Share

Masa Lalu Zara

Keheningan terasa pekat mengisi perjalanan pulang mereka kala itu.

Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Arkana membayangkan betapa menyedihkan hidup Zara selama ini setelah apa yang ia dengar dari penuturan sang gadis di restoran.

Ia sendiri sampai tidak berselara makan tapi puas melihat Zara yang sepertinya sangat lapar bisa menghabiskan semua makanan yang ia pesan.

Sedangkan Zara merutuki apa yang baru saja dilakukannya, menceritakan segala penderitaan yang dialami dan alasan kenapa ia dan keluarga harus melarikan diri.

Untuk apa juga ia menceritakan semua kisah hidupnya yang menyedihkan kepada Arkana?

Bisa saja semua ceritanya nanti akan dijadikan bahan bullyan pria itu, benak Zara kembali berprasangka buruk kepada Arkana.

Zara belum mengetahui bila selama ini Arkana mencarinya dan sekarang pria itu sama kejamnya dengan Jordi hanya saja Arkana tidak akan pernah menyakiti Zara.

“Di sini aja Kak, rumah aku jauh di dalam gang,” kata Zara saat mobil yang dikemudikan Arkana sudah mendekati gang di mana rumahnya berada.

Arkana mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya lalu turun mengambil paperbag dari dalam bagasi.

“Ayo,” kata pria itu lagi kepada Zara yang juga sudah turun dari mobil tapi malah berdiri mematung.

“Kemana?”

“Ke rumah lo ... .”

Arkana menarik tangan Zara masuk ke dalam gang sempit yang disebutkan Zara tadi ketika dalam perjalanan.

“Tapi jauh, Kak ... .” Zara menolak Arkana mengantarnya lalu matanya melirik paperbag berisi makanan dari restoran yang ditenteng Arkana, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan sang pria dengan paperbag itu.

“Biarin!!” balas Arkana tidak peduli.

“Lepasin tangan aku kalau gitu, malu diliatin orang.”

“Biarin aja!”

Zara mengembuskan napas, berhenti mendebat Arkana yang tidak pernah mau mendengarnya.

Ia harus menunduk menyembunyikan wajah agar para tetangga tidak mengetahui jika yang sedang digandeng oleh pria tampan dengan pakaian mentereng adalah dirinya.

Saat ini Zara dan Arkana seperti bumi dan langit, pakaian yang dipakai Arkana beserta jam dan sepatu tidak perlu ditanya lagi harganya.

Sekilas saja orang bisa melihat jika Arkana adalah pria kaya tidak seperti dirinya yang memakai pakaian lusuh yang bahkan sudah terdapat sobekan di bagian kerahnya.

“Jauh banget rumah lo, Ra ... .” Arkana terdengar mengeluh.

“Kan udah aku bilang tadi, Kak Ar yang enggak mau denger.”

Cukup lama mereka berjalan, sampai akhirnya tiba di sebuah rumah kontrakan kecil, rumah itu tampak reyot tapi bersih.

Seorang pria paruh baya duduk di teras hanya menggunakan kaos singlet, mengibas-ngibaskan kertas selebaran untuk menghilangkan hawa panas di tubuhnya.

“Ayah ...,” panggil Zara.

Willy menoleh saat mendengar suara putrinya memanggil.

“Zara ... baru pulang, Nak?” Pria paruh baya itu pun beranjak dari kursi usang yang ia duduki.

Willy melirik pria yang bersama putrinya. Yang bersangkutan tersenyum ramah lalu mengulurkan tangan ke arah Willy.

“Apa kabar Om ... Saya Arkana Gunadhya, pacar Zara.”

Zara terkesiap lalu menepuk lengan Arkana sedikit kencang.

“Apaan sih!” tegur Zara membantah keras dengan mata terbelalak membuat Willy tergelak.

“Kabar Om baik ... ayo masuk, Nak!”

“Ini ada sedikit makanan Om, tadi kami makan malam dulu di luar makanya agak terlambat pulang ke rumah.” Arkana menyerahkan paperbag yang ia bawa.

Zara tercenung, ternyata makanan itu untuk kedua orangtuanya.

Apakah kisah hidup yang tadi ia ceritakan menyentuh hati Arkana hingga pria itu merasa iba?

Tapi Zara tidak butuh belas kasihan Arkana, ia dan kedua orangtuanya masih sanggup bertahan hidup dengan usaha sendiri.

“Ah ... tidak perlu repot-repot, Nak Arkana ... tapi, terimakasih ya.” Willy meraih paperbag itu untuk menghargai Arkana.

“Bun ... ada tamu Bun.” Willy memanggil sang istri.

“Iya .. Yaaaah.” Maya-Ibunda dari Zara setengah berlari dari dalam rumah.

“Selamat Malam Tante, saya Arkana Gunadhya.” Arkana memperkenalkan diri.

