Share

Bungkus Apapun yang Kau Sentuh

Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.

Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.

Kian menjawab, "Berkencan."

Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu."

"Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga.

"Yang pasti itu bukan aku."

Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."

Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."

Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang harus dibayarkan untuk sepotong pakaian.

Kian tidak mengacuhkan kata-kata keberatan dari Vanilla dan berkata kepada pegawai di depannya, "Mohon cepat ya. Istri saya sudah tidak sabar ingin mencoba pakaian dari butik ini." Vanilla semakin membelalak.

Para pegawai bergerak cepat. Vanilla digiring masuk ke salah satu kamar ganti unuk mencoba tiap setel pakaian yang disediakan.

Vanilla mencoba gaun selutut berwarna lilac dengan lengan menggembung. Kainnya halus. Ia keluar untuk meminta pendapat Kian.

Mata awas Kian memandang Vanilla tajam. "Coba yang lain."

Vanilla mengganti baju yang ia coba. Ia mulai mencoba blouse merah pekat dan rok sebetis berwarna broken white.

"Yang lain," kata Kian ketika Vanilla keluar dari ruang ganti.

"Yang lain."

"Lainnya."

"Ganti dengan yang warna kuning."

Entah di baju ke berapa, Vanilla berdiri menantang di depan Kian. Ia sudah lelah karena sedari tadi tak ada satu baju pun yang bisa pas di mata Kian. Ia lebih kasihan melihat para oegawai hilir mudik mencari koleksi butik mereka untuk dicoba oleh Vanilla. "Kau ini. Aku tahu aku tidak pernah ke butik ini. Dan aku tidak pernah memakai pakaian mahal seperti di sini. Tapi kau sudah keterlaluan."

Kian berdiri. Tak mengacuhkan Vanilla yang tengah uring-uringan dan berkata kepada pegawai yang memyambutnya tadi. "Aku beli semua pakaian yang sudah dicoba oleh istri saya. Dari ujung sana sampai ujung sana." Kian mengarahkan tangan ke ujung satu lalu ke ujung lainnya.

Vanilla dan para pegawai berdiam terpaku. Masih mencerna maksud Kian.

Pegawai itu tersadar. "Baik, Pak. Astaga, Ibu sangat beruntung mempunyai suami royal seperti suami Ibu ini."

Vanilla berkata dengan tegas kepada Kian, "Tidak perlu sampai semuanya, Kian. Satu saja sudah cukup." Ia tidak bisa membayangkan berapa banyak yang harus Kian bayar. Gajinya di kafe dua tahun pun tidak akan bisa membayar semua itu.

"Kan sudah kubilang kau sekarang istri seorang bos. Kau bisa membeli apapun yang kau mau."

"Iya, tapi tidak perlu memboroskan uang hanya untuk baju, kan. Aku tidak mau berutang budi padamu."

Kian membeku. Wajahnya kembali dingin. "Tolong semua dibungkus dan dikirimkan ke alamat ini. Jika sampai pukul 5 sore pesanan belum sampai , maka akan saya batalkan pesanan ini."

Pegawai itu mengangguk khidmat. "Sebelum jam 5, istri Anda sudah akan menerima pesanan ini."

Para pengunjung juga pegawai butik itu menatap Vanilla dengan iri. Batin Vanilla, ambil saja Kian kalau kalian mau.

***

Neneknya datang tepat tengah hari bersama dengan Pak Ujang. Di belakangnya ada truk pindahan yang membawa barang-barang milik mereka, yang sebenarnya tidak terlalu banyak.

"Apa kabar, Vani?" tanya neneknya sambil memeluknya.

Vanilla tertawa sayang, membalas pelukan neneknya. "Baru sehari kita tak bertemu, Nek."

Vanilla menuntun neneknya masuk. Bik Sri datang tergopoh-gopoh sambil mengelap tangannya yang basah. "Maaf, saya baru cuci piring di belakang. Tidak tahu kalau Nenek datang."

"Ini Bik Sri, Nek. Yang tadi menyetir mobil itu Pak Ujang, suami Bik Sri. Sudah ikut Kian lama sebelum Kian lahir." Vanilla mengenalkan kedua wanita itu.

"Saya titip Vanilla, ya, Bik Sri," ucap Nenek sambil menjabat tangan Bik Sri.

"Nenek tenang saja. Saya malah senang di rumah bakal ada dua teman baru untuk ngobrol." Bik Sri tersenyum tulus. "Mari saya antar ke kamar Nenek."

