Entah member apa yang dimiliki Arkana hingga pria itu mendapat fasilitas pengantaran barang belanjaan dari setiap butik yang mereka kunjungi jadi tidak perlu repot-repot menenteng semua barang-barang itu.
Sengaja Zara memilih banyak barang-barang mahal bahkan sebagian adalah barang yang ia inginkan tapi Zara tau diri untuk bisa memiliki barang branded tersebut.Hasrat branded dan fashionablenya telah ia kubur dalam masa pelarian.Arkana tidak keberatan setiap kali Zara memilih banyak barang dengan harga mahal.Zara berpikir jika Arkana sangat mencintai kekasihnya, ia pun penasaran siapa gadis yang mampu bertahan dengan pria menyebalkan seperti Arkana.Ah, tapi mungkin Arkana tidak menyebalkan jika menghadapi kekasihnya.Pria itu pasti sangat lembut, menghargai dan pendengar setia sang kekasih sehingga siapapun perempuan itu mau menerima Arkana selain Arkana memang tampan dan kaya raya.“Kok ngelamun sih, sayang?” tegur Arkana saat mobilnya sudah melaju di jalanan Ibu Kota sedang berjuang di tengah-tengah kemacetan jam pulang kerja.Zara menoleh dengan tatapan tajam menghunus. “Aku bilang berhenti panggil aku ‘sayang’, Kak ... Kakak ‘kan udah punya pacar masa manggil perempuan lain sayang?”“Trus lo mau gue panggil apa?”“Zara aja, cukup!” tegasnya lantang.“Kalau Hon, gimana?” tanya pria itu santai.“Hon? Apaan?”“Honey!” Arkana pun terkekeh.Zara mengembuskan napas kesal, membuang tatapannya ke arah lain.Percuma berdebat dengan Arkana, Zara akan selalu kalah dan berakhir kesal sendiri.“Lo pasti laper ya? Nanti jangan lama-lama di rumah sakitnya trus kita makan malem dulu udah gitu gue anter lo pulang.”“Aku bisa pulang sendiri, Kak.”Kalimat yang diucapkan Zara dengan suara rendah dan lemah itu membuat Arkana mengalihkan perhatiannya.“Lo udah laper banget ya?”Arkana mengusap kepala Zara lembut dan sang gadis menepisnya.“Iiisshh ... Kaaaak!” serunya kesal.Arkana tersenyum dan senyum pria itu entah kenapa sangat mempesona, apakah karena Zara sedang lapar?Zara melewatkan makan siangnya dan berencana akan makan setelah teman yang ia gantikan datang tapi ia terlanjur dijemput paksa oleh Arkana.Pria itu menginjak rem karena lampu lalu lintas berubah merah.“Eh iya, hape kamu mana?” Arkana menengadahkan tangannya.“Mau apa?” Zara menatap Arkana penuh antisipasi.“Mau nyimpen nomor hape gue, siapa tau lo butuh nanti.”“Enggak usah, enggak akan butuh,” balas Zara ketus.Arkana mencondongkan tubuh untuk mengecup Zara namun sang gadis langsung menahan dada bidangnya.“Mau ngapain?”“Pilih cium atau hape?” tawar Arkana dan negosiasinya berhasil, Zara langsung menyerahkan ponselnya.Arkana tersenyum penuh kemenangan lalu yang ia lakukan selanjutnya adalah mengeluarkan simcard dari ponsel Zara dan menekan panel untuk membuka jendela kemudian ia lempar ponsel usang itu ke luar jendela di samping Zara.“Kak Ar, itu hape aku kenapa dibuang?” Zara nyaris menjerit melihat ponsel satu-satunya yang dengan jerih payah ia beli hancur lebur terlindas motor yang baru saja lewat di samping mobil yang ditumpanginya.