Share

Pengantin Tak Diinginkan

-Pengantin Tak Diinginkan-

Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.

Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." 

"Iya, Nek. Kupikir juga begitu."

Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin berbicara sebentar denganmu."

Wajah Vanilla mengeras. "Ini semua salah orang itu. Sampai aku bisa menikah dengan lelaki yang bukan tunanganku. Ini semua salah orang itu!"

"Bagas tidak tahu wajah tunanganmu."

Vanilla membalas, "Jika saja dia mau sedikit bertanggung jawab terhadap hidupku, pasti dia bisa tahu mana tunanganku, mana lelaki yang kubenci."

Neneknya tetap sabar menghadapi kekecewaan Vanilla. "Temui sebentar, ya. Untuk selanjutnya jika kamu tidak mau bertemu lagi dengan ayahmu, maka terserah padamu."

Wajah Vanilla melemas. Sorot matanya meredup. "Ini terakhir kalinya aku bertemu dengan lelaki itu. Sama seperti ketika dia meninggalkanku juga mendiang ibu, aku juga tak mau mengenalnya lagi."

Neneknya keluar, dan tak berapa lama Om Bagas masuk kamar. Ia mencoba tersenyum walaupun ia tahu putrinya pasti penuh dengan kemarahan. 

Om Bagas berdiri di belakang Vanilla yang masih duduk di meja rias. Mereka berpandangan melalui cermin. "Ayah baru tahu dari nenek jika lelaki itu bukan tunanganmu. Ayah bodoh karena tak menyadari sejak awal tidak ada buku nikah yang disediakan."

Vanilla menarik napas perlahan. "Sudahlah. Semua sudah terjadi."

"Buku nikahmu sudah diurus oleh Kian. Kau tenang saja." Ucapan Om Bagas terdengar klise. Vanilla tak menjawab ucapannya. Om Bagas melanjutkan. "Ayah akan kembali ke Bali besok pagi. Tante Ruri minta maaf karena tak bisa hadir di pernikahanmu. Lain kali Ayah harap kau mau bertemu dengan ayah dan ibu tirimu."

Vanilla berdiri dan menghadap ayahnya. "Maaf Om, aku tidak akan pernah mau bertemu dengan perempuan itu. Aku sampaikan dari sekarang agar tidak ada lagi kesempatan kita untuk bertemu."

Om Bagas terkesiap mendengar perkataan Vanilla. Tapi tak bisa berbuat apa-apa, karena ia bisa paham apa yang anaknya rasakan. "Baiklah, Ayah dengar kau akan pindah ke rumah Kian. Ayah benar-benar berharap, kau bahagia."

"Kesalahan tadi pagi sangat fatal, Om. Sampai membuatku sepertinya takkan bisa bahagia lagi. Selamanya." 

Om Bagas diam sejenak. Menata kata yang akan ia ucapkan. "Apakah kau ingin bercerai dengan Kian?"

Vanilla tertawa terbahak-bahak karena baru ayahnya ini satu-satunya orang yang menyuarakan isi hatinya. Jika bukan dengan lelaki yang ia cintai, kenapa ia haus tetap menerima pernikahan kesalahan ini? Tapi tidak sekarang. Ia harus menjaga kesehatan jantung Neneknya agar tidak mendapat serangan lagi. Jika neneknya di usianya yang renta masih memikirkan cucunya tidak bahagia, ditinggalkan tunangannya, menikah dengan lelaki lain, bercerai dalam waktu singkat, diusir dari rumah yang dibelikan tunangannya. Risikonya besar bagi kesehatan neneknya. Dokter pun sudah bilang jangan sampai neneknya mendapat kabar buruk lagi agar tidak kena serangan berikutnya.

"Mengucapkan kata cerai dengan mudah padahal baru tadi pagi aku menikah. Apakah hidup memang segampang itu untukmu?" Tanya Vanilla lamat-lamat.

"Tentu saja tidak. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."

Perempuan itu sudah tidak bisa berbicara lagi dengan ayahnya. Ia lelah luar biasa. Lelah lahir dan batin. "Sudah malam, Om. Sepertinya aku harus lekas ke rumah Kian"

Om Bagas menyadari ia sudah terlalu ikut campur. Jika ia adalah ayah dalam kondisi keluarga yang normal, wajar ia akan memberi saran kepada anak-anaknya. Namun, ia dan putrinya dipisahkan oleh keadaan yang tidak biasa. Sepertinya ia sudah kehilangan hak untuk memberi Vanilla saran dan nasihat.

