Tara tidak bisa tidur, sehingga pada pagi harinya dia melangkah ke bandara disertai mata panda yang menyedihkan. Cell menyadari keanehan tersebut setelah menyodorkan sebuah es krim yang baru dibeli di bandara."Mukamu udah kayak panda, Tara. Bedanya, panda lucu dan imut, sedangkan kamu enggak sama sekali." Ujar Cell, yang langsung dihadiahi lirikan tajam dari teman dekatnya itu. "Ampun, Tar! Lagian, semalam ngapain aja sih? Kok bisa-bisanya gitu lho, kamu sampai nggak cukup tidur. Padahal, nanti malam kamu udah ada jadwal buat ketemu tamu penting dari Italia kan?"Tara mendengus lelah. "Singkatnya gini, Cell. Aku baru aja ketemu sama orang-orang sableng yang sudah melecehkanku.""Ha?" Cell menahan teriakannya. "Kamu dilecehkan? Sama siapa?""Sama bocil kematian yang punya banyak penggemar." Tara mau menangis. "Kenapa aku bisa berurusan sama bocil itu, astaga~""Duh! Tara! Siapa orangnya? Kasih tau aku! Biar aku potong tititnya!" Cell melipat ujung kemejanya, berlagak garang, padahal w
"Tara ada di Alaska.""Ha? Alaska?"Wanita muda berambut lurus yang tampak lelah itu mengangguk. Dialah Cell PD, salah satu produser lagu ternama yang didapatkan oleh Hacer dengan berbagai cara. Sebelum bertemu dengan Cell untuk menanyakan keberadaan Tara, Noah sempat menghubungi manajernya. [ Nomornya Tara nggak bisa dihubungi, Noah. Coba kamu tanya sama temannya, Cell PD. Jam segini, dia ada di studio 3 yang ada di lantai 4. ]Defisini pekerja keras bahkan setelah penerbangan yang tidak sebentar, Noah berhasil menemukan Cell di salah satu studio yang dimaksud oleh Radu. Studio Cell jelas merupakan milik wanita muda itu seorang. Maka dari itu, isinya pun terlihat lebih berwarna. Pada setiap sudut studio tersebut, terdapat tanaman artifisial dengan berbagai warna mencolok yang membuat Noah pusing."Kenapa? Matamu sakit? Ya jangan lihat bayi-bayiku dong!" Sahut Cell tak ramah.Berhubung Noah baru saja masuk dan belum mengungkapkan pertanyaannya, maka pemuda itu memilih untuk bersabar
"Lari! Cepat!"Tara harus mendorong Noah agar pemuda itu tersadar dan meniti langkah seribu. Baru saja keluar dari kafe Alaska, terdapat segerombolan anak sekolah yang membawa seperangkat alat lukis. Tara terhenyak, dilepaskan jaket ungu muda yang dikenakannya untuk menutup wajah Noah."Weh! Apa-apaan!""Diam atau saya tendang lagi anumu, Noah!"Noah menurut. Keduanya langsung berlari berkeliling kota seperti berada dalam serial kartun Shinchan. Tentu saja yang menarik ialah Tara, sebab Noah sibuk menyembunyikan wajahnya di bawah naungan jaket milik wanita muda itu—sembari memastikan kedua matanya bisa melihat jalan.Setelah melalui beberapa belokan dan memasuki salah satu area perumahan yang dekat dari lokasi pertama berlari, keduanya baru merasa aman. Tara melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Noah, lantas mendudukkan diri di bawah pohon besar. Wanita muda itu menilik sekitar. Area perumahan yang disambanginya ini cukup sepi."Aman."Tara mengembuskan napas lega. Di
"Lihat apa?!"Noah memalingkan muka. Baru saja dia mendapati potensi terpendam dalam diri Tara, wanita muda itu malah menamparnya dengan sahutan dingin yang menyebalkan. "Cih! Percaya diri banget! Memangnya aku ngelihatin kamu? Tapi ... ternyata boleh juga ....""Apanya yang boleh juga?! Mau kulempar pakai heels?!" Ancam Tara sembari melepas salah satu heels-nya.Noah terlonjak, cepat-cepat berlindung di balik sofa yang sebelumnya diduduki. Kemudian menyadari bahwa beberapa karyawan melihat ke arahnya. Tara tidak jadi melemparkan heels yang sudah dilepas tadi. Wanita muda itu malah tertawa pelan, merayakan satu kemenangan—remeh—lagi.Berdeham, Noah merapikan jasnya. Berpura-pura mencari cermin. Salah satu karyawan datang dan menyodorkan sebuah cermin bundar. Setelahnya, pemuda itu menatap Tara dengan dagu terangkat tinggi."Jangan salah, Tara! Aku nggak melihat kamu untuk mengagumi kamu atau apa pun itu, aku cuma sadar kalau kamu nggak ada apa-apanya sama artis-artis kenalanku di luar
