Share

04. Ancaman Gagal

"Mau apa kamu? Mau ditendang lagi anunya?"

Bukannya mundur, Noah makin menundukkan kepalanya mendekati wajah Tara. Ancaman wanita itu tak mempan sama sekali. Justru Noah bersemangat lantaran keperkasaannya telah berfungsi sebagaimana semestinya.

"Mau tendang?" Noah menahan kedua kaki Reina di antara kakinya. Wanita itu tersentak, tak bisa bergerak sama sekali. "Kamu nggak bisa melakukan apa-apa, Tara."

"Heh! Saya lebih tua dari kamu ya?! Yang sopan! Turun sana! Turun! Atau saya teriak nih!" Tara sudah bersiap untuk membuka mulutnya lebar-lebar, berteriak sekuat mungkin. Akan tetapi, pemuda tengil yang sedang menggagahinya itu langsung membungkam Tara dengan sebuah ciuman.

Tara membulatkan matanya. Dipukulnya dada pemuda itu, lalu entah mendapatkan kekuatan dari mana, lututnya berhasil mengenai pusat tubuh Noah yang masih berdiri.

"Aduh! Sial!"

Sesegara saja wanita itu berdiri, menjauhi Noah yang terjungkal dari ranjang. Deru napas Tara seakan berpacu dengan detik jarum jam yang memenuhi seisi ruangannya, bukti bahwa usahanya tidak main-main agar terlepas dari kungkungan Noah. Tara menyilangkan tangan di depan dada, agak tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya.

"Kamu mau memperkosa saya?! Akan saya tuntut dan adukan kamu ke Pak Heru atas dasar pelecehan seksual!" Seru Tara penuh keyakinan. Tadinya wanita itu percaya diri bahwa Noah akan berlari ketakutan. Akan tetapi, Noah masih saja bersikap santai dan tenang seolah-olah tengah menantikan kalimat Tara barusan.

"Mau tuntut? Oke! Saya juga akan menuntut balik kamu, Tara." Tara menyerngit, tak mengerti mengapa Noah bisa berpikiran seperti itu. Sebelum Tara melontarkan pertanyaan lagi, Noah melanjutkan. "Kamu nggak menyadari kesalahanmu, Tara?"

Tara menggeleng. "Saya nggak ada salah apa pun sama kamu. Justru kamu yang salah di sini, mulai dari salah kamar sampai saat ini kamu mau memperkosa saya!"

"Cih! Hei! Kamu pikir, saya bisa masuk ke kamar kamu semalam pakai bantuan jin begitu? Kamu pasti salah satu bagian dari orang-orang yang mau menghancurkan karier saya kan? Nggak mungkin saya bisa masuk ke sini sementara kamar ini hanya bisa dibuka dengan kartu pas yang kamu bawa. Kamu pikir saya bisa mencurinya dalam keadaan setengah sadar dari kamu begitu?"

Giliran Tara yang terdiam. Benar juga. Bagaimana bisa Noah tidur di kamarnya semalam sementara dirinya yang memegang kartu pas kamarnya ini. Oh tidak! Dia punya firasat buruk soal ini. Meskipun Tara bisa mengelak bahwa dia tak melakukan apa pun, tetapi manusia licik yang menyeringai di hadapannya itu pastinya mempunyai rencana lain.

"Nah! Kalau saya membawa perkara ini ke depan Pak Heru saja, sudah bisa dipastikan bahwa kamu yang akan disalahkan. Secara, saya ini aktor yang sedang hits! Banyak yang akan memercayai saya! Penggemar saya juga ada banyak! Kalau sampai ada media yang mencium masalah ini, kamu yang akan disalahkan! Kariermu akan hancur dalam sekejap."

Oh tidak! Kedua tangan Tara melemas, apakah ini hari terburuknya? Bagaimana bisa dia berhadapan dengan situasi pelik semacam ini?

"Atau ... agar menjaga karier kamu tetap berjalan lancar, bagaimana kalau kamu bekerja dengan saya sampai aset penting saya ini kembali normal?"

Tara mati-matian menahan tawa. Tadinya dia sudah kebingungan. Tetapi mendengar ucapan Noah barusan, lucu juga. Membayangkan masa depan bocah tengik itu mengalami malfungsi, Tara turut prihatin.

"Heh! Kenapa nahan tawa?!"

Tara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Gawat! Dia kebingungan harus bereaksi seperti apa, sebab pemuda ingusan di depannya itu mempunyai rencana licik sekaligus terlihat menyedihkan di mata Tara.