Om Bagas berbalik akan keluar kamar. "Baiklah, Ayah pamit."

Lamunan percakapannya dengan Om Bagas dibuyarkan oleh suara Kian. "Kita sudah sampai."

Vanilla membuka kaca mobil dan mendapati rumah mewah dua lantai yang ada di depannya. Pagarnya yang tinggi tetap tidak bisa menutupi kemegahan rumah itu. Fasad rumah itu tinggi dan kokoh. Rumah itu dominan warna kayu, hitam, dan abu-abu. Taman di depan rumah terawat. Pohon ketapang kencana di tengah taman membuat suasana rumah menjadi tidak sedingin dan sekaku fasad rumah.

Kian muncul dari sisi pengemudi, sudah berada di pintu penumpang dan membukakan pintu untuk Vanilla. Perempuan itu terkejut. "Aku bisa membuka pintu sendiri."

"Bisa tidak kau menerima saja semua yang kulakukan tanpa ada bantahan tidak penting begini."

Vanilla meradang. Siapa suruh dia membuka pintu untuknya. Pernikahan mereka ini aneh. Mereka berdua terjebak dalam kondisi di luar aspek kewajaran. Jadi tidak perlu melakukan hal-hal semacam etika. Vanilla tidak butuh itu semua.

Kian tetap menahan pintu untuk Vanilla sampai perempuan itu keluar dari mobil. Mereka masuk ke dalam rumah. Seperti dua orang asing, bukan seperti pengantin baru.

Begitu membuka pintu, mereka disambut oleh lelaki dan perempuan separuh baya. 

Kian tersenyum ke arah mereka. "Ini Vanilla. Mereka ini suami istri yang membantuku mengurus rumah ini. Bik Sri dan Pak Ujang."

Vanilla tersenyum membalas senyuman hangat mereka. "Saya Vanilla."

"Aduh, Mbak Vani cantik sekali. Saya ingin sekali datang tapi banyak yang harus saya dan suami persiapkan di rumah ini. Semoga Mbak Vani suka dengan rumah ini, ya."

Mereka sepertinya tidak tahu apa-apa tentang kejadian "kericuhan pernikahan hari ini". Kian berkata, "Di mobil ada koper Vanilla. Untuk barang-barangnya yang lain akan dibawa besok oleh jasa pindahan. Kamar Nenek Vanilla sudah siap?"

"Sudah siap semua, Mas untuk kamar Nenek Mbak Vania. Akan saya bawakan kopernya nanti ke kamar."

"Terima kasih, Pak Ujang. Ayo kutunjukkan kamarnya," ucap Kian.  

Kian berjalan mendahului Vanilla. Tangga dengan railing hitam dan papan kayu untuk pijakannya membawa mereka ke lantai 2. Hanya ada satu pintu kayu dengan gagang hitam di tengah lantai 2. Railing tangga tadi masih terus sampai ke lantai 2 dan memberikan batasan dengan void di ruang tamu.

"Kamar Nenek ada di lantai bawah. Ada lagi kamar tamu di samping kamar Nenek. Kamar Bik Sri dan Pak Ujang di belakang. Terpisah dari rumah utama." Kian berhenti di satu-satunya pintu. "Ini kamar kita. Tidak mungkin kita menggunakan kamar terpisah ketika ada orang lain di rumah ini."

Vanilla ingin membantah, tetapi segera ingat ucapan Kian tadi tentang dirinya terlalu sering membantah ucapan lelaki itu. 

Kian membukakan pintu dan Vanilla masuk. Ia memandang kamar itu berkeliling. Memang keseluruhan rumah ini juga kamar ini dibangun untuk bujangan lelaki. Tak ada sedikit pun pernak-pernik khas sentuhan wanita.

"Jika kau tidak suka penataan kamar ini. Ubah saja sesuai dengan yang kau inginkan."

"Itu tidak penting," ucap Vanilla yakin. Perempuan itu meletakkan tas selempangnya di atas ranjang lebar dengan dipan kayu gelap. "Ada hal lain yang penting, bukan?"

Kian berkata, "Ega sakit." 

-bersambung-

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status