“Jahat!! Gantiin hape aku!!” Zara memukul lengan Arkana cukup kencang tapi tak jua membuat pria itu mengaduh, Arkana malah tersenyum.Mata Arkana kembali fokus pada kemudi, menginjak gas karena mobil di depannya telah mulai melaju tapi satu tangannya mencari sesuatu di kursi penumpang belakang.Arkana menyerahkan sebuah dus kecil yang kemudian ia simpan di atas pangkuan Zara beserta sim card yang tadi ia keluarkan dari ponsel lama Zara.Mata Zara melebar, ia mengangkat dus bergambar ponsel dengan merk ternama itu. Ia tau bila ponsel tersebut berharga hingga puluhan juta.“Apa ini?” tanya Zara bingung.“Hape.” Arkana menjawab singkat.“Aku tau ini hape, trus buat apa?”“Buat lo ... tadi ‘kan lo minta ganti hape lo yang gue buang ke luar.” Begitu santainya Arkana menjawab.Zara tercenung. Ia menyesal telah memukul Arkana tapi kenapa juga pria itu membuang ponselnya dan malah menggantinya dengan yang mahal.Apa Arkana telah merencanakannya?Zara menoleh ke samping dan sang pria tampan terlihat tenang mengemudi tanpa ekspresi.Sungguh cerdas apa yang dilakukan Arkana, pria itu sudah memperhitungkan segalanya.Zara tidak akan mau menerima ponsel pemberiannya bila ia berikan begitu saja jadi Arkana membuang ponsel Zara dan menggantinya dengan ponsel baru.“Nomor gue udah ada di sana, siapa tau lo butuh gue.”Zara diam saja tidak menanggapi atau mengucapkan terimakasih.Sang gadis sedang menimbang apakah tidak akan terjadi masalah dikemudian hari bila ia menerima ponsel tersebut?Jika ia tidak menerimanya, apa yang akan ia gunakan untuk alat komunikasi?“Kak Ar?” panggil Zara lemah.“Iya saayaang?”Zara merotasi bola matanya jengah tapi tak urung ia pun berkata, “Makasih ya, kalau aku butuh duit ... boleh enggak hapenya aku jual trus aku beli yang lebih murah dari sebagian hasil penjualannya?”Sejujurnya saat ini ia lebih membutuhkan uang tunai ketimbang ponsel mahal, pasalnya sebentar lagi ia dan keluarganya harus membayar kontrakan rumah jika tidak ingin diusir dari sana.“Boleeeh, terserah lo aja ... ‘kan hapenya udah jadi milik lo.”Zara tersenyum sambil memandang ponselnya, tanpa gadis itu ketahui jika Arkana juga tersenyum bahagia hanya karena melihatnya tersenyum.***“Zaraaaa!” Rachel menjerit bahagia saat melihat Zara muncul dari balik pintu.Zara berlari memburu Rachel yang duduk di sisi ranjang Arsha dan mereka berpelukan seperti teletubies.“Buat keponakan gue, Bang!” Arkana menyerahkan paper bag berisi hadiah untuk si kembar kepada sang Kakak.Tanpa banyak bicara Kama menerimanya lalu ia simpan di tumpukan kado yang diberikan kolega dan kerabat yang menjenguk Arsha.“Keluar yuk! Biar para ladies ngobrol di dalem,” ajak Kama sambil melangkah keluar dan langsung diikuti oleh Arkana.“Lo kenal di mana sama temen kuliahnya Caca?” Kama bertanya to the point.Selama ini sang adik tidak pernah memperkenalkan gadis manapun kepada keluarganya atau terlihat dekat dengan sorang gadis dan melihat Arkana bersama Zara tentu membuat Kama bertanya-tanya.Kama tidak tau saja jika banyak gadis pernah sangat dekat dengan Arkana di atas ranjang bermandikan keringat tanpa sehelai benang pun.“Dia adik kelas gue waktu SMA, Bang ... dan gue mau nikahin dia.”Kama terkesiap mendengar penuturan sang adik. “Seriusan? Lo enggak lagi mabok ‘kan?”Arkana tertawa pelan, “Gue mana pernah mabok sih, Bang.” Pria itu berdusta.“Nikah itu bukan mainan, lo yakin sama dia? Lagian kata Caca, kemarin itu lo kaya yang baru ketemu lagi sama dia.”Bagaimana Arkana tidak yakin? Ia sudah mencarinya selama bertahun-tahun dan tidak ingin kehilangan Zara lagi.