Tara mengembuskan napas lelah. Akhirnya acara penutupan yang berisikan serangkaian kalimat terimakasih telah usai. Cell yang sedari tadi duduk di sampingnya sudah menguap, ingin kembali ke kamarnya. Namun mereka belum bisa benar-benar pergi sebelum berfoto bersama. Seperti manusia tanpa nyawa, keduanya berjalan lemas ke depan podium seperti yang lain.
"Akhirnya selesai," gumam Cell yang diangguki oleh Tara.Keduanya keluar dari ballroom paling belakang, mengingat yang lain sedang keluar dengan heboh, sebab diberi waktu luang berjalan-jalan sampai malam ini saja. Tara memandang gerombolan tersebut dengan malas. Seharusnya dia ikut, tetapi suasana hatinya sedang tidak baik."Tar, ternyata mukamu juga nggak kalah kusut dariku." Cetus Cell. "Gimana perkembangan hubunganmu sama laki-laki yang namanya Yohan itu?"Tara termenung selama beberapa saat. "Udah berakhir, Cell. Ternyata, dia terobsesi sama sahabatku, tapi saking bodohnya malah memilih buat mengakhiri dirinya gara-gara tau sahabatku hamil dan nggak mau melihat kebahagiaan yang ada saat anak itu tumbuh."Cell terperangah. "Bisa kayak gitu? Astaga, kenapa percintaanmu sejak cerai nggak ada yang bener sih, Tar? Aku turut prihatin.""Turut prihatin, tapi kenapa kamu malah meringis kayak gitu?" Tara mendecih. "Udahlah, lagian aku juga nggak terlalu nyambung sama dia, ya kayaknya memang disengaja sih. Dia nggak mau membuka diri sama aku, dan kupikir; oh, bukan laki-laki yang cocok buatku.""Terus, laki-laki yang cocok buatmu kayak gimana?""Kayak Mingyu Seventeen.""Aduh! Jangan menghalu deh, Tara! Udah diawali sambutan dari pimpinan tadi, jangan kamu juga menambah kepusinganku!"Tara terkikik geli, sementara keduanya melangkah keluar ballroom."Hush! Suit! Suit!"Baik Tara maupun Cell terperanjat. Suara itu berasal dari sisi barat ballroom yang menuju ke lorong lain. Betapa terkejutnya Tara saat mendapati pemuda yang sangat dihindari malah memberhentikan dirinya, di antara banyak orang pula. Tara membulatkan mata, mengedar pandang untuk memastikan jika tak ada yang melihat keberadaan Noah saat ini.Noah melayangkan tatapan tajam. Ditilik dari ekspresi yang memayungi wajah pemuda tampan itu, sepertinya Noah baru saja mengalami sesuatu yang menyulut kekesalan. Tara menelan ludahnya susah payah. Seharusnya dia tidak perlu takut kan? Tapi kenapa seolah dia ingin melarikan diri dari jangkauan pemuda itu sekarang juga?"Mbak Tara? Bisa minta waktunya sebentar?"Tara memejamkan mata sejenak. Gawat! Noah sudah mengetahui namanya, dan itu bukan pertanda bagus. Dia tak ingin berurusan dengan Noah. Semoga saja pemuda itu hanya akan berbicara sekilas dan meminta maaf mengenai insiden salah kamar yang terjadi pagi tadi.Cell menatap keduanya dengan dahi berkerut. Tak bisa ditampik, dia cukup penasaran. Serta dari yang Cell ketahui, selama ini pekerjaan Tara tak pernah bersinggungan dengan aktor maupun aktris dari Hacer."Eh, mau ke mana, Tara?" cegah Cell, yang sebenarnya ingin sekali diajak."Duh! Nanti aku jelaskan deh, Cell. Tapi mohon maaf, untuk sekarang aku harus ngomong sama bocil ini dulu." Gumam Tara setengah berbisik, tapi Noah mendengarnya."Saya bukan bocil, Mbak Tara!""Terserahlah! Ayo cepetan! Mau minta waktu saya buat apa? Buat bicara masalah tadi pagi?" Tara menarik lengan Noah hingga ke sudut lain lorong yang menuju lift. Tetapi setelah berhenti, justru giliran Noah yang menarik tangannya. "Eh? Kenapa tarik tangan saya segala? Mau ke mana ini?"Noah menekan tombol 7, lantas menoleh dengan emosi yang masih menguasai. "Ke kamarnya Mbak Tara.""Ha? Buat apa?""Lebih baik dibicarakan di sana! Soalnya, ada Pak Heru di lantai tempat kamar saya berada."Tara mengatupkan bibirnya. Entah apa yang akan dibicarakan oleh Noah. Demi kenyamanan bersama, untuk saat ini dia hanya bisa menurut. Begitu tiba di lantai 7, sesegera