“Zara!! Ambil kunci mobil gue, buka pintunya!” titah Arkana yang panik sambil menggendong sang Kakak ipar keluar dari cafe.
Beberapa pelayan dan pengunjung juga dibuat terkejut oleh teriakan Arsha yang mengatakan akan segera melahirkan.
Buru-buru Zara menarik kunci mobil di saku celana Arkana kemudian mengarahkannya kepada setiap mobil yang terparkir di sana.
“Kasih tau Angga!” Arkana berkata kepada pelayan yang panik sedang berusaha membantu mereka.
Pria pelayan itu pun masuk kembali ke dalam mencari ponselnya untuk melakukan perintah Arkana.
Lampu dari sebuah mobil keluaran Eropa dengan harga fantastis, berkedip beberapa kali memberitau Zara jika mobil tersebut adalah milik Arkana.
Zara membuka pintu kabin bagian belakang agar Arkana mudah membawa Arsha ke dalamnya.
“Duh ... sakit,” ringis Arsha dengan mata terpejam.
“Sabar, Ca ... gue bawa lo ke rumah sakit sekarang,” ujar Arkana, tangannya mengusap kepala Arsha yang dibalas anggukan oleh sang Kakak ipar.
“Zara, lo temenin Caca di belakang ... masuk ke mobil sekarang!”
Zara yang tertegun sesaat di samping mobil kemudian mengerjap lalu mengangguk cepat.
Masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Arsha yang tidak berhenti meringis.
“Ca ... kuat, Ca ... tahan sebentar ya.” Zara memijat lengan Arsha berusaha mengalihkan rasa sakit di perut sang sahabat.
“Kosongkan jalan menuju rumah sakit, gue mau ada di sana paling lama lima belas menit!” Seperti seorang penguasa, Arkana memberi perintah demikian kepada entah siapa di ujung sambungan telepon.
Tanpa basa-basi memutuskan panggilan tersebut untuk beralih pada panggilan lain.
Hanya dengan satu tangannya Arkana memutar kemudi, membawa mobil itu keluar dari parkiran galeri milik Arsha lalu masuk ke jalan besar.
Sesaat kemudian dua buah motor voorijder sudah berada di depan mobilnya membuat pemakai jalan memelankan laju kendaraan mempersilahkan mobil Kana melaju terlebih dahulu.
“Bang! Caca mau melahirkan! Kita ketemu di rumah sakit Grandpa,” kata Arkana setelah sambungan teleponnya mendapat jawaban dari Kama-sang Kakak pertama.
Ternyata bukan hanya Kama, Arkana juga menghubungi Grandpanya agar menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan Arsha melahirkan di rumah sakit.
Arkana memang lahir dari keluarga yang sudah kaya turun temurun. Kakek dari Ayahnya adalah pemilik kerajaan bisnis di Indonesia dan Kakek dari Ibunya merupakan seorang Dokter yang memiliki Rumah Sakit Swasta terbesar dan terbaik di Negara ini.
Zara memperhatikan setiap detail apa yang dilakukan Arkana, tidak ada yang berubah meski tujuh tahun berlalu.
Arkana tetaplah Arkana yang selalu berkuasa dan bersikap sesuka hati.
Semasa SMA selain kepala tim basket, Arkana juga ketua genk dari anak-anak nakal yang sering membolos sekolah.
Dengan uang orang tuanya, Arkana tidak pernah kehabisan teman dan bisa melakukan apapun yang ia mau.
Tangan dengan gurat otot samar itu begitu cekatan memutar-mutar stir, menyesuaikan dengan jalanan yang harus putar balik beberapa kali untuk sampai di Rumah Sakit.
Arkasa melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi tapi guncangan di dalam mobil tidak terlalu terasa.
Entah karena mobil mewah itu memiliki kualitas shockbreaker yang unggul atau karena memang skill mengemudi Arkana yang patut diacungi jempol.
Setiap trafficlight yang dilewati Arkana mendadak hijau, mengurai kemacetan yang terjadi sehingga mobil Arkana dapat melaju kencang di jalanan.
