“Emh ... .” Desahan merdu terdengar memenuhi ruangan kamar dominasi warna coklat yang maskulin.Raditya mendorong tubuhnya cukup keras, menghujam Bunga yang tungkainya melingkar di pinggang pria itu.Peluh membanjiri tubuh mereka karena gelora hasrat membakar dari dalam.Bibir Raditya mengulum, mengisap bahkan menggigit puncak berwarna coklat yang telah mengeras di dada Bunga. Bunga melengkungkan tubuhnya ke atas, mendekap kepala Raditya di dadanya.“Yang lama di situ, Dit ... emh.” Bunga setengah memohon.Desahan Bunga yang sensual membuat gerakan Raditya kian cepat.Tidak puas dengan posisi tersebut, Raditya menegakan tubuh dan menggerakan Bunga agar merubah posisi berbaringnya menjadi menyamping tanpa melepaskan apa yang telah tertanam di dalam perempuan itu, Raditya kembali menghentak, awalnya perlahan kemudian lama-lama semakin kencang.Bunga yang mendapatkan hujaman bertubi-tubi mengerang, mendesah bahkan berteriak tidak peduli tetangga di apartemen Raditya akan mendengar.Rasa
Zara merasakan tubuhnya remuk redam dan ia seperti tidak memiliki tenaga untuk menggerakan kaki juga tangannya.Bau disinfektan segera saja menyerang indra penciumannya, kening Zara berkerut saat merasakan kepalanya yang sakit seperti baru saja dihantam oleh palu Thor.Perlahan Zara membuka mata, meski samar ia bisa melihat sosok wanita memakai pakaian putih-putih sedang berdiri di sampingnya.Zara mengerjap lagi menajamkan indra penglihatannya, kini pandangnya sedikit jelas dan ia terkejut saat mendapati Bunga sedang melakukan sesuatu pada infusan yang terancap di tangannya.Seketika Zara menegakan tubuh, alarm dalam tubuhnya berbunyi nyaring membuatnya dalam mode waspada karena bisa saja Bunga ingin berbuat jahat kepadanya saat ini.Tapi kemudian Zara memegangi kepalanya yang luar biasa sakit.“Pelan-pelan, lo baru siuman setelah empat hari,” tegur Bunga mengingatkan dengan nada ketus.Zara memejamkan mata, menarik mundur ingatannya secara paksa karena ia bingung kenapa bisa berada
“Sekali lagi.” Arkana mendekatkan suapan terakhir ke mulut Zara dan sang gadis menggelengkan kepala.“Udah.” Zara mendorong pelan tangan Arkana.Bagaimana Zara bisa menelan makanan bila saat ini Zara masih berduka atas kepergian sang Ayah dan Bundanya yang masih belum sadarkan diri.“Ya udah, minum dulu.” Arkana mendekatkan gelas dengan sedotan ke bibir Zara.Setelah sang gadis menghabiskan setengah gelas air mineral, Arkana menyimpannya gelas itu kembali ke atas nakas beserta piring bekas makan malam Zara.Arkana benar-benar merawat Zara dengan tangannya sendiri.“Kak Ar pulang aja,” ucap Zara mengusir Arkana yang baru saja duduk di sisi ranjang.Ekspresi tidak suka ditunjukan pria itu. “Kak Ar udah beberapa hari ‘kan nungguin aku di sini ... Kak Ar, pulang aja ... istirahat,” sambung Zara agar Arkana tidak salah paham dan menganggapnya tidak tau diri karena mengusirnya.Padahal Zara tidak ingin membebani Arkana terus karena pria itu telah melakukan banyak hal untuknya.“Jadi sekaran
“Kamu cemburu ya sama Bella?” tuduh Arkana menggoda Zara. Pria itu melangkah mendekati ranjang Zara.“Enggak!” Zara membalas ketus.Arkana tertawa pelan, tidak mungkin penilaiannya salah. Tingkah laku gadisnya jelas-jelas menunjukan kecemburuan akut.“Geser donk, sayang.” Pria itu berdiri di sisi ranjang Zara.Zara melirik Arkana yang telah mengganti pakaiannya dengan pakaian untuk tidur.“Kak Ar mau apa?” Zara bertanya basa-basi. Untuk apa lagi Arkana memintanya sedikit bergeser jika bukan hendak tidur bersamanya di ranjang itu.Tapi ini rumah sakit, apa pria itu tidak malu?Ah, ya. Zara lupa kalau rumah sakit ini milik Grandpa dari Arkana. Pria itu bisa melakukan apa pun sesuka hati di sini.“Mau tidur sama pacar gue.” Arkana langsung naik ke atas ranjang sebelum Zara sempat bergeser.“Kak Ar pulang aja, besok ‘kan ada meeting.” Lidah Arkana berdecak. “Lo tuh gimana sih, baru juga kita jadian ... masa guenya di suruh pulang? Lo enggak kangen ya sama gue?” Andai saja Zara tau betap
