenggak air di gelas hingga tandas.“Mana motor gue, balapan di mana sekarang?” tanya Akbi.“Nih kuncinya, tapi sekarang lo harus hati-hati ... si David ikut juga, dia saingan berat lo!” kata Zidan yang baru saja memasuki tenda.Akbi berdecih, meremehkan kemampuan lawannya yang menurut Akbi masih jauh di bawah dirinya.“Kamu temennya Akbi? Namanya siapa?” Raka bertanya dengan suara pelan sambil mengulurkan tangan.“Jauhin tangan lo dari dia,” sentak Akbi tegas membuat Raka menarik kembali tangannya tapi Bee malah menyambarnya.“Aurystela Akkeu Quinbee ... panggil aja Bee,” ucap Bee sambil menjabat tangan Raka.Akbi menatap Bee tajam hingga terdapat kerutan di antara alisnya, baru saja dalam hati ia memuji sikap Bee yang melayaninya dengan baik kini gadis itu malah menyambut tangan lelaki lain dengan ramah.Lalu kenapa
FLASH BACK ON “Siapa si Bee itu?” Zidan bertanya kepada Akbi sementara Raka sibuk mengecek motor yang akan dipakai balapan oleh sahabatnya.Tatapan Akbi menerawang ke depan seperti sedang mengamati track tempatnya balapan tapi Zidan yang sudah cukup lama mengenal Akbi, mengetahui bila tatapan itu kosong.Akbi mengembuskan nafas kasar kemudian menjawab, “Anak dari sahabat bokap gue semasa kuliah dan besok gue mau dinikahin sama dia.” “Waw ... selamat, bro! Lo beruntung!” Zidan berseru bahagia sampai bertepuk tangan lalu mengulurkan tangan untuk Akbi jabat namun Akbi hanya melihat tangan Zidan yang menggantung dengan tatapan tajam sesaat kemudian mengalihkan tatapannya kembali ke arah jalan.“Kenapa? Kalau lo enggak suka buat gue aja!” cetus Zidan dengan ekspresi serius.“Gue mau ko gantiin lo nikahin dia, besok ‘kan?” tambah Zidan lagi namun aura kelam yang membayangi wajah Akbi malah semakin pekat.“Apaan, tadi gue mau salaman cuma ngajak kenalan aja malah dibentak sama dia!” gerutu
“Kenapa lo enggak nolak?” Akbi bertanya dengan suara tertahan dan ekspresi geram setelah Beni pergi.Tanpa perasaan, ia juga mencengkram lengan atas Bee hingga gadis itu mengaduh.“Sakit Bi, tolong lepasin dulu!” Bee memohon dengan suara rendah.“Aku enggak tega nolak permintaan Papa,” jawab Bee jujur.“Lo pikir gue mau pergi bulan madu sama lo apa?” bentaknya dengan ekspresi geram.“Kamu enggak usah pergi, biar aku sendiri yang pergi ... atau kamu mau pergi sama Anggit? Biar aku yang enggak pergi ... yang penting Papa taunya kita pergi,” balas Bee memberi penawaran sambil menatap netra pekat Akbi yang sedang menatapnya tajam.“Kamu akan menyesal bila nanti sudah kehilangan Papa dan teringat pernah enggak ngikutin keinginannya ... setelah Papa meninggal, jutaan rupiah bunga untuk di tabur di atas makam beliau tidak akan berarti apa-apa,” sambung Bee lagi dengan genangan di pelupuk mata.Kehilangan kedua orang tua membuatnya selalu mengalah terhadap setiap keinginan Beni yang sekarang
Cukup lama Aldo dan Akbi menunggu, karena Akbi hanya mencoba tuxedo yang ada dan dengan sedikit editan pada bagian celana, tuxedo itu nampak sempurna membalut tubuh Akbi.Lain halnya dengan Bee yang harus dirias juga.“Aku ‘kan udah bilang enggak perlu pesta, kenapa Om Beni masih buat pesta juga? Akbi pasti kesel banget nih,” gerutu Bee dalam hati ketika penata rias sedang membuat maha karya di wajahnya.“Pengantin kok cemberut, sih? Nanti pernikahan kalian sial loh, pengantin itu harus tersenyum ...,” kata pria bertubuh kekar dengan gaya yang lebih mirip perempuan.“Senyum kaya gini?” Setelah bertanya demikian, Bee tersenyum lebar menatap kaca yang terdapat banyak lampu disekelilingnya dan benar saja wajahnya lebih cantik bila tersenyum padahal riasan baru diaplikasikan setengah jadi. “Tuh ‘kan, baru setengah jadi aja udah cantik banget,” kata penata rias, memuji.“Semangat!!” sambungnya kemudian.Tidak ingin membuat sang penata rias kecewa, Bee berusaha tersenyum menatap kaca di
“Bang.” Tepukan di pundak membuat Akbi yang baru saja mengambil minum pun menoleh.Pesta tersebut dibuat senyaman mungkin, tamu undangan yang tidak begitu banyak membuat mempelai pengantin dan para tamu bisa bercengkrama sambil menikmati hidangan.Setelah sesi salam-salaman memberi selamat selesai, Akbi pergi mengambil minum untuk menghampiri Anggit yang sedari tadi sudah memberengut kesal.Susah payah Akbi memberi pengertian kepada sang Mama dan Anggit, bila dirinya harus melakukan sandiwara ini di depan Beni sampai akhirnya bisa berganti mobil bersama Bee.Tenggorokannya begitu serat tapi belum juga air itu melegakan tenggorokannya, seorang pria mengambil alih perhatian Akbi.“Masih inget gue, Bang?” tanya Verro sambil membetulkan kacamatanya.Kening Akbi mengernyit mengingat kapan ia bertemu dengan wajah familiar di depannya.“Gue yang di kampus beberapa hari lalu,” sambung Verro lagi membuat ekspresi wajah Akbi berubah.“Ahh ya, lo yang waktu itu kasih tau Bee di mana, ‘kan?” Akb
“Enggak bisa, Git! Harusnya kamu tolak job mendadak itu, aku enggak mungkin enggak pergi!” seru Akbi pada sang kekasih pada sambungan telepon.“Apa uang yang aku kasih belum cukup, yank? Ikut sama aku, kita liburan selama tiga hari ... kita belum pernah liburan di kapal pesiar, kan? Kamu bisa pamer tuh di instagram kamu,” tambah Akbi lagi dengan nada kesal karena di detik-detik terakhir keberangkatan, sang kekasih malah membatalkan janjinya.Bila hanya membatalkan janji saja mungkin tidak masalah bagi Akbi tapi kekasihnya juga melarang keras Akbi pergi bersama Bee.Sudah Akbi jelaskan bila saat ini mustahil baginya untuk menentang Beni tapi tidak ada satu pun yang mengerti baik itu sang Mama ataupun Anggit.Hanya menolak job saja apa sulitnya?Sementara kartu kredit milik Akbi telah berpindah kepemilikan ke tangan Anggit.Semestinya Anggit bisa menghargai keinginan Akbi namun sayang ketamakan mengalahkan cintanya pada Akbi.Demi popularitas semata, Anggit memilih tidak pergi dan mala