"Perhiasan Neng atuh, A," jawabnya ringan sambil membetulkan kalung itu di lehernya.
Bukan hanya kalung, Asmi juga memakai gelang dan cincin yang modelnya serupa dengan kalung itu."Neng, bilang sama Aa, Neng sebetulnya anak orang kaya ya?" Sengaja akhirnya aku kembali bertanya, karena aku semakin penasaran pada istriku ini.Alis cetar Asmi menaut."Gak juga ah, ibu sama bapak di desa hanya petani biasa, A.""Petani apa? Petani sawit 'kan ya?"Pasti, aku yakin orang tua Asmi adalah petani sawit, aku sering denger dari orang-orang kalau jadi petani sawit itu gak bisa diragukan penghasilannya.Tapi Asmi malah terbahak."Mana ada sawit di sana atuh A, ngaco, desa Neng itu bukan daerah penghasil sawit," katanya."Lah terus? Emang di mana sih desa Neng itu?" "Hanya petani padi biasa aja sih A, Neng dari Kuningan Jawa Barat A, masa iya gak tahu ih gimana sih desa istrinya sendiri.""Ya maaf, Aa emang gak tahu Neng, 'kan waktu nikah kemaren kita numpang nikahnya di sini, Aa juga gak urus-urus apa-apa lagi."Ya memang, selama sebulan aku menikah dengannya aku tidak pernah banyak mengobrol atau ada omongan yang serius dengannya, apalagi pekerjaanku sebagai kurir cukup menguras waktu, berangkat pagi pulangnya sering malam, kalau pulang kerja pasti langsung tidur karena badan udah terasa remuk duluan rasanya.Waktu nikahan semua diurusin bapak, tapi yang bikin aku heran waktu kami nikahan entah kenapa orang tuanya Asmi tidak datang, yang datang hanya pamannya saja yang menjadi wali karena kata bapak, bapak kandungnya Asmi sudah meninggal."Ih Aa mah, makanya main atuh kapan-kapan ke Kuningan," balasnya sambil berlalu dari hadapanku.Aku buru-buru mengejarnya."Nanti Aa maen deh, jangan ngambek ya.""Gak.""Ya udah ayo naik, takut telat."Segera aku menyalakan motor."Bentar, A! Neng beneran cantik gak sih? Bajunya cocok gak?" tanya Asmi sambil melebar-lebarkan gaun sepertiga kakinya itu."Aduh cantik banget Neng, mirip Asmirandah pokonya. Ayo buruan naik.""Ah serius?" Asmi menyipitkan mata, seperti menyanglikan ucapanku."Serius Neng, tapi maaf ya, Asmirandah kalau gak diet 5 tahun kayaknya." Aku terbahak di sana. Asmi refleks mencubit perutku hingga terasa pedih.________Kami pun sampai di parkiran dekat pekarangan rumah ibu. Semua kendaraan memang nebeng parkir di sana sebab di depan rumah Ibu ada panggung organ tunggal.Sebelum masuk ke rumah ibu aku menarik tangan istriku sebentar."Neng, inget ya! Jangan mau kalau nanti disuruh di belakang, masa iya udah cantik-cantik begini Neng suruh masak bihun sama buncis," kataku mengingatkannya."Iya, Aa." Kami pun masuk ke pekarangan rumah Ibu, sudah banyak tamu di sana tapi untunglah rombongan pengantin pria belum datang jadi kami bisa dikatakan belum telat, meskipun banyak yang tanya, "kok baru dateng?" Kujawab dengan ringan saja, "iya nih abis anter istri ke salon dulu." Mereka tentu menjebikan bibir karena tak percaya.Segera kami masuk ke dalam rumah karena katanya keluargaku sudah menunggu di sana."Sini, Neng! Aa gandeng jangan pernah lepas dari tangan Aa pokonya," bisiku, Asmi menurut saja. Itulah yang membuatku juga nyaman dengan Asmi, walau dia gemuk tapi Asmi itu sangat penurut, apa kata aku dia selalu nurut.Lebih-lebih kalau denger apa kata ibu dan bapak, dia tak pernah menolaknya, selalu nurut tanpa pikir panjang, tampak bahagia sekali pokoknya kalau ibu sama bapakku menyuruhnya melakukan apa-apa.Asmi mengaitkan tangannya ke lenganku, kami berjalan bagaikan angka 10 karena bobotku sebetulnya sangat krepeng jika dibanding sodara-sodaraku yang lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan Asmi hehe."Tuh si Hasan," seru Kak Angga saat kami sampai di ruang keluarga.Semua orang yang tengah menunggu kedatangan calon pengantin pria pun melongo ke arah kami.Tatapan mereka seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Berkali-kali Kak Angga mengucek matanya dengan mulut setengah menganga.Nah 'kan mati kalian, istriku udah cantik sekarang, mau apa loh? Mau apa? Jangankan kalian, aku aja kaget pas pertama lihat Asmi datang dari salon."Witwiiww!" Refleks bibir Kak Angga bersiul.Dasar si hidung belang, suami Kak Alfamaret ini memang kutahu dia adalah pria jahil dan iseng kalau lihat perempuan cantik.Kak Alfa saja yang