“Oalaaah, ini Nak Arkana anaknya pemilik AG Group ‘kan? Yang temen SMA Zara itu? Ya ampun ... dulu, Zara sering ceritain Nak Arkana sama Tante ... ayo masuk-masuk.”

Arkana tersenyum sambil mengangguk sebagai tanggapan lalu melirik Zara yang wajahnya memerah akibat ucapan sang Bunda yang membocorkan cerita jika di masa lampau gadis itu sering membicarakannya.

Willy sudah mengetahui siapa Arkana dari nama belakangnya tapi ia memilih untuk diam dan tidak menyinggung dari mana pria itu berasal agar tidak ada jarak di antara mereka mengingat dirinya bukan lagi pengusaha sukses seperti dulu.

“Maaf, Nak Arkana ... rumahnya sempit,” ujar Willy berharap pria yang mengaku sebagai kekasih anaknya itu memaklumi.

“Enggak apa-apa, Om ... saya sama Zara mau ngobrol di luar sebentar aja, boleh?”

“Oh ... silahkan-silahkan.” Bunda Maya yang membalas lalu menarik suaminya ke dalam dan menutup pintu.

“Kita nguping dari kamar,” bisik Maya pada suaminya.

“Bun ... kita makan ini aja, ngapain nguping ... urusan anak muda.”

“Eh ... dari mana itu?” Maya mengambil alih paperbag dari tangan suaminya.

“Dari Nak Arkana, makan yuk ... tadi Bunda bilang katanya laper.”

“Duh, laper banget Yah ... ayo kita makan.”

Kedua orang tua Zara tidak jadi menguping, mereka memutuskan pergi ke dapur dan menyantap makanan pemberian Arkana yang dulu sering kali mereka nikmati.

“Mau ngomong apa sih?” Zara duduk di kursi yang tadi sang Ayah duduki.

“Besok gue jemput ya!”

“Jemput kemana? Besok aku kerja.”

“Kerja di mana?”

“Di caffenya, Caca.”

“Yang bener aja, Ra! Masa lo kerja di sana?”

“Ya masa aku bohong, tadi aku ‘kan udah bilang kalau Ayah belum dapet pekerjaan tetap jadi aku yang kerja.”

“Lo kerja sama gue ... Ayah lo juga kerja sama gue, jangan kerja di Caffe itu!” Arkana berseru tegas.

“Kak! Tolong hargai aku ... aku bukan siapa-siapanya Kakak, aku memang miskin sekarang tapi aku bukan bonekanya Kakak yang bisa diatur-atur sesuka hati Kakak ... dan tolong jangan kasian sama aku karena cerita hidup aku selama ini, tadi Kakak yang maksa aku untuk cerita jadi aku cerita ... semua itu bukan untuk minta belas kasihan Kak Arkana ... jadi tolong jangan ganggu hidup aku, Kak ... aku ingin mulai hidup aku dari awal lagi.”

“Gue enggak maksud ganggu, Ra ... gue cuma mau bantu.”

“Enggak perlu, Kak ... makasih banyak, dulu dalam pelarian tanpa bantuan siapapun kami masih bisa hidup.”

“Zara!” Arkana mencengkram tangan Zara kuat, pria itu sedang memaksa agar Zara menuruti keinginannya.

“Kak Arkana, please.” Tatapan Zara penuh permohonan membuat Arkana tidak tega memaksakan kehendaknya lagi.

Arkana melepaskan cengkraman tangannya lalu pergi tanpa sepatah kata pun.

Zara mengembuskan napas lega, akhirnya ia bisa terbebas dari pria tampan menyebalkan itu.

Sewaktu SMA hidupnya begitu suram karena ulah Arkana dan sekarang ia tidak ingin berhubungan dengannya lagi.

“Bener ‘kan kata Bunda ... kalau Arkana itu suka sama kamu, sayang ...,” celetuk sang Bunda ketika Zara baru saja masuk ke dalam rumah.

Willy dan Maya sempat mendengar pertengkaran kecil mereka dan sebagai orang tua, mereka bisa mendengar ada nada penuh khawatir dari setiap kata yang diucapkan Arkana.

“Apaan sih Bunda.” Zara merajuk kemudian masuk ke dalam kamar tidak ingin lebih lanjut membicarakan Arkana.

Hari ini sangat melelahkan, ia membutuhkan istirahat cukup agar besok di hari pertamanya bisa bekerja dengan maksimal.

“Memangnya anak Gunadhya itu dulu pernah deket sama Zara ya, Bun?” Willy jadi penasaran dengan hubungan Zara dan anak pengusaha terkaya di Negri ini.

“Enggak sih, tapi waktu SMA ... Zara pernah cerita kalau Arkana sering isengin dia, trus Bunda bilang kalau Arkana begitu karena sebenernya suka sama Zara ... Bunda juga kasih saran biar Zara jangan jutek-jutek sama Arkana ... eeh, Zara enggak percaya ... dia bilang kalau Arkana suka sama dia, enggak mungkin ngisengin dia terus.”