Zara berpikir, apakah ini ada hubungannya dengan orang yang pria itu hubungi tadi?
Arsha tidak berhenti merintih membuat ngilu dan panik Arkana yang sedang menyetir.
Begitu juga Zara yang meringis seolah ikut merasakan apa yang sedang Arsha rasakan saat ini.
Dengan lembut Zara mengelap peluh yang membanjiri kening Arsha padahal pendingin udara di mobil itu bekerja maksimal.
Wajah Arsha memucat menahan sakit yang sedang menderanya.
“Abang lo kebangetan, Kana! Dia pengen punya anak delapan coba ... dia enak aja bikinnya, gue yang begah ... gue yang naruhin nyawa ngelahirinnya.” Arsha meracau.
“Harusnya lo suruh laki lo kawin lagi aja, Ca ... biar ada yang bantuin melahirkan anak-anaknya.” Arkana berkelakar menjawab keluhan sang Kakak ipar.
Dan bantal leher berbentuk kudanil menghantam kepala Arkana.
Zara-si pelaku menatap tajam Arkana ketika pria itu mengaduh dan melihat ke belakang melalui kaca spion.
Semenjak dulu, Arkana memang tidak pernah berpikir sebelum berucap.
Zara melirik jam usang di pergelangan tangannya, ucapan Arkana menjadi nyata karena lima belas menit kemudian mereka sampai di rumah sakit.
Beberapa perawat sudah menunggu di loby dengan ranjang beroda khusus pasien.
“Jauhin tangan kalian dari Kakak ipar gue!” Arkana berseru dengan tatapan tajam menghunus membuat dua orang perawat pria yang sedang membantu mendadak pucat pasi lalu menjauh dari pintu mobil.
Arkana sendiri yang menggendong Arsha dan meletakannya di atas brankar.
“Gue minta ... semua perawat perempuan yang nanganin Kakak ipar gue, cepatan!” Arkana memberi perintah tegas kepada perawat pria yang baru saja ia bentak.
Arkana tidak rela Kakak iparnya yang cantik di sentuh oleh pria lain selain suaminya.
Zara melihat sisi lain Arkana, pria yang sangat menyebalkan dan sering kali menjailinya semasa sekolah dulu ternyata pria penyayang dan posesif kepada orang-orang yang ia sayangi.
Seorang perawat yang mendengar dan melihat kekasaran Arkana kemudian menghampiri.
“Kenapa lo? Enggak dapet jatah tadi pagi dari cewek-cewek barbie lo itu?” Perawat cantik yang ikut mendorong brankar Arsha pun mendesis.
Ucapannya terlalu jelas hingga masih bisa didengar oleh Arsha dan Zara yang kemudian mengkerutkan kening.
Tapi Zara tidak heran, pria setampan Arkana pasti memiliki banyak kekasih.
Dulu saja banyak Kakak kelas, teman setingkatnya hingga adik kelas yang berebut untuk mendapatkan hati Arkana.
“Apa? Apa? Gimana?” Diantara rasa sakitnya, Arsha masih bisa kepo.
“Enggaaaak! Dia cemburu aja setelah gue putusin dan gue deket sama banyak cewek!” Arkana meralat, tatapan matanya menghujam perawat cantik bernama Bunga yang kemudian terdiam, melipat bibirnya ke dalam karena telah keceplosan bicara.
Arsha sempat mendapat pengecekan oleh seorang Dokter wanita, perawat pria yang telah digantikan oleh perawat perempuan itu pun membawa Arsha menuju ruang bersalin.
“Suaminya mana?” Dokter itu bertanya.
“On the way, Dok!” jawab Arkana cepat.
“Suruh langsung masuk ya kalau udah datang,” pesan Dokter paruh baya itu lalu masuk ke ruang bersalin setelah mendapat anggukan Arkana.
Perawat Bunga keluar dari ruang bersalin, matanya mendelik tajam ke arah Arkana kemudian melewatinya begitu saja.
“Zara, lo tunggu di sini ... temenin gue!”