“Yakin, Bang ... gue mau minta restu Ayah sama Bunda trus gue juga mau minta restu sama Ayah dan Bundanya Zara.”“Anak siapa dia?” Arkana bertanya demikian, pasalnya jika Zara mampu bersekolah di sekolah yang sama dengan Arkana sudah dipastikan Zara lahir dari kalangan konglomerat dan tidak ada konglomerat di Negara ini yang tidak diketahui oleh Kama.“Anak Pak Willy Darmawan.”“Siapa tuh?” Kama tidak terlalu familiar dengan nama tersebut karena pada saat ia mulai belajar memegang perusahaan sang Ayah, perusahaan Ayahnya Zara sedang dilanda krisis yang membuatnya harus menyerahkan perusahaan kepada Jordi dan melarikan diri dari kejaran mafia itu.“Salah satu pemilik perusahaan besar yang pernah hancur karena Jordi.” Raut wajah Arkana mengeras seketika.Kama juga tidak mengetahui apapun tentang apa yang terjadi dengan Willy Darmawan dan keluarganya, sang istri belum sempat menceritakan tentang Zara kepadanya.Ia mengangguk saja lalu menoleh ke belakang, memperhatikan Zara yang sedang berbincang dengan istrinya dan Rachel.Pantas saja pakaian yang Zara kenakan tidak tampak seperti orang-orang yang sederajat dengannya.“Tapi dia suka sama lo bukan karena status sosial kita, kan?” Kama bertanya penuh selidik.“Masalahnya dia enggak suka sama gue, Bang ... apalagi cinta, gue lagi berusaha dapetin hatinya ... tapi pokoknya gue harus nikah sama dia.”“Laaah, si kampret! Kirain kalian memang udah sepakat mau nikah ... lo pake sok-sokan udah mau minta restu Ayah Bunda segala ... yang penting Zaranya dulu ... ‘kan dia yang mau lo jadiin istri, bukan Ayah Bundanya, gimana sih!”Arkana tertawa lebar sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Betul, apa yang dikatakan Abangnya tapi apapun yang terjadi, suka tidak suka, cinta tidak cinta—Zara harus menjadi istrinya.Zara melamun sepanjang perjalanan padahal saat bertemu dengan Rachel dan Arsha tadi, banyak yang mereka bicarakan.Ia baru mengetahui jika Rachel telah menikah dengan Kakak dari Arsha dan telah dikaruniai anak kembar.Gelak tawa juga tercetus berkali-kali hingga perut Zara terasa kram.Tapi di balik itu Zara insecure karena saat ini ia tidak sederajat lagi dengan Rachel dan Arsha, apalagi Rachel berkali-kali kedapatan melirik pakaian yang ia kenakan.Zara tau bila Rachel tidak bermaksud jahat, semua orang pasti heran dengan perubahan drastisnya.Tapi hal itu justru membuat Zara merasa jika ada jurang pemisah di antara mereka dan tidak seharusnya ia masih menjadi sahabat Arsha dan Rachel.Beruntung Arkana segera mengajaknya pulang dengan alasan hari sudah malam.“Ra,” panggil Arkana sambil menyentuh baru Zara dan sang gadis pun menoleh.“Makan dulu ya,” kata pria itu kemudian.“Pulang aja, Kak ... aku enggak laper.” “Enggak laper tapi lemes gitu ngomongnya ... biasanya lo tuh galak ta
