Tatapan mata Kallandra menghunus hingga jantung Arkana.Arkana berusaha mengabaikan tatapan tersebut lalu menyalami sang Nenek yang ada di sana.“Sehat, Nek?” Arkana berbasa-basi lalu mengecup kedua belah pipi Neneknya.“Enggak pernah sesehat ini,” balas Rena lalu berbisik, “Enggak sabar ketemu Zara lagi.” “Nenek tim Kana?” Sang Nenek menganggukan kepala antusias lalu mengacungkan jempol.Seketika darah mengaliri wajah Arkana, tidak pucat pasi lagi seperti tadi. Ia merasa masih ada harapan untuk hidup bahagia.Arkana beralih kepada Monica dan Edward, tidak lupa memeluk dan mengecup pipi sang Grandma penuh sayang.Memberikan tatapan penuh permohonan kepada Monica dan Edward agar tetap selalu mendukungnya.Sebuah infocus sudah terpasang, tersambung pada laptop untuk melakukan komunikasi jarak jauh dengan kedua orang tua Arkana di Vietnam dan juga Kalila beserta Kejora di Jerman.Tau akan seperti ini, Arkana mungkin menghubungi mereka terlebih dahulu untuk meminta dukungan.“Sambungkan
Brak!Zara nyaris terlonjak dari atas ranjang mendengar suara pintu terbuka secara paksa.Matanya menyalang menatap sosok pria tampan bertubuh tegap yang sedang menderapkan langkah menghampirinya.Arkana, pria itu menghilang seharian ini tanpa berita. Zara sampai bosan menatap ponselnya menunggu kabar pria itu.Ia ingin mengetahui bagaimana jalannya rapat dengan Kallandra Gunadhya.Karena walau bagaimanapun Arkana meninggalkan tender besar itu karena dirinya.Arkana duduk di sisi ranjang menghadap Zara, menangkup wajah Zara dengan kedua tangannya yang besar lalu mendekatkan wajah mereka untuk memagut bibir ranum Zara.Zara memebelalakan mata saat bibir Arkana meraup bibirnya tergesa-gesa.“Eeemmmmhh!” Zara menepuk pundak Arkana agar menghentikannya tindakan tidak senonohnya.Arkana menjauhkan sedikit wajahnya lalu tersenyum tapi ia belum puas menikmati rasa Zara karena rindu seharian tidak bertemu, Arkana mendekatkan kembali wajahnya untuk kemudian melumat kembali bibir Zara, menghisa
“Jangan galak-galak sama Bunga, Kak ... dia baik kok ngerawat aku selama di sini.” Arkana menoleh sekilas tatapannya kembali ia arahkan pada jalanan di depannya.“Darius ngomong apa aja sama lo?” Arkana yakin jika banyak hal yang Darius ceritakan kemarin kepada Zara tentang Bunga.“Darius enggak mau jawab pertanyaan aku, dia malah bagus-bagusin Kak Ar ... tapi dia cerita tentang Bunga dan kalian.” Arkana tersenyum, ingatkan dia untuk memberi bonus besar pada Darius nanti.“Memangnya lo nanya apa sama dia?” “Yang diomongin Baron, kalau Kak Ar itu sama bahayanya sama Jordi.” Arkana tertawa pelan. “Enggak lah, beda banget ... gue sayang sama lo kalau si Jordi mau nyakitin lo.” “Bukan itu ... .” “Apa?” Sengaja Arkana menyerongkan tubuhnya setelah menginjak pedal rem karena harus menunggu trafficlight berubah warna.“Kak Ar itu Mafia atau bukan?” “Iya, bisa di bilang gitu ... untuk ngelawan Jordi, gue harus sebanding dengan dia.” Zara menelan saliva kelat, matanya membulat sempurna
Brak!!! Angga menoleh dari layar komputer di atas meja. Sosok seorang gadis cantik berdiri di ambang pintu.Gadis itu menggunakan seragam perawat, name tagnya masih tersemat di dada.Menyimpan kedua tangan di pinggang dengan ekspresi seolah ingin menerkamnya hidup-hidup.“Bisa saya bantu?” Angga berdiri sambil melontarkan pertanyaan.Bunga menderapkan langkahnya mendekati meja kerja Angga yang berada di ujung ruangan.Plak! Angga menyentuh pipinya yang mendapat tamparan gadis mungil itu, mengingat-ngingat apa salah dirinya.Bunga hendak memberikan tamparan lagi namun kalah cepat dengan Angga yang langsung menangkap tangannya.Angga menarik tangan Bunga hingga tubuh mereka beradu.“Salah saya apa?” tanya Angga dengan kedua lis menukik tajam.“Lo ngapain pake ngomong segala kalau gue ngelabrak Zara?” Intonasi Bunga yang tinggi membuat Angga harus memejamkan matanya saat gadis itu bicara.“Saya belum tuli, apa kamu enggak bisa bicara pelan sedikit?” “Enggak!! Gara-gara lo, Arkana benc