Zara yang duduk di ruang tunggu lalu mengangkat kedua alisnya mendengar perintah Arkana, dalam hati ia mengiyakan keinginan Arkana tapi seketika wajahnya memberengut saat Arkana pergi menyusul Bunga yang sosoknya menghilang saat berbelok di lorong.
Zara mengembuskan napas berat, untuk apa pria itu minta ditemani kalau dia sendiri pergi bersama gadis lain.
“Aww ... sakit Kana!” Bunga meringis tatkala lengannya dicengkram oleh pria besar yang sudah bertahun-tahun ikut meramaikan hidupnya.
“Mulut lo tuh emang harus di kasih pelajaran ya! Keceplosan mulu!”
Arkana memojokan Bunga ke dinding, kebetulan ruang tunggu untuk pasien penderita kanker di mana mereka berada saat ini kosong melompong.
“Lepas ah, iya gue salah! Enggak akan lagi!”
“Sekali lagi keceplosan di depan keluarga gue atau lo bergosip di belakang gue—balikin biaya sekolah keperawatan lo!”
“Kok gitu? Lo ‘kan udah nikmatin tubuh gue, anggap aja lunas!” Bunga tidak terima.
“Hey, bukan gue ya yang mau ... tapi lo yang ngemis-ngemis minta gue tidurin ... dan gue akan minta balik semua uang-uang gue buat sekolah dan gaya hidup lo kalo bacot lo lemes kaya tadi!”
Arkana mencengkram rahang Bunga kuat-kuat membuat wajahnya mendongak.
“Siapa yang lo datangin waktu lo abis berantem dan tubuh lo penuh luka? Siapa yang ngeluarin timah panas dari sini?” Sambil berucap, Bunga menatap Arkana teduh, jemarinya menyentuh pinggang sang pria yang pernah terluka.
“Itu kenapa gue bayarin lo sekolah keperawatan!”
Arkana melepaskan cengkramannya dengan kasar kemudian pergi meninggalkan Bunga begitu saja.
Bunga mendengus kesal. “Dasar brengsek!!” gumam Bunga mengumpat.
Di ruang tunggu bersalin, Zara duduk sambil mengotak-ngatik ponselnya.
Ponsel tua yang hanya bisa mengirim pesan dan telepon itu nyaris jatuh saat tiba-tiba sosok Arkana berdiri di hadapannya.
“Banyak yang harus lo ceritain sama gue!”
Zara mendongak dengan kening berkerut. “Emang lo siapanya gue?”
“Kana! Caca di mana?”
Kalimat Arkana yang sudah berada di ujung lidah untuk menjawab bertanyaan bernada sinis dari Zara tertahan saat mendengar suara Kama-sang Kakak yang sedang berlari di lorong bergema bersahutan dengan suara fantovelnya yang menghentak lantai.
“Di dalem, Bang! Kata Dokter tadi lo masuk aja.”
Kama mengangguk, melirik sekilas ke arah gadis cantik yang bersama Arkana lalu masuk ke dalam ruang bersalin.