Arkana tergelak karena Zara memutuskan sambungan telepon sepihak.Gadis itu pasti sedang galau sekarang, antara senang juga jual mahal.Tidak ada gadis yang tidak menyukai barang-barang mahal, bukan?Arkana melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota dan melambat ketika memasuki pelataran parkir sebuah gedung di mana Night Club bergengsi berada di dalamnya.Mobil sport itu terus melaju melewati banyak mobil mewah menuju basement dan berhenti di privat parking.Arkana menggunakan lift khusus untuk sampai ke bagian lain gedung tersebut.Dua pria bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam menyambutnya penuh hormat, membukakan pintu untuk Arkana lalu menutupnya kembali dan berjaga di luar.Arkana duduk di kursi ke besarannya, di atas meja terdapat banyak layar yang tersambung dengan kamera CCTV.Pria itu menatap salah satu layarnya dengan seksama, layar tersebut menampilkan keadaan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Darius beserta Rogger sang asisten juga seorang
“Gue enggak bisa mecat Zara gitu aja ... dia lagi butuh pekerjaan lagian gue enggak enak hati, dia temen gue masa iya gue enggak bantuin dia?” Dari ujung sambungan telepon, Arsha menolak mentah-mentah keinginan Arkana yang memintanya melarang Zara bekerja di cafe miliknya.“Tapi masa Zara kerja jadi pelayan?” Arkana tidak terima calon istrinya bekerja sebagai karyawan rendahan.“Itu maunya Zara, gue juga udah minta dia kerja di perusahaan Abang Kama tapi dianya enggak mau.” Arkana diam sejenak, hanya hembusan napas kasar yang terdengar oleh Arsha dari ujung sambungan telepon.Tampaknya Arkana begitu khawatir dengan keadaan Zara padahal dari yang Arsha dengar dari Angga—Zara bekerja dengan rajin dan semangat.“Lo suka sama dia ya?” Arsha menebak.“Bukan suka lagi, Ca ... gue cinta sama dia, gue mau jadiin dia istri gue!” “Susah Kana ... lo bakal susah dapetin dia, Zara pernah cerita kalau dia trauma gara-gara semasa SMA sering lo isengin.” Arsha tergelak setelah berkata demikian.“Ba
Hati Arkana membara setelah melihat gelagat Angga menyukai Zara.Lalu Zara yang pasrah saja ketika hendak diantar pulang oleh Angga membuat Arkana kecewa.Kenapa setiap kali ia yang mengajak Zara pulang selalu saja sang gadis menentang, apakah begitu dalam trauma Zara kepadanya?Belum lagi hasratnya yang sudah lama belum ia salurkan membuat emosi nyaris meledakan kepala Arkana.Arkana meninju kaca jendela mobilnya hingga retak dan buku jarinya terluka.Hanya satu tempat tujuan yang bisa menghilangkan segala gundah yaitu night club, maka ia menginjak pedal gas dalam di jalan tol dalam kota agar segera sampai ke tempat itu.Dan benar saja kedua sahabatnya telah berada di sana, Darius memang tidak pernah melewatkan satu malam pun tanpa mengunjungi night club karena tempat ini telah dipercayakan Arkana kepadanya.Sementara Raditya akan berkunjung sebentar untuk menenggak beberapa gelas minuman beralkohol agar ia bisa tidur nyenyak.Pria itu terkena insomnia, ia kesulitan tertidur diakibat
Arkana masuk ke dalam lift setelah pintu terbuka lalu menekan tombol yang akan membawanya ke basement.Tepat sebelum pintu tertutup, Bunga ikut masuk ke dalamnya.“Gue anter lo pulang, lo lagi mabuk.”Arkana tidak membantah, ia memang butuh driver saat ini meski jika bukan Bunga yang mengantarnya pun ia bisa meminta pegawainya untuk mengantar.“Ada luka enggak? Mau gue obatin dulu di apartemen gue?” tawar Bunga sambil mendekat.“Enggak ada,” balas Arkana sambil menggelengkan kepala.“Lo enggak kangen sama gue?” Bunga mulai menggoda Arkana tangannya mengusap dada Arkana dari dalam kemejanya melalui celah kancing yang terlepas. Namun, Arkana masih tetap bergeming.“Kita bisa ngelakuinnya di mobil atau di sini?” Bunga masih terus melancarkan serangan, tangannya kini berpindah ke bawah, meremas milik Arkana yang mengeras, ia pun tersenyum seduktif. “Lepas, Nga! Gue lagi enggak mau.” Arkana menepis tangan Bunga dari kejantanannya.“Kenapa? Karena cewek itu?” teriak Bunga geram di depan wa