Willy tergelak mendengar cerita sang istri. “Kalau menurut Ayah gimana?” Maya pun menanyakan pendapat suaminya.

“Udah jelas kalau Arkana memang suka sama Zara,” jawabnya yang mendapat anggukan dari Maya.

“Yah, kayanya Bunda baru bisa tenang kalau Zara udah nikah ... walau Jordi di penjara tapi kok Bunda ngerasa dia bisa melakukan apa aja dari dalam sana.” Maya mengungkapkan kekhawatirannya.

Helaan napas keluar dari mulut Willy, satu tangannya merangkul pundak sang istri membuat Maya bisa bersandar di pundak suaminya tercinta.

“Enggak mungkin, Bun ... segala gerak gerik Jordi masih dalam pemantauan intelejen karena menyangkut orang-orang penting jadi Ayah rasa dia enggak akan ngurusin kita lagi.”

Maya mengangguk mengerti. Sejujurnya kata-kata Willy hanya untuk menenangkan sang istri, jauh di dalam hati ia pun masih merasa khawatir bila Jordi akan merenggut putrinya.

***

Arkana tertegun beberapa saat di balik kemudi lalu mengusap wajahnya kasar dan memukul stir berkali-kali.

“Shiittt!!!”

Selama ini Arkana selalu mudah mendapatkan apapun hanya Zara yang sulit ia gapai.

Pundak Arkana melorot, punggungnya bersandar pada jok mobil.

Pria itu sedang menyesali apa yang dilakukannya semasa SMA kepada Zara.

Jika saja ia bisa memberi kesan baik di masa lampau mungkin saat ini Zara tidak akan menjauhinya.

Bukan salah Zara, Arkana yang bodoh, Arkana yang brengsek, Arkana yang tidak mengerti bagaimana memperlakukan seorang gadis dengan baik.

Ia pun teringat sesuatu, merogoh ponsel dari dalam saku celana lalu menekan nomor Darius untuk menghubunginya.

Beberapa saat kemudian panggilan tersebut mendapatkan jawaban.

“Yes ... brader!!” sapa Darius dari ujung sana.

“Darius, gue mau lo cari tau tentang Pak Willy Darmawan ... beliau lagi cari kerjaan dan minta Radit untuk masukin Pak Willy ke salah satu perusahaan gue,” titah Arkana sang penguasa.

“Perusahaan lo yang mana? Yang legal apa yang ilegal?” Darius pun bertanya dengan santainya.

“Yang legal, dodol!! Dia calon mertua gue, kasih posisi tinggi, rumah dan mobil dinas ... kasih fasilitas terbaik tapi jangan sampai dia tau kalau gue ada di balik itu.”

“Tumben lo nepotisme ... lagian kalau enggak salah Bapaknya Bunga namanya Bobby Santoso, sejak kapan beliau ganti nama?”

Arkana menyugar rambutnya ke belakang. “Pak Willy Darmawan itu bapaknya Zara bukan bapaknya Bunga, Dariuuusss.” Arkana menggeram kesal.

“Zara yang lo cari-cari itu? Lo ketemu dia di mana?” cecar Darius ingin tau.

“Ceritanya panjang ... nanti gue ceritain!”

“Kenapa enggak sekarang aja ceritanya? Memangnya lo mau kemana? Mau ke apartemen Bunga ya? Mau minta jatah ya ... eh, lupa ... ‘kan udah ada Zara.” Darius menepuk keningnya agar lebih dramatis.

Decakan lidah Arkana terdengar kencang. Salah satu sahabat tapi tangan kanannya itu memang sangat menyebalkan.

“Ck!! Gue mau ke rumah sakit, kakak ipar gue lahiran ... gue tunggu kabarnya besok pagi!”

“Mana bisa Kanaaa, gue bukan Sangkuriang ... besok, gue harus cari tau dulu Pak Willy masukin lamaran kerja kemana aja atau minta kerjaan ke siapa aja, lo enggak pengen Pak Willy tau kalau lo yang kasih dia kerjaan ‘kan? Jadi harus pelan-pelan donk, bradeeer.”

“Kalau sampai besok Pak Willy Darmawan belum dapet panggilan interview, gue pecat lo jadi tangan kanan gue!”

Arkana menutup sambungan telepon sepihak setelah mengancam Darius dengan nada tenang.

Darius adalah orang kepercayaan Arkana yang pria itu kenal cukup lama dari dunia hitam.

Berbeda dengan Raditya yang merupakan sahabat Arkana ketika berkuliah di Amerika dulu.

Raditya lahir dari keluarga sederhana namun memiliki otak jenius dan saat ini dipercaya memegang beberapa perusahaan Arkana yang tidak diketahui keluarga Gunadhya karena perusahaan tersebut dibangun dari uang yang dihasilkan dari dunia hitam.

Darius dan Raditya menjadi orang kepercayaan Arkana untuk menjalankan semua bisnis legal sekaligus ilegalnya dan hanya kedua pria itu dan Bunga yang mengetahui sosok Arkana yang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status