Bik Sri berjalan mendahului Nenek dan Vanilla. "Ini kamarnya. Jika ada yang Nenek butuhkan, Nenek bisa langsung bilang pada saya atau suami saya. Kalau begitu saya tinggal dulu, ya," ucap Bik Sri sambil keluar dan menutup pintu kamar di belakangnya.

Nenek duduk di ranjang empuk sambil memandang berkeliling kamar barunya. Ranjangnya berukuran 160 x 200. Terlalu besar untuk neneknya gunakan sendiri. Lemari kayu berdiri dengan kokoh di sisi dinding, dengan nakas di samping tempat tidur, dan jendela lebar berhadapan dengan pintu.

Vanilla membongkar koper dan mulai menata baju-baju neneknya.

Nenek bertanya, "Mana Kian?"

"Ke kantor, Nek. Besok, kan kami akan ke Jogja. Jadi dia harus mengecek kantor dulu." Vanilla menghampiri neneknya dan duduk di sampingnya. "Nenek tidak bertanya ke mana Ega?"

Neneknya lebih tahu dari siapa pun tentang kisah dirinya dan Ega. Bagaimana Ega menyatakan perasaannya, bagaimana perjuangan Vanilla agar mama Ega merestui, hingga setiap peristiwa dan perasaan yang tengah dialami Vanilla, neneknya adalah orang pertama yang tahu.

Vanilla sudah sejak semalam menyiapkan jawaban jika nenek bertanya tentang Ega yang tak datang di pernikahan mereka. Namun, sejak neneknya datang, malah tak muncul pertanyaan tentang Ega sama sekali.

Neneknya mengelus rambut panjang sepunggung Vanilla. "Kian sudah menceritakan semuanya pada Nenek. Ini hidupmu. Jika kau ingin meneruskan pernikahan ini karena sudah terjadi, nenek tetap mendukung setiap keputusanmu. Asal kau bahagia. Hanya itu yang nenek ingin."

Mau tak mau air mata yang sedari kemarin masih bertahan di dalam bendungannya, sekarang akhirnya jebol. Vanilla menangis di pangkuan neneknya. "Sepertinya hidupku memang penuh kesialan, Nek. Sejak lahir. Hingga kini."

Nenek terus mengelus punggung Vanilla, menenangkan. "Kau tidak boleh berkata begitu. Setiap yang terjadi pasti ada hikmahnya. Kau yang sudah dihadapkan pada masalah sejak kecil tumbuh menjadi anak yang tak mudah menyerah, dan baik hati. Itu kan sesuatu yang baik. Kau juga punya nenek yang sangat menyayangimu."

"Kenapa Tuhan tega sekali padaku, Nek? Sejak lahir aku ditinggalkan ayah. Lalu ibuku ikut meninggalkanku untuk selamanya. Sekarang, Ega, satu-satunya lelaki yang kusayangi meninggalkanku juga."

"Janji Tuhan yang harus selalu kau ingat dalam hati, setiap kesulitan akan ditemukan dengan kebahagiaan di ujungnya nanti. Yakinlah nanti kau akan bahagia. Entah bagaimana kelak pilihan hidupmu."

***

Vanilla membiarkan neneknya istirahat walaupun neneknya tetap membantah dia tidak lelah. Tapi Vanilla sangat tahu bagaimana kondisi kesehatan neneknya.

Perempuan itu menguncir tinggi rambutnya dan berniat berkemas untuk perjalanan ke Jogja besok. Ia membuka koper, yang sedari kemarin ia letakkan di pojok kamar. Sudah penuh baju-baju yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Ia keluarkan semua baju itu. Perlu diganti karena objek yang akan melihat Vanilla memakai baju itu pun ganti.

Vanilla tengah dikerubungi oleh tumpukan blouse, short dress, rok, celana pendek, dan berbagai potongan kain segala bentuk. "Semua pakaian ini harus diganti dengan yang netral. Menutupi seluruh tubuh kalau bisa," katanya dengan diri sendiri.