“Hai cantik, butuh bantuan?” Zara menoleh saat mendengar suara Arkana dari ambang pintu.Menatap Arkana sesaat tepat di mata mencari sisa amarah yang mungkin saja tertinggal sisa tadi malam namun tidak Zara temukan.“Nih, dus-dus ini harus di bawa ke depan gang.” Arkana memberi kode dengan tangan kepada seseorang di belakang punggungnya.Ternyata tidak hanya satu orang, tapi ada beberapa orang pria masuk ke dalam kamar Zara yang sempit lalu mengangkat dus-dus yang siap diangkut.Zara melongo, apa pria itu bisa membaca pikirannya?Niat Zara yang ingin mengerjai Arkana gagal togal bila begini caranya.“Aku ‘kan minta tolong Kak Ar, kenapa Kak Ar bawa orang-orang untuk angkut barang?” Zara mengerucutkan bibirnya merasa kecewa tapi malah tampak menggemaskan di mata Arkana.“Biar cepet, jarak dari sini ke depan gang jauh ... kalau banyak orang yang bantuin ‘kan bisa sekali jalan.” Zara mendengkus kesal. “Sudah semua, Pak?” tanya orang suruhan Arkana.“Coba tanya Pak Willy dan Bu Maya,”
“Om ... Tante, ini makan siangnya.” Arkana menyimpan dua kotak nasi di atas meja makan.Willy dan Maya yang berada di halaman belakang sedang mengagumi rumah baru mereka jadi masuk ke dalam karena mendengar suara Arkana memanggil.“Ya ampun, Nak Arkana ... seharusnya Tante yang buatin makan siang kenapa Nak Arkana malah beliin.” Maya pun tidak enak hati dibuatnya.“Enggak apa-apa, Tante ... hari ini jangan masak dulu nanti capek, abis pindahan.” Maya dan Willy tergelak, sang calon menantu ternyata begitu perhatian.“Saya ke atas dulu ya, Om ... Tante ... anterin makan siang buat Zara sekalian bantuin beresin pakaian ke lemari,” pamit Arkana.“Iya, silahkan ... silahkan,” ujar Willy mempersilahkan.Maya menyikut lengan suaminya sambil mengedipkan mata dan senyum penuh makna.“Ayah percaya sama Nak Arkana, dia lahir dari keluarga baik-baik ... Ayah yakin Nak Arkana enggak akan macem-macem.” “Setuju!” Maya berseru sambil membuka kotak nasi bagiannya.“Makan yang banyak, Bun ... kalau
Dua jam lamanya Arkana membujuk Zara agar mau ikut bersamanya ke rumah Arsha untuk menghadiri barbeque party.Kedua orangtua Arkana sudah berada di sana dan berkali-kali menghubungi agar ia segera datang karena tadi malam saat mereka tiba di Indonesia hingga pagi tadi belum sempat bertemu Arkana.Berkali-kali Zara menolak meski Arsha sudah menghubunginya melalui sambungan telepon dan secara langsung mengundangnya yang tentu saja atas desakan Arkana.Arkana memang sangat menjengkelkan, ia akan melakukan banyak cara agar kehendaknya bisa terwujud.Dan jalan terakhir yang Arkana lakukan adalah meminta tolong kedua orangtua Zara agar mau membujuk anak gadisnya dan mengijinkan mereka pergi di malam minggu yang cerah ini.“Zara sayang, ikut lah bersama Nak Arkana ... dia udah baik mau bantuin kita pindahan ... .” Willy mengusap kepala sang anak lembut.Zara menoleh lalu tersenyum. “Bantuin apaan, dia bawa banyak orang hanya untuk bantuin angkut barang kita yang sedikit,” tukasnya merajuk.Z