“Wooowww ... sabar Bang, Zara masih berkambung ... lo maen nyosor aja,” ujar Kai, melangkah santai memasuki ruang rawat Zara dengan bungkusan di tangan.“Justru gue lagi ngehibur dia.” Arkana beralasan.Betapa malunya Zara, Kai benar—seharusnya ia masih berkabung tapi tadi Zara terbawa suasana saat Arkana mengklarifikasi tentang kejadian di masa lalu.Kejadian yang merupakan cikal bakal hilangnya kepercayaan Zara kepada Arkana.Selain memang, Zara juga memang menginginkan sentuhan Arkana.Pria itu telah menolong dan membantunya, mengurus pemakaman sang Ayah sementara ia belum sadarkan diri.Itu kenapa Zara seakan tidak memiliki hak untuk menolak Arkana.Kai mengabaikan alasan Abangnya yang tidak masuk akal, ia melangkah mendekati ranjang Zara setelah membuka bungkusan yang ia bawa.“Hai ... calon Kakak ipar, gimana kabarnya? Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya, semoga almarhum Om Willy tenang di sana.” Kai menggeser kaki Arkana agar turun dari atas ranjang.Arkana mendengus kesa
Setelah night club tutup dan mengecek semuanya, Darius langsung pergi ke rumah sakit sesuai perintah Arkana.Pagi ini Arkana ada rapat penting sehingga ia yang tidak memiliki aktifitas di siang hari ditugaskan untuk menjaga Zara.Darius mengerjapkan mata, ia begitu enggan membuka mata dan begitu menikmati sofa empuk yang membuainya saat ini.Rasanya ia baru tidur beberapa jam tapi tubuh Darius terasa gerah tampaknya hari sudah siang, tapi kenapa juga ruangan kamar Presidential suite ini tidak sejuk seperti yang seharusnya?Keringat membanjiri tubuh Darius, mengusap keningnya yang telah basah—ia pun membuka mata.“Zara!” seru Darius yang refleks mendudukan tubuhnya.“Kamu mau nungguin aku apa mau numpang tidur di sini?” tanya Zara tidak bersahabat.Gadis itu duduk di sofa bersebrangan dengan Darius hanya di halangi oleh meja.“Nungguin elo donk, sayangnya Arkana.” Darius memberikan senyum manis tidak enak hati.Ia memang diminta Arkana menjaga Zara tapi malah asyik tidur, mau bagaimana
Tatapan mata Kallandra menghunus hingga jantung Arkana.Arkana berusaha mengabaikan tatapan tersebut lalu menyalami sang Nenek yang ada di sana.“Sehat, Nek?” Arkana berbasa-basi lalu mengecup kedua belah pipi Neneknya.“Enggak pernah sesehat ini,” balas Rena lalu berbisik, “Enggak sabar ketemu Zara lagi.” “Nenek tim Kana?” Sang Nenek menganggukan kepala antusias lalu mengacungkan jempol.Seketika darah mengaliri wajah Arkana, tidak pucat pasi lagi seperti tadi. Ia merasa masih ada harapan untuk hidup bahagia.Arkana beralih kepada Monica dan Edward, tidak lupa memeluk dan mengecup pipi sang Grandma penuh sayang.Memberikan tatapan penuh permohonan kepada Monica dan Edward agar tetap selalu mendukungnya.Sebuah infocus sudah terpasang, tersambung pada laptop untuk melakukan komunikasi jarak jauh dengan kedua orang tua Arkana di Vietnam dan juga Kalila beserta Kejora di Jerman.Tau akan seperti ini, Arkana mungkin menghubungi mereka terlebih dahulu untuk meminta dukungan.“Sambungkan
Brak!Zara nyaris terlonjak dari atas ranjang mendengar suara pintu terbuka secara paksa.Matanya menyalang menatap sosok pria tampan bertubuh tegap yang sedang menderapkan langkah menghampirinya.Arkana, pria itu menghilang seharian ini tanpa berita. Zara sampai bosan menatap ponselnya menunggu kabar pria itu.Ia ingin mengetahui bagaimana jalannya rapat dengan Kallandra Gunadhya.Karena walau bagaimanapun Arkana meninggalkan tender besar itu karena dirinya.Arkana duduk di sisi ranjang menghadap Zara, menangkup wajah Zara dengan kedua tangannya yang besar lalu mendekatkan wajah mereka untuk memagut bibir ranum Zara.Zara memebelalakan mata saat bibir Arkana meraup bibirnya tergesa-gesa.“Eeemmmmhh!” Zara menepuk pundak Arkana agar menghentikannya tindakan tidak senonohnya.Arkana menjauhkan sedikit wajahnya lalu tersenyum tapi ia belum puas menikmati rasa Zara karena rindu seharian tidak bertemu, Arkana mendekatkan kembali wajahnya untuk kemudian melumat kembali bibir Zara, menghisa