“Bunda kamu akan sembuh.” Suara dari balik punggungnya membuat Zara menoleh lalu menyusut air mata yang jatuh tanpa ijin.“Ta ... Tante Aura,” ucap Zara serak.“Apakabar Zara?” Aura memeluk calon menantunya membuat Zara menegang.Tangis yang sedari ia tahan sia-sia karena pertahannya runtuh saat tubuhnya mendapat dekapan hangat seorang ibu.“Ssstt ... kamu harus sabar ya, kamu harus kuat,” bisik Aura sambil mengusap punggung Zara lembut.“Bunda ikut berduka cita atas meninggalnya Pak Willy Darmawan.” Sengaja Aura memanggil dirinya sendiri bunda untuk menghilangkan kecanggungan dan batas di antara mereka.Zara adalah gadis yang dicintai putranya dan akan menjadi menantunya, bagian dari keluarga Gunadhya.Aura mengurai pelukan, mengeluarkan tissue dari dalam tas lalu memberikannya kepada Zara.“Bukannya Tante ... .” Kalimat Zara terjeda karena melihat ekspresi Aura yang berubah.“Ma ... maksud Zara, bukannya Bunda ada di Vietnam?” ralat Zara yang menghasilkan senyum kelegaan wanita paru
Cup. Zara terhenyak saat merasakan sebuah kecupan mendarat di pipinya.Melepaskan sendok dari tangannya, Zara mencubit perut kotak-kotak Arkana yang liat.Cup. Arkana memberikan satu kecupan lagi mengabaikan protes Zara yang sedari tadi matanya melotot.“Kak Aaaar,” erang Zara menghasilan kekehan kekasihnya.Pria itu selalu menyempatkan diri berkunjung sepulang kerja, mengabaikan rasa lelahnya.“Makan kok sambil ngelamun,” tegur Arkana seraya mengambil satu brokoli dari piring Zara lantas memakannya.“Ih ... jorok, tangannya kotor!”Zara berseru saat Arkana hendak mencomot udang asam manis dari atas piringnya.“Oh ya ... cuci tangan dulu.” Pria itu berujar kemudian beranjak dari kursi meja makan tidak lupa mencuri kecup di pipi Zara.Zara memejamkan mata sekilas menahan kesal, tiba-tiba saja pria itu sudah duduk di sampingnya dengan posisi miring memberikan kecupan tanpa aba-aba, mengejutkannya.Arkana juga tidak mengindahkan protesnya dan terus mencuri kecup di pipinya.Zara lupa bi
Suara dering ponsel yang memekakan telinga membawa Zara dari mimpi indahnya.Mimpi tentang bagaimana Arkana menyentuhnya dengan lembut hingga membuatnya melayang ke Nirwana.Zara mengerjap, menarik kesadaran sepenuhnya dan merasakan perutnya terasa berat.Ada tangan dengan gurat otot samar melingkar di pinggangnya lantas punggungnya terasa hangat dan hembusan napas menerpa lehernya membuat Zara meremang.Arkana, pria itu memeluknya erat. Sedang tidak sadar saja Arkana masih bisa bersikap posesif kepadanya.Zara mengembuskan napas sambil memejamkan mata, ia ingat tadi malam Arkana berhenti setelah puas memberi banyak tanda di dua bagian menyembul di dadanya.Pria itu kembali mengancingkan piyama Zara dan mengatakan jika ia terlalu mencintai Zara hingga tidak ingin mengambil apa yang belum menjadi miliknya hingga mereka syah menjadi suami istri.Zara terharu, ia terisak di dada Arkana hingga tanpa sadar terlelap di sana.Zara mengangkat tangan Arkana namun pelukan itu begitu erat bahkan
“Hai sayang ... .” Monica menyapa ramah.Mengecup pipi Zara di bagian kiri dan kanan , Zara menegang ternyata Nenek Arkana dari pihak Bundanya tidak semenakutkan yang ia bayangkan mengingat pagi tadi sempat mengancamnya melalui sambungan telepon.Monica beralih pada Arkana, tubuh jangkung sang cucu menyulitkannya untuk memberikan kecupan sehingga Arkana harus sedikit membungkuk agar memudahkan Monica memberikannya kecupan.“Kalian tepat waktu juga juga ya,” ujar Monica, menuntun Zara dan Arkana menuju suatu ruangan.“Grandma, Kana ‘kan bukan model ... mana bisa pose-pose kaya gitu?” Arkana berusaha mempengaruhi Monica untuk merubah pikiran beliau agar tidak menjadikannya seorang model.“Nanti ada yang ngarahin, lo tinggal nurut aja ... trus tunjukin tuh tampang ganteng misteriusnya ... .” “Tampang ganteng misterius gimana?” Arkana tidak mengerti apa yang dimaksud grandmanya.“Yang itu loh, tatapan tajam menggoda yang di sipit-sipitin gitu, ah ... lo kalau lagi narik perhatian cewek b