"Masalahnya, Tuan Muda Noah, untuk apa saya bekerja dengan kamu, sementara pekerjaan saya nggak ada hubungan apa pun sama pekerjaan kamu?" Tara menggerakkan telapak tangannya ke kanan-kiri. "Jelas-jelas, kamu nggak akan mendapatkan apa pun dari saya, Noah."

"Oh ya? Tapi saya punya kegiatan yang tampaknya akan lebih mudah kalau menggunakan jasa kamu, secara gratis." Timpal Noah.

"Ha? Rencananya saya akan dipekerjakan tanpa bayaran begitu? Memangnya buat apa sih?" gerutu Tara.

"Dijawab dulu, Nona Tara! Pilih pilihan yang mana? Kamu tetap melaporkan saya, tapi saya lapor balik. Atau, semua masalah kamar dan sesuatu yang kamu sebut pelecehan ini selesai sekarang dengan cara kamu bekerja dengan saya selama 100 hari. Pilih yang mana?"

Dua-duanya terdengar seperti neraka dunia yang sedang tersaji begitu manis di hadapannya. Jelas-jelas sesuatu yang dilakukan Noah tadi merupakan sebuah pelecehan. Dia memang seorang janda, tetapi apakah dirinya serendah itu?

Tara mengembuskan napas perlahan. Tatapannya menajam. "Saya nggak akan memilih keduanya."

"Ha? Kenapa?"

"Pertama, yang kamu lakukan tadi memang sebuah pelecehan. Tapi urusan di kamar itu saya memang nggak tau apa-apa. Kedua, saya nggak mau bekerja dengan seseorang yang baru saja melakukan pelecehan tadi."

"Astaga! Jadi, masih soal pelecehan?"

"Ketiga," nada bicara Tara terdengar rumpang dalam pendengaran Noah. "Saya nggak serendah itu sampai harus menuruti semua pilihan yang kamu berikan. Dari keduanya, saya nggak akan memilih! Baiklah kalau kamu memang punya alasan sebagai penuntut balik. Kalau begitu, saya akan mencoba melupakan tindak pelecehan kali ini. Dan saya harap, kamu nggak memunculkan wajah kamu di depan saya lagi."

Tara bergerak cepat, menarik Noah dan mendorong pemuda itu untuk lekas keluar dari kamarnya. Noah kepayahan dalam mencerna situasi yang sedang terjadi inu. Kenapa jadi dia yang tersudut begini? Bukannya dia yang menguasai keadaan beberapa menit yang lalu?

Bagaikan de javu, Noah keluar dari kamar Tara dengan paksa seperti tadi pagi. Pintu kamar Tara berdebum lebih kencang dari sebelumnya. Noah sempat berjingkat, tapi selanjutnya berdiam diri sambil memikirkan apa yang baru saja dilakukannya terhadap Tara tadi.

Merasa usahanya sia-sia, Noah memutuskan untuk mencari Radu. Namun baru saja berbalik menuju lift, justru laki-laki yang dicarinya itu berada tepat di depannya.

"Bang Radu? Ngapain ke sini?" tanya Noah heran.

Radu mengerjapkan matanya berulangkali. Seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tangan kiri Radu tampak menyembunyikan sesuatu di balik tubunya. Noah yang mempunyai mata setajam silet, keburu memutari Radu dan melihat tas kain yang dibawa oleh manajernya itu.

"Bolu? Ini buat siapa, Bang? Buat aku?"

Sebelum Noah meraihnya, Radu memeluk tas kain tersebut. Sudah seperti anak kecil yang tak mau mainannya dicuri bocah lain.

"Lah? Santai dong! Kalau memang bukan buat aku, ya udah jangan tegang begitu mukanya!" Noah bersedekap. "Buat apa sih, Bang?"

"Ck!" Radu melirik Noah malas. "Kamu ngapain di sini? Bukannya tadi masih di hotel sama wanita panggilan yang Abang panggilkan?"

Rahang Noah mengeras. Teringat dengan betapa lembek aset berharganya tadi, Noah jadi enggan membahas hal tersebut dengan Radu. "Malas, Bang! Kurang lihai."

"Ya udahlah, suka-suka kamu aja."

"Eh? Mau ke—

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamar bernomorkan 707 terbuka lebar. Terlihatlah Tara yang tersenyum manis kepada Radu, sementara Radu menyerahkan tas kain berisikan bolu tersebut.

Noah menganga.

"Apa-apaan?"

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status