Menjelang pukul sepuluh malam, Tara merasakan kedua kakinya nyaris mati rasa. Terlalu lama berdiri dalam tumpuan heels setinggi sepuluh sentimeter, memang definisi merepotkan diri sendiri. Wanita muda itu mengambil segelas air mineral, lalu mendudukkan diri di sisi ruangan yang menyediakan beberapa sofa.Mata lentik Tara menyapu sepenjuru ballroom yang ramai dan saling bersahut-sahutan bagaikan latar suatu drama urban yang sedang ditontonnya. Dia tidak sabar untuk pulang dan merebahkan diri. Sekembali dari negeri tetangga, seharusnya dia mengistirahatkan diri di balik rumah kecilnya, menikmati malam dengan secangkir kopi sembari membaca buku. Atau barangkali langsung tertidur sampai keesokan harinya. Akan tetapi, gara-gara kebohongan menyebalkan yang diperbuat Noah, Tara masih harus menjelma sebagai manusia robot."Capek, Tara?"Tara memejamkan mata, enggan mendongak untuk mengetahui rupa si penanya. Dia sudah tau suara siapa itu. Yang jelas, lelahnya makin bertambah saat dia harus be
"Kamu kenapa, Noah? Habis dari gym?" tanya Radu pada Noah saat melihat keringat yang membanjiri kaus hitam milik pemuda itu. Selesai mengambil naskah web drama yang akan menjadikan Noah sebagai pemeran utama, Radu mengirimkan pesan untuk segera datang ke tempat parkir agensi, menunggu di mobil. Namun aktor muda setengah berandal yang dijaganya itu malah datang seakan habis berolahraga. Noah berdecak kesal, lantas menyuruh sopir untuk menaikkan suhu pendingin. "Sial! Ini gara-gara Tara!""Ha? Tara? Kenapa bisa gara-gara dia? Kamu ketemu sama Tara, Noah?" tanya Radu penasaran."Nggak sengaja ketemu, tapi yang jelas dia seneng banget karena bikin aku kerepotan kayak gini." Noah mendengus kesal. Kalau bertemu lagi, dia akan melayangkan balasan pada wanita muda itu. Seenaknya saja sudah membuat orang-orang berlarian ke arahnya! Noah tidak akan tinggal diam. Dia akan membalas dendam pada Tara.Akan tetapi, di tengah rencana licik yang sedang perlahan dibuat itu, Noah malah mendapat tabokan
Tara cepat-cepat menggapai segelas air yang berada di sisi meja lainnya. Sembari memegangi dadanya, ponsel wanita muda itu digeletakkan di samping piring. Selesai meminum segelas air dan meredakan keterkejutan, Tara menatap horor nomor milik Noah yang masih tersambung panggilan suara dengannya itu."Halo, Tara?"Suara pemuda bajingan itu kembali menyapa rungu. Tara mendengus kesal. Haruskah pemuda itu mengganggu harinya dengan lontaran kalimat yang membuat jantungan?"Tara? Kamu masih di sana? Oh! Apa jangan-jangan kamu udah siap-siap?""Siap-siap buat apa?""Foto nude.""Wah, wah," Tara menggelengkan kepala tak percaya. "Baru kali ini aku benar-benar mau membunuh seseorang lho! Coba kalau kamu bukan aktor yang sedang terkenal, pasti aku akan datang ke rumahmu untuk melancarkan serangkaian pembunuhan berencana."Di seberang telepon, Noah tergelak. "Kamu kan memang sudah membunuh sebagian besar hasratku, Tara. Jadi kamu harus membantu riset yang satu ini. Omong-omong, gitu dong, nyebut
Selesai bertemu dengan ketua panitia, Tara melenggang secepat mungkin dari kafe Alaska. Sebelum segerombolan pegawai yang tadinya memasuki restoran ayam di seberang jalan keluar, dia harus cepat-cepat pergi. Gedung agensinya masih sama ramai seperti hari biasa. Terlebih para penggemar kerap menunggu di luar untuk memotret kedatangan idola ataupun aktor dan aktris kesayangan mereka.Kalau sudah begini, biasanya Tara harus berdesak-desakan sebelum memasuki pintu utama lobi. Terlihat dari papan kecil yang terangkat tinggi-tinggi, sepertinya penggemar yang menghalangi jalannya itu merupakan penggemar si bocah mesum—siapa lagi kalau bukan Noah."Kok belum datang ya? Bukannya katanya Noah bakalan datang sama Malvin jam segini?" tanya salah seorang penggemar. Tara menggeleng-gelengkan kepala. Entah dari mana mereka bisa mengetahui jadwal pribadi Noah maupun Malvin. Terkadang Tara tidak paham, bagaimana bisa mereka senekat itu hanya untuk sekadar melambaikan tangan. Tapi bodo amatlah! Dia se