Tiba-tiba ia teringat Ega. Vanilla meraih ponsel yang ada di tepi nakas dan mencoba memanggil nomor telepon yang di-pin paling atas. Ega, tentunya. Sedari pernikahan, sedari Vanilla tahu pengantinnya berganti, setiap ada waktu ia akan mencoba menghubungi Ega. Siapa tahu Ega sudah selesaj proses pengobatan. Namun, selalu nihil. Tak akan ada jawaban, karena nomor Ega tak aktif. Apakah ia berada di luar negeri? Ada di mana sebenarnya lelaki itu? Vanilla sangat rindu melihat lesung pipi yang selalu muncul ketika Ega tersenyum padanya. Ia sangat ingin mengelus rambut undercut Ega. Tentunya ia rindu memeluk Ega sambil mendengarkan cerita-ceritanya.

Ia mencobanya sekali lagi. Dan tetap tidak aktif. Ia pun mengirimkan pesan. Agar jika akhirnya ponsel Ega aktif, lelaki itu bisa segera menghubunginya.

Pandangan nanar memenuhi mata Vanilla sambil menatap layar kaya yang mulai menggelap. Ia meletakkan ponselnya dan kembali berkemas.

"Kau mau pindahan?" tanya suara dalam yang tiba-tiba datang dari belakang Vanilla.

Vanilla terkesiap sambil mengelus dadanya. "Bisa tidak kau muncul dengan aba-aba terlebih dahulu. Jantungku hampir saja copot."

Dari ekor mata Vanilla, ia seperti melihat Kian tersenyum. Mungkin ia salah lihat. Tak pernah sekali pun lelaki itu tersenyum padanya. Juga kebalikannya. Vanilla merasa tak pernah ada alasan untuknya tersenyum kepada Kian.

"Kita hanya akan ke Jogja satu minggu. Kenapa baju yang kau siapkan sangat banyak?" Pandangan mata Kian menelusuri setiap jengkal baju-baju Vanilla yang berserakan.

Vanilla sudah kembali terpekur dengan pekerjaannya sejak awal. "Jangan salah sangka. Baju ini adalah baju-baju lama yang sudah kusiapkan untuk honeymoon-ku dengan Ega. Semuanya kukeluarkan dan kuganti dengan baju-baju lain."

Kian duduk di ujung ranjang sambil terus melihat kekacauan di depan Vanilla. "Kenapa kau tidak membawa semua bajumu yang sudah kau siapkan untuk Ega?" tanya Kian sok polos.

Vanilla memandang Ega tak percaya. "Aku tak mungkin mengenakan baju-baju ini," sambil menunjuk tumpukan baju-baju seksi kado dari teman-temannya. Lalu Vanilla melanjutkan, "Jika pergi denganmu. Besok kan hanya liburan, bukan honeymoon."

Kian membuang muka tak acuh. "Kasihan sekali kau."

Vanilla tak membalas ucapan Kian. Karena baginya sendiri, ia memang sangat malang.

"Kau tidak berkemas?"

"Nanti saja."

Tiba-tiba ponsel Vanilla berdering nyaring. Vanilla tertegun. Apakah Ega akhirnya menghubunginya. Ia segera meraih ponsel di sebelah Kian dan melihat layarnya. Mira. Vanilla memandang Kian penuh arti. Sebenarnya ia ingin mengusir Kian, tapi ini kan kamarnya.

"Halo Mira," ucap Vanilla penuh penekanan. Ia ingin agar Kian tahu bahwa ia sedang bertelepon dengan temannya dan ingin ia pergi tak menguping.

Kian membuang muka sambil melepas dasinya. Jasnya sedari dia masuk kamar sudah ia tanggalkan. Kian berbaring di tempat tidur dengan bertumpu lengannya. Ia menatap langit-langit kamar.

"Iya besok, kami berangkat." Hanya terdengar suara Vanilla yang menjawab orang di seberang telepon.

"Ceritanya panjang. Aku tak tahu Ega di mana."

"Nanti akan kuceritakan ketika aku sudah masuk kerja."

Vanilla mengakhiri telepon. Kian bertanya, "Siapa?"

"Tenang saja, bukan Anin yang menelepon." Vanilla menyindir Kian, menyebut mantan kekasih Kian sekaligus sahabat Vanilla.

"Kenapa memang Anin?"

Vanilla berdiri berkacak pinggang di depan Kian yang tengah berbaring. "Kau memang tidak peka. Anin mantanmu. Kau sudah berselingkuh darinya. Anin sakit hati. Dia selalu menceritakan keluh kesahnya padaku. Dan sekarang kau menikah denganku. Lantas bagaimana perasaan Anin?"

"Itu kan kisah masa lalu. Dia pasti juga sudah tidak punya perasaan apapun padaku."

"Kau memang tidak peka."

-bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status