saja wanita itu membuka kamarnya. Keduanya masuk, dengan Noah yang sempat memastikan keadaan sekitar."Jadi, ada apa? Bukannya malah gawat ya kalau ke sini? Foto yang kesebar tadi pagi aja kan latarnya di sini." Sahut Tara, tidak mau berlama-lama bersama dengan Noah.Noah menutup pintu rapat-rapat. Sesaat, pemuda itu tertunduk. Tara menanti dalam diam, mengerjapkan matanya berulangkali saat menyadari Noah tak bergerak sedikit pun."Ini a—WEHHH MAU NGAPAIN?!!"Tiba-tiba saja, Noah merangsek maju. Mendekatkan wajahnya dengan wajah Tara. Lantaran tak ingin terlalu dekat, Tara terus mundur sehingga punggungnya bertemu dengan dinding. Tara membulatkan mata tak percaya. Mau apa aktor muda yang banyak gaya ini?"Tanggung jawab!"Rahang Noah mengeras. Tara tak memahaminya, wanita itu mengernyit meskipun masih dalam posisi yang terlampau dekat. Jika ada sesuatu yang menyenggolnya, bisa dipastikan Tara akan jatuh ke pelukan Noah—duh! Jangan sampai!"Tanggung jawab apa? Dalam hal apa?" bingung wanita itu.Noah mengepalkan tangannya. Meninju udara di sekelilingnya sementara Tara masih tak mengerti maksud dari seruan Noah tadi. Baru saja hendak bertanya lagi, Noah menarik Tara. Menjatuhkan tubuh wanita itu di atas ranjang hotel."Eh? Ini ada apa sih? Kamu mau apa, Noah?!"Noah bersedekap, menatap nyalang. "Lakukan!""Lakukan apa?! Saya bukan peramal, Noah! Saya mana tau apa kemauan kamu kalau nggak bilang apa-apa ke saya?" teriak Tara frustasi.Mendengus kesal, Noah melepas ritsleting celana jeans-nya. Tara membelalak. "Lho! Kamu mau apa?!""Berdirikan!""Apanya? Kamu sudah berdiri gitu kok!"Noah menggelengkan kepala. "Bukan saya, tapi masa depan saya yang sudah kamu hancurkan pagi ini."Butuh beberapa detik bagi Tara untuk mencerna perkataan Noah. Namun tidak kurang dari dua menit, Tara menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan sepasang mata bulatnya tertuju pada pusat tubuh Noah."Eh?" Tara cepat-cepat membuang muka. Jadi, yang diperintahkan Noah untuk diberdirikan itu bukan Noah, tapi 'aset' berharga pemuda itu?"Kenapa kamu malah nyuruh saya? Saya bukan wanita panggilan ya, Noah! Kalau kamu mau minta 'diberdirikan', sebagai pertanggungjawaban, saya akan memanggilkan wanita panggilan. Saya akan cari yang sesuai selera kamu." Gumam Tara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya."Kamu pikir saya ke sini karena saya belum mencobanya?" celetukan Noah mengundang simpati yang tak dapat Tara jabarkan. Melihat iba yang menghinggapi wajah Tara, Noah malah bertambah kesal. "Pokoknya kamu harus tanggungjawab! Kamu yang mengakibatkan 'tongkat' saya jadi seperti ini. Kamu harus membuatnya berdiri seperti sedia kala!""Astaga! Kan saya sudah bilang, saya bakalan mencarikan wanita panggilan untuk melakukan tugas yang satu itu, Noah! Saya mana bisa!""Bisa!""Lho! Kok maksa?!"Noah memajukan tubuhnya secepat kilat, dan tau-tau saja sudah berada di atas Tara. Tara berusaha memberontak. Tetapi biarpun dia lebih tua dari Noah, tenaganya tidak sama besar."Kamu bisa!""Saya nggak bisa!" Elak Tara.Noah menampilkan seringai menyebalkan yang sangat dibenci oleh Tara hanya dengan melihat akting pemuda itu di televisi. Ternyata jika dilihat secara langsung begini, wajah Noah makin menyebalkan."Noah! Jangan bertindak bo—"Tara membeku. Dia merasakan sesuatu sedang menusuk pusat tubuhnya di bawah sana. Ketika dilihat, wanita itu refleks menjerit."AAAA!!! ITU KENAPA BERDIRI DI SINI???!!!"