Arkana mengusap wajah lalu menyugar rambutnya ke belakang sambil menjatuhkan bokongnya di kursi ruang tunggu.Seperti mimpi, akhirnya ia bertemu kembali dengan gadis yang selama ini ia cari tanpa henti.Gadis itu kini duduk di sampingnya, tapi hubungan mereka tidak pernah baik jadi pasti Zara juga enggan menceritakan kisah hidupnya terlebih tadi ia mencecarnya dengan kasar.Arkana mengembuskan napas pelan. “Sorry ... gue cuma pengen tau kenapa lo ngilang, ” katanya kemudian dengan nada lebih lembut.Arkana ingat bagaimana dirinya selalu menjaili Zara semasa SMA, tiada hari tanpa membuat kesal gadis itu.Bagi Arkana, wajah memberengut kesal Zara sangat cantik dan sedap dipandang mata selain lucu karena bibirnya selalu mengerucut.Sampai akhirnya Arkana menuliskan nama Zara di hatinya, ia jatuh cinta kepada gadis itu karena sebuah kutukan.Semuanya dimulai ketika hari senin pagi, hari yang sangat Arkana benci karena harus kembali ke sekolah setelah menghabiskan masa liburan kenaikan kel
Zara memandangi dua bayi kembar yang baru saja lahir ke dunia, begitu cantik dan sangat beruntung karena lahir ditengah-tengah dua keluarga yang kaya raya.Ia mengesah mengingat dulu pernah menjadi orang kaya dan menikmati segala kemewahan.Tuhan begitu mudah merubah nasib seseorang seperti membolak-balikan telapak tangan.Sekarang kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat tapi Zara patut bersyukur karena telah terbebas dari Jordi.Ia dan keluarganya bisa kembali ke Negaranya dan memulai hidup baru.Sebuah sentuhan di pundak membuat Zara menoleh. Arkana, pria itu masih saja mengikutinya.Sebetulnya apa yang dia mau?“Arsha udah masuk ruang rawat, kita ketemu dia dulu trus pamit ... nanti gue anter lo pulang,” ujar Arkana mengatur sesuka hati.Zara menghadapkan tubuhnya secara sempurna ke depan Arkana, dagunya terangkat menatap lekat mata pria yang tidak bisa ia pungkiri jika Arkana yang sekarang jauh lebih tampan dengan tubuh kekar berisi sedikit berbeda dari Arkana yang dulu
Keheningan terasa pekat mengisi perjalanan pulang mereka kala itu.Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Arkana membayangkan betapa menyedihkan hidup Zara selama ini setelah apa yang ia dengar dari penuturan sang gadis di restoran.Ia sendiri sampai tidak berselara makan tapi puas melihat Zara yang sepertinya sangat lapar bisa menghabiskan semua makanan yang ia pesan.Sedangkan Zara merutuki apa yang baru saja dilakukannya, menceritakan segala penderitaan yang dialami dan alasan kenapa ia dan keluarga harus melarikan diri.Untuk apa juga ia menceritakan semua kisah hidupnya yang menyedihkan kepada Arkana?Bisa saja semua ceritanya nanti akan dijadikan bahan bullyan pria itu, benak Zara kembali berprasangka buruk kepada Arkana.Zara belum mengetahui bila selama ini Arkana mencarinya dan sekarang pria itu sama kejamnya dengan Jordi hanya saja Arkana tidak akan pernah menyakiti Zara.“Di sini aja Kak, rumah aku jauh di dalam gang,” kata Zara saat mobil yang dikemudikan Arkana suda
“Mbak Zara, ada yang nyari.” Seorang pelayan pria memberitau.“Siapa yang nyari?” Angga yang saat itu sedang mengecek persediaan bahan pun bertanya demikian.“I ... itu, Pak ... emm, Kakak iparnya Bu Arsha yang sering ke sini itu loh ... temennya Bapak juga.” “Arkana?” Angga balas bertanya dan sang pelayan pria muda itu mengangguk membenarkan.Mendengar nama Arkana membuat jantung Zara berdebar kencang.Untuk apa pria itu datang lagi menemuinya di tempat kerja yang susah payah ia dapatkan.Padahal Zara sedang dalam masa percobaan. Ia tidak ingin membuat Angga sang Manager kecewa.“Kamu kenal sama dia, Zara?” Sekarang Angga bertanya kepada Zara dengan tatapan skeptis.Pria itu sampai menyimpan tabnya di atas meja menunggu penjelasan Zara, sementara Zara pura-pura sibuk membersihkan dapur sambil menunggu pesanan selesai dibuat oleh koki.“Kak Arkana ... Kakak kelas waktu SMA, Pak.” Zara menjawab jujur, karena terakhir kali membohongi Angga mengenai pendidikan terakhirnya—pria itu langs
