Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
"Asmi tolong angkat galonnya!" kata Ibu saat kami semua sedang berkumpul di ruang keluarga. Istriku yang tengah duduk bersama kami akhirnya bangkit."Eh gak usah, apaan sih Bu, masa iya istriku disuruh angkat galon kayak gak ada orang lain aja," sahutku sambil menarik lagi tangan Asmi."Gak apa-apa atuh A, lagian Neng juga bisa." Istriku lalu ke dapur melakukan apa yang diperintahkan ibu."Asmi jangan lupa bantu Bibik cuci piring dan kwalinya juga!" teriak Ibu lagi."Bu, kasihan Asmi dong, masa iya dari pagi disuruh di belakang terus, cuci piringlah, masaklah, bikin kuelah," protesku.Aku cepat-cepat bangkit akan menyusul Asmi tapi segera Kak Alfa menyahut."Udah biarin aja sih, udah biasa ini istrimu kerja berat, di desa pasti dia suka pikul-pikul kayu bakar sama rumput, jadi kalau sekedar angkat galon sama kerja di dapur ya gak seberapa buat dia.""Bener tuh," timpal si bungsu."Enak banget punya istri kayak si Asmi, udah tenaganya kayak samson bohai pula," celetuk Mas Angga, suami
"Tapi Pak, Hasan malah gak nyumbang sepeserpun," sahut Kak Angga membela istrinya."Kata siapa? Gak usah sok tahu kamu Angga, Hasan emang gak nyumbang hajatan tapi istrinya nyumbang lebih dari yang kalian sumbangin."Kami semua terperangah, lalu menatap wajah Bapak dengan tatapan bertanya-tanya."Emang bener, Neng?" bisiku pada Asmi."Sedikit sih, A." "Asal kalian tahu, ya ...." Bapak bicara lagi."Asmi nyumbang beras 5 kwintal buat hajatan ini," lanjut Bapak. Lagi-lagi kami semua terperangah. Aku sampai tak percaya, ini beneran apa bapak cuma lagi belain Asmi karena Asmi istri pilihan beliau ya?"Bukan cuma beras tapi Asmi juga nyumbang seekor kambing jenis etawa, ya kalian tahulah harganya berapa? Cari di google kalau gak tahu," imbuh Bapak lagi.Kami semua makin melongo, tak kecuali denganku. Masa iya istriku nyumbang sebanyak itu? Dari mana uangnya? Wah jangan-jangan istriku itu anak orang kaya di desanya, buktinya bisa sumbang beras, bisa sumbang kambing, hebat emang, gak sangk
Di tengah perjalanan pulang Asmi memintaku berhenti sebentar di depan minimarket."Neng, masuk sendiri aja Aa nunggu di sini," kataku sambil duduk di kursi yang biasa ada di depan minimarket.Entah apa yang akan dibeli istriku, kubiarkan saja, aku tak mau banyak tanya juga, takutnya Asmi merasa risih, kasihan.Sekitar 15 menit kemudian, Asmi keluar dengan 2 jinjing plastik besar berisi belanjaan di tangannya. Sontak keningku mengerut dan cepat-cepat bangkit untuk membawakan plastik itu."Neng, belanja apa? Kok banyak banget.""Cuma keperluan dapur sama cemilan A, belanja bulananlah istilahnya." Aku pun menaruh plastik itu di depan motorku. Tapi sebelum berangkat aku kembali bertanya."Belanja segini banyak emang Neng ada uang? "Ya ada atuh A, makanya bisa belanja."Sebetulnya aku sedikit heran, darimana sih uang Asmi itu? Tadi Bapak bilang Asmi nyumbang 5 juta, sekarang Asmi belanja banyak banget, gak mungkin kalau hanya dari uang gajiku, soalnya gajiku itu tidak seberapa, aku hanya
Esok hari setelah aku pulang kerja.Aku dan istriku ke rumah Ibu dan Bapak lagi, sesuai kesepakatan aku dan saudara-saudaraku, malam ini kami semua berencana akan menginap di sana karena hajatan akan dilaksanakan besok tepatnya."Kak Alfa belum datang, Bu?" tanyaku pada Ibu yang tengah mencicipi masakan Bibik."Ya belumlah Hasan, ini kan masih sore, mereka pasti masih sibuk kerja, gak kayak kalian," kecut Ibu menjawab.Entah kenapa ucapannya itu selalu saja tajam bagaikan silet, lebih-lebih setelah aku menikah dengan Asmi selalu saja kami dibeda-bedakan dan disindir-sindirnya begitu.Setelah menyalami Ibu, Asmi pergi ke ruang keluarga sementara aku tetap di dapur bersama Ibu."Ibu, kenapa sih, Bu? Kok kayak gitu terus sama aku dan Asmi?""Mau tahu kamu jawabannya? Karena kamu lebih nurut sama Bapakmu.""Loh 'kan, Bapak emang bener Bu, apa salahnya coba Bapak jodohin Hasan? Hasan udah cukup umur Bu, mau sampai kapan Hasan membujang kalau gak dijodohin?"Ibu menghentikan pekerjaannya l
Esok hari.Itu artinya hari ini adalah hari hajatannya Hanum. Tapi sengaja selepas subuh aku kembali tidur, malas sekali rasanya kalau aku harus datang ke sana. Aku sudah terlanjur sakit hati.Biar saja mereka mau bagaimana kalau aku dan Asmi tidak ada di sana, karena selama ini mereka selalu menyuruh kami ini dan itu untuk persiapan pernikahan Hanum.Pukul delapan aku baru bangun, segera aku pergi ke belakang, kulihat istriku tidak ada di dapur, di depan juga tidak ada. "Kemana Asmi pergi? Apa jangan-jangan dia ke rumah, ibu?"Segera aku mengambil ponsel dan meneleponnya."Neng, ada di mana?" "Neng lagi di toko A, sekalian lihat gudang baru.""Apaan sih? Gudang apaan? Ngapain juga di toko? Mau belanja apaan di sana?" tanyaku bingung sambil mengacak rambut."Di toko baju A, gudang segala macem di sini. Emang Aa gak baca surat dari Neng? Tadi Aa lagi tidur Neng gak tega bangunin karena katanya kita gak akan dateng ke rumah ibu." Aku melirik ke atas nakas, ternyata benar ada surat di
"Perhiasan Neng atuh, A," jawabnya ringan sambil membetulkan kalung itu di lehernya.Bukan hanya kalung, Asmi juga memakai gelang dan cincin yang modelnya serupa dengan kalung itu."Neng, bilang sama Aa, Neng sebetulnya anak orang kaya ya?" Sengaja akhirnya aku kembali bertanya, karena aku semakin penasaran pada istriku ini.Alis cetar Asmi menaut."Gak juga ah, ibu sama bapak di desa hanya petani biasa, A.""Petani apa? Petani sawit 'kan ya?"Pasti, aku yakin orang tua Asmi adalah petani sawit, aku sering denger dari orang-orang kalau jadi petani sawit itu gak bisa diragukan penghasilannya.Tapi Asmi malah terbahak."Mana ada sawit di sana atuh A, ngaco, desa Neng itu bukan daerah penghasil sawit," katanya."Lah terus? Emang di mana sih desa Neng itu?" "Hanya petani padi biasa aja sih A, Neng dari Kuningan Jawa Barat A, masa iya gak tahu ih gimana sih desa istrinya sendiri.""Ya maaf, Aa emang gak tahu Neng, 'kan waktu nikah kemaren kita numpang nikahnya di sini, Aa juga gak urus-ur