•••••"Mau apa kamu? Mau ditendang lagi anunya?"Bukannya mundur, Noah makin menundukkan kepalanya mendekati wajah Tara. Ancaman wanita itu tak mempan sama sekali. Justru Noah bersemangat lantaran keperkasaannya telah berfungsi sebagaimana semestinya. "Mau tendang?" Noah menahan kedua kaki Reina di antara kakinya. Wanita itu tersentak, tak bisa bergerak sama sekali. "Kamu nggak bisa melakukan apa-apa, Tara.""Heh! Saya lebih tua dari kamu ya?! Yang sopan! Turun sana! Turun! Atau saya teriak nih!" Tara sudah bersiap untuk membuka mulutnya lebar-lebar, berteriak sekuat mungkin. Akan tetapi, pemuda tengil yang sedang menggagahinya itu langsung membungkam Tara dengan sebuah ciuman. Tara membulatkan matanya. Dipukulnya dada pemuda itu, lalu entah mendapatkan kekuatan dari mana, lututnya berhasil mengenai pusat tubuh Noah yang masih berdiri. "Aduh! Sial!"Sesegara saja wanita itu berdiri, menjauhi Noah yang terjungkal dari ranjang. Deru napas Tara seakan berpacu dengan detik jarum jam yang mem
"Apa-apaan?!"Seolah tak kasat mata, Radu dan Tara tak menggubris keberadaan Noah sama sekali. Justru keduanya sibuk bercakap-cakap, mengabaikan Noah yang berdiri terkejut di tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih untuk yang ketiga kali pada Radu, Tara melirik Noah. Tatapan wanita itu jelas merupakan sebuah tatapan permusuhan. Noah bergeming. Kenapa jadi dirinya yang takut ditatap seperti itu oleh Tara? Tak lama setelahnya, pintu kamar Tara tertutup. Kini menyisakan Radu yang senyam-senyum sendiri sambil menggaruk kepalanya, dan Noah yang melayangkan sebuah tanda tanya."Bang? Kamu kenal sama dia? Si Tara?" tanya Noah menyelidik.Radu menoleh sekilas, mengendikkan bahu sekadarnya seakan menjawab Noah tidak memberinya keuntungan apa pun. Mungkin pemuda itu adalah aktor yang berada dalam pegangannya, namun Radu tak memiliki kewajiban untuk melapor terkait siapa saja yang dikenalinya. "Bang? Gimana bisa kamu kenal sama Tara? Omong-omong, aku mau tanya sesuatu soal wanita itu, Aban
"Eh?"Noah terpaku. Aset berharganya benar-benar berfungsi hanya terhadap Tara saja. Entah dia harus bersyukur atau tidak, namun pemuda itu mulai menyadari sesuatu. Dipandanginya Tara yang mematung, membeliak di bawah kungkungannya. Selama beberapa detik, Noah memandangi sepasang iris kelam Tara yang berhasil menerjunkannya pada palung terdalam. Apa ini? Noah bertanya pada dirinya sendiri, sementara dia masih betah mengamati wajah cantik Tara yang baru disadari.Dalam kesempatan tersebut, Tara langsung membenturkan kepalanya ke kepala Noah. Noah berteriak kesakitan, merasakan adanya bintang-bintang yang memutari kepalanya bagaikan ibu peri. Selagi menjauh, Tara langsung menyambar cutter yang entah didapat dari mana."Mau apa tadi? Makan? Iya? Sini! Biar tubuhmu saya mutilasi, saya kasihkan makan ikan. Sekalian saja, aset berharga yang kamu bangga-banggakan itu saya jadikan makanan tikus di rumah." Ancam Tara, lebih mengerikan ketimbang ancaman pada percobaan sebelumnya.Mendengar anc
Entah peran macam apa yang Tara sanggul dalam kehidupan sebelumnya, dia tidak memahami mengapa takdir harus mempertemukannya dengan pemuda setengah waras yang isi otaknya hanya berupa kepuasan seksual saja. "Mau?"Tara menggeleng lelah. "Sepertinya kamu harus memeriksakan otakmu ke dokter dulu, Noah. Mau saya antarkan ke dokter terbaik yang ada di negara ini? Sekalian, biar besok saat pulang kamu bisa lebih waras dan nggak bikin susah satu agensi gara-gara tingkahmu ini."Senyum Noah meredup. "Masa kamu nggak tertarik sama saya sih, Tara? Saya Noah lho! Noah Alejandro yang jadi kejaran banyak perempuan di luar sana. Kamu nggak harus melakukan banyak hal, kamu cuma berperan sebagai Nona Pengaktif.""Wah! Makin kacau ternyata," Tara beranjak, menyingkirkan tangan kanan Noah yang dengan santai diletakkan pada pundaknya. Wanita muda itu menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Noah memandangi pergerakan Tara lamat-lamat, entah apa yang sedang pemuda tengik itu pikirkan, Tara tidak mau
