Lelaki Bersarung PoV UcokIlmu meluluhkan hati orang itu ternyata berhasil, akan tetapi hasilnya sungguh tak terduga. Aku ditembak cewek yang lebih tua umurnya tiga tahun. Karen namanya, gadis cantik calon dokter.Malam itu aku terkejut melihat Karen datang ke masjid, dia memakai mukena warna pink, manis sekali. Saat itu aku dan Ridho duduk di teras masjid menunggu waktu isya."Assalamualaikum," salam dari Karen."Waalaikum salam," jawabku dan Ridho hampir bersamaan."Masih ada waktu Magrib kah?" tanyanya kemudian."Masih, masih," kataku seraya menunjuk ruang salat untuk perempuan.Gadis itu kemudian masuk masjid, aku dan Ridho melanjutkan obrolan. Beberapa saat kemudian gadis itu sudah selesai salat, dia justru duduk di depan kami."Diskusi apa kita ini?" tanyanya."Maaf, bertanya dulu, Karen, kamu muslim kan?" tanyaku kemudian. Karena pernah dia suruh aku pasang lampu di kamarnya, aku sempat melihat tanda-tanda agama lain."Ayahku tadinya muslim, ibuku kristen, jadi aku diberikan k
Bu Wabup PoV NiaSemenjak dilantik jadi wakil bupati, kehidupan kami benar-benar berubah. Senin sampai Jumat harus tinggal di rumah dinas walikota bupati. Sabtu Minggu baru ke rumah pribadi. Pelaksana tugas kepala desa kuserahkan pada wakil kepala desa.Akan tetapi apakah kami berubah lebih baik? Entahlah, aku tidak tahu, apakah ini lebih baik? Cantik kini diurus seorang baby sitter. Butet juga pindah sekolah ke kota. Bupati juga menepati janjinya, aku dilibatkan dalam setiap rapat penting. Urusan sosial dan pertanian juga jadi pekerjaanku. Satu lagi yang disarankan bupati aku urus, yaitu pemberdayaan perempuan.Hari itu kami lagi di rumah dinas Wakil Bupati. Bang Parlin tak berubah, hobby yang berkebun masih dia bawa sampai rumah dinas. Belakang rumah dinas itu jadi kebun sayuran dan tanaman obat-obatan.Ada tamu datang, mobil berpelat merah parkir di halaman rumah. Seorang pria paruh baya turun dari mobil. Aku kenal pria ini, dia kepala dinas sosial."Selamat sore, Bu," sapanya
Jabatan ini ternyata berat juga, berat dalam arti susah untuk yang jujur. Aku baru paham, ternyata jual beli jabatan itu sudah hal yang lumrah. Orang jujur justru banyak dimusuhi orang. Aku juga ternyata salah pilih, dinas sosial itu ternyata lahan basah. Karena menyalurkan uang yang banyak. Jabatan ini juga ternyata sangat menyita waktu dan pikiran. Aku sangat bersyukur punya Bang Parlindungan dan Butet yang selalu siap membantu. Hp-ku yang tadinya jarang berbunyi kini hampir-hampir setiap setengah jam ada yang menelepon."Kayaknya mamak dahulu butuh asisten ini, yang kerjanya khusus terima telepon dan atur jadwal mamak," usul Butet di suatu hari."Belum perlu lah, Tet,""Camat saja ada asistennya," kataku Butet lagi."Iya juga ya, nantinya kita cari,"Pak bupati meneleponku di suatu hari, saat itu aku lagi berada di kantor dinas sosial."Bu Nia, saya mohon jangan terlalu keras, saya setuju kita berantas korupsi, tapi pelan-pelan saja," kata Bupati."Maaf, Pak, saya lihat di dinas s
Kadang aku merasa orang tuaku terlalu berlebihan dalam hal yang terjadi padaku. Ini hanya foto dengan tiga cewek, ayah sampai harus datang ke Jakarta? Padahal aku sudah banyak melihat orang di Jakarta ini, sudah banyak bergaul dengan mahasiswa lain, kurasa aku masih yang paling baik. "Kak Karen, tolong hapus status itu," kataku kemudian lewat pesan inbox.Akan tetapi tak dibalas, mau menelepon aku tidak tahu nomor. Akan tetapi aku memang sangat terganggu dengan status tersebut. Kucoba inbok lagi, tak juga dibalas. Akhirnya aku nekat pergi ke rumahnya yang tidak berapa jauh dari rumah. Kulirik jam sudah menunjukkan angkat setengah sebelas.Saat di pintu gerbang komplek, sekuriti menahan motorku, aku pun menjelaskan maksud kedatangan, yaitu ingin bertemu Karenina. Sekuriti itu bilang menelepon Karen duluan."Oh, aku minta nomornya saja kalau gitu," kataku lagi. Sekuriti ini bukan yang pernah kuberikan uang dulu."Maaf, kami tidak boleh memberikan nomor orang sembarangan, maaf," katan