Entah member apa yang dimiliki Arkana hingga pria itu mendapat fasilitas pengantaran barang belanjaan dari setiap butik yang mereka kunjungi jadi tidak perlu repot-repot menenteng semua barang-barang itu.Sengaja Zara memilih banyak barang-barang mahal bahkan sebagian adalah barang yang ia inginkan tapi Zara tau diri untuk bisa memiliki barang branded tersebut.Hasrat branded dan fashionablenya telah ia kubur dalam masa pelarian.Arkana tidak keberatan setiap kali Zara memilih banyak barang dengan harga mahal.Zara berpikir jika Arkana sangat mencintai kekasihnya, ia pun penasaran siapa gadis yang mampu bertahan dengan pria menyebalkan seperti Arkana.Ah, tapi mungkin Arkana tidak menyebalkan jika menghadapi kekasihnya.Pria itu pasti sangat lembut, menghargai dan pendengar setia sang kekasih sehingga siapapun perempuan itu mau menerima Arkana selain Arkana memang tampan dan kaya raya.“Kok ngelamun sih, sayang?” tegur Arkana saat mobilnya sudah melaju di jalanan Ibu Kota sedang berju
Zara melamun sepanjang perjalanan padahal saat bertemu dengan Rachel dan Arsha tadi, banyak yang mereka bicarakan.Ia baru mengetahui jika Rachel telah menikah dengan Kakak dari Arsha dan telah dikaruniai anak kembar.Gelak tawa juga tercetus berkali-kali hingga perut Zara terasa kram.Tapi di balik itu Zara insecure karena saat ini ia tidak sederajat lagi dengan Rachel dan Arsha, apalagi Rachel berkali-kali kedapatan melirik pakaian yang ia kenakan.Zara tau bila Rachel tidak bermaksud jahat, semua orang pasti heran dengan perubahan drastisnya.Tapi hal itu justru membuat Zara merasa jika ada jurang pemisah di antara mereka dan tidak seharusnya ia masih menjadi sahabat Arsha dan Rachel.Beruntung Arkana segera mengajaknya pulang dengan alasan hari sudah malam.“Ra,” panggil Arkana sambil menyentuh baru Zara dan sang gadis pun menoleh.“Makan dulu ya,” kata pria itu kemudian.“Pulang aja, Kak ... aku enggak laper.” “Enggak laper tapi lemes gitu ngomongnya ... biasanya lo tuh galak ta
Arkana tergelak karena Zara memutuskan sambungan telepon sepihak.Gadis itu pasti sedang galau sekarang, antara senang juga jual mahal.Tidak ada gadis yang tidak menyukai barang-barang mahal, bukan?Arkana melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota dan melambat ketika memasuki pelataran parkir sebuah gedung di mana Night Club bergengsi berada di dalamnya.Mobil sport itu terus melaju melewati banyak mobil mewah menuju basement dan berhenti di privat parking.Arkana menggunakan lift khusus untuk sampai ke bagian lain gedung tersebut.Dua pria bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam menyambutnya penuh hormat, membukakan pintu untuk Arkana lalu menutupnya kembali dan berjaga di luar.Arkana duduk di kursi ke besarannya, di atas meja terdapat banyak layar yang tersambung dengan kamera CCTV.Pria itu menatap salah satu layarnya dengan seksama, layar tersebut menampilkan keadaan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Darius beserta Rogger sang asisten juga seorang
“Gue enggak bisa mecat Zara gitu aja ... dia lagi butuh pekerjaan lagian gue enggak enak hati, dia temen gue masa iya gue enggak bantuin dia?” Dari ujung sambungan telepon, Arsha menolak mentah-mentah keinginan Arkana yang memintanya melarang Zara bekerja di cafe miliknya.“Tapi masa Zara kerja jadi pelayan?” Arkana tidak terima calon istrinya bekerja sebagai karyawan rendahan.“Itu maunya Zara, gue juga udah minta dia kerja di perusahaan Abang Kama tapi dianya enggak mau.” Arkana diam sejenak, hanya hembusan napas kasar yang terdengar oleh Arsha dari ujung sambungan telepon.Tampaknya Arkana begitu khawatir dengan keadaan Zara padahal dari yang Arsha dengar dari Angga—Zara bekerja dengan rajin dan semangat.“Lo suka sama dia ya?” Arsha menebak.“Bukan suka lagi, Ca ... gue cinta sama dia, gue mau jadiin dia istri gue!” “Susah Kana ... lo bakal susah dapetin dia, Zara pernah cerita kalau dia trauma gara-gara semasa SMA sering lo isengin.” Arsha tergelak setelah berkata demikian.“Ba