"Noah?"Noah tersentak. Kehadiran seseorang yang berada di belakangnya itu membuatnya kelimpungan. "Malam, Bu." Sapanya sembari tersenyum hambar, berbalik dengan tangan menyatu di depan tubuhnya.Seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Bu Rosalie, istri dari Pak Heru—pemilik agensi, sekaligus bibi dari Noah yang selama ini selalu mengawasi pergerakan kemenakan menjengkelkannya itu. "Apa yang membawamu masuk ke kamar ini, Noah? Bukannya kamar kamu ada di lantai sembilan?""Ah, aku mampir ke kamarnya temannya Bang Radu, Tante. Kebetulan, dia punya komik Hunterxhunter sampai volume lengkap. Nah, makanya itu aku samperin dia, karena begitu balik besok, aku mau main ke rumahnya." Kilahnya.Noah meneguk ludahnya susah payah. Semoga wanita yang berada di hadapannya itu percaya. Selama ini, dia senantiasa kesulitan saat berusaha mengelabui Rosalie. Sebab hanya dengan memindai dirinya saja, wanita itu mampu mengenali adanya kebohongan atau tidak. Padahal Noah sudah menyembunyikan semua dus
Tara tidak bisa tidur, sehingga pada pagi harinya dia melangkah ke bandara disertai mata panda yang menyedihkan. Cell menyadari keanehan tersebut setelah menyodorkan sebuah es krim yang baru dibeli di bandara."Mukamu udah kayak panda, Tara. Bedanya, panda lucu dan imut, sedangkan kamu enggak sama sekali." Ujar Cell, yang langsung dihadiahi lirikan tajam dari teman dekatnya itu. "Ampun, Tar! Lagian, semalam ngapain aja sih? Kok bisa-bisanya gitu lho, kamu sampai nggak cukup tidur. Padahal, nanti malam kamu udah ada jadwal buat ketemu tamu penting dari Italia kan?"Tara mendengus lelah. "Singkatnya gini, Cell. Aku baru aja ketemu sama orang-orang sableng yang sudah melecehkanku.""Ha?" Cell menahan teriakannya. "Kamu dilecehkan? Sama siapa?""Sama bocil kematian yang punya banyak penggemar." Tara mau menangis. "Kenapa aku bisa berurusan sama bocil itu, astaga~""Duh! Tara! Siapa orangnya? Kasih tau aku! Biar aku potong tititnya!" Cell melipat ujung kemejanya, berlagak garang, padahal w
"Tara ada di Alaska.""Ha? Alaska?"Wanita muda berambut lurus yang tampak lelah itu mengangguk. Dialah Cell PD, salah satu produser lagu ternama yang didapatkan oleh Hacer dengan berbagai cara. Sebelum bertemu dengan Cell untuk menanyakan keberadaan Tara, Noah sempat menghubungi manajernya. [ Nomornya Tara nggak bisa dihubungi, Noah. Coba kamu tanya sama temannya, Cell PD. Jam segini, dia ada di studio 3 yang ada di lantai 4. ]Defisini pekerja keras bahkan setelah penerbangan yang tidak sebentar, Noah berhasil menemukan Cell di salah satu studio yang dimaksud oleh Radu. Studio Cell jelas merupakan milik wanita muda itu seorang. Maka dari itu, isinya pun terlihat lebih berwarna. Pada setiap sudut studio tersebut, terdapat tanaman artifisial dengan berbagai warna mencolok yang membuat Noah pusing."Kenapa? Matamu sakit? Ya jangan lihat bayi-bayiku dong!" Sahut Cell tak ramah.Berhubung Noah baru saja masuk dan belum mengungkapkan pertanyaannya, maka pemuda itu memilih untuk bersabar
"Lari! Cepat!"Tara harus mendorong Noah agar pemuda itu tersadar dan meniti langkah seribu. Baru saja keluar dari kafe Alaska, terdapat segerombolan anak sekolah yang membawa seperangkat alat lukis. Tara terhenyak, dilepaskan jaket ungu muda yang dikenakannya untuk menutup wajah Noah."Weh! Apa-apaan!""Diam atau saya tendang lagi anumu, Noah!"Noah menurut. Keduanya langsung berlari berkeliling kota seperti berada dalam serial kartun Shinchan. Tentu saja yang menarik ialah Tara, sebab Noah sibuk menyembunyikan wajahnya di bawah naungan jaket milik wanita muda itu—sembari memastikan kedua matanya bisa melihat jalan.Setelah melalui beberapa belokan dan memasuki salah satu area perumahan yang dekat dari lokasi pertama berlari, keduanya baru merasa aman. Tara melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Noah, lantas mendudukkan diri di bawah pohon besar. Wanita muda itu menilik sekitar. Area perumahan yang disambanginya ini cukup sepi."Aman."Tara mengembuskan napas lega. Di