Dalam hal ini aku merasa ayah berlebihan, ayah bilang berhenti membandingkan, jadi apa ukuran kesuksesan? Jika bukan dibandingkan dengan yang lain? Apa ukuran kebaikan jika bukan karena ada pembanding? "Ayah iri ya, aku lebih sukses dari pada ayah?' tanyaku kemudian.Plakk! Ayah malah menamparku, ini untuk pertama kali setelah aku dewasa ditampar Ayah. "Maaf, Cok," Ayah langsung minta maaf setelah menampar. Tak bicara' lagi ayah pergi ke kamar yang ada di atas yang kebetulan memang kosong.HP -ku berbunyi, ada panggilan video dari Butet, langsung saja kuterima."Mana ayah?" tanya Butet."Merajuk" jawabku."Apa, Cok? Merajuk?" ternyata mamak ada di situ."Iya, Mak?""Kok bisa merajuk?""Itulah, seharusnya aku yang merajuk, ini orang tua yang merajuk, bukan anaknya lagi, dunia terbalik," kataku kemudian."Jelaskan dulu, Cok,"""Ayah menamparku, Mak, lalu ayah yang merujuk, itu di kamar atas berkurung."Cok, ayah menamparmu?" tanya mamak lagi."Iya, Mak,""Kok bisa?" "Kan gini, Mak,
"Bapakmu tampan ya, Cok?" kata Karen seraya duduk di kursi plastik yang ada di depan rumah."Hehehe, iya," jawabku. "Penampilan Bapakmu unik dan antik," katanya lagi."Oh, ya,""Terus badannya tetap bagus, tidak seperti bapak-bapak kebanyakan," Karen makin lanjut memuji Ayah."Rambutnya itu, lo, keren," kata Karen lagi. Selama ini orang selalu bilang rambut ayahku kuno, baru kali ini ada yang bilang keren."Lo datang kemari mau ngapain, mau muji Ayahku ya?" aku agak kesal juga."Aku mau ngajak makan malam," kata Karen lagi."Masih sore,""Maksudnya kita jalan-jalan dulu sampai malam baru makan," "Oh, tidak, terima kasih,""Tolonglah, Cok, malas kali jalan sendiri, " kata Karen lagi.Ah, kata tolong itu lagi, entah kenapa cewek cantik suka minta tolong."Cok, please, aku yang traktir," "Maaf, ada Ayahku," kataku akhirnya."Cok, tolonglah, aku takut jalan sendirian malam, di rumah terus bosan," kata Karen lagi. Dua kali minta tolong itu akhirnya membuat ku luluh juga."Ok, aku gan
Aku memberikan HP pada Ayah, Ayah menghentikan makannya lalu mengajakku keluar dari ruangan. "Bang, Abang ke Jakarta mau nasehatin Ucok, malah ikut-ikutan!" kata Mamak. "Dek, dengarkan dulu, gini ceritanya. ..." "Bagaimana?" "Lihat dulu kemari, Dek, jangan marah-marah gitu," kata Ayah. "Hmmm, aku mendengarkan," "Si Ucok ini kelemahannya kan cewek cantik, jadi dia mau pergi sama cewek cantik, pilihan Abang apa coba, Dek, melarang atau membiarkan? Jika dilarang, taulah kau anak kita, Dek, sudah merasa dewasa, kalau dibiarkan, mana bisa hati tenang anak kita lemah di depan cewek cantik, jadi Abang buat pilihan lain, ikut sebagai pengawal, menjaga anak kita," kata ayah. "Ohhh, gitu, Bang," kata Mamak. "Iya, Dek, Jakarta ini keras, Dek, anak kita lemah di cewek, sementara Jakarta ini banyak ceweknya," kata Ayah lagi. "Jadi bagaimana, Bang, kita suruh dia berhenti kuliah saja?' tanya mamak. "Rumit, Dek, sementara Ucok sudah merasa dewasa," "Jadi. ...," "Begini, Dek, Abang ras
Ayah sepertinya serius, padahal aku yakin mamak hanya bercanda karena kesal Ayah mau ziarah ke Bandung. Tak mungkin rasanya mamak serius dengan ucapannya. "Jangan bicara gitulah, Yah," kataku kemudian. "Betul, Cok, mungkin waktu ayah tidak akan lama lagi, dalam keluarga kita, umur kita itu hanya sampai enam puluh, kakekmu yang paling panjang umur, dia enam puluh an tahun, selebihnya tidak ada yang sampai enam puluh, Ayah sudah lima-lima, Cok, mungkin tidak akan lama lagi," kata Ayah. "Hahaha, candaan mamak kok Ayah tanggapi serius?" aku coba mencairkan suasana. "Memang serius, Cok," kata Ayah seraya melanjutkan zikirnya. Aku pun turun ke bawah membiarkan Ayah khusuk berzikir. HP -ku bunyi, adalah panggilan dari Pak Ali Akhir, segera kuangkat dan mengucapkan salam. "Cok, mamakmu bilang Ayahmu datang ke Jakarta ya?" kata Pak Ali Akhir. "Iya, Pak," "Kok gak kasih kabar kau, Cok, besok datang ke rumah ya," kata Pak Ali Akhir lagi. "Kata Ayah besok mau ke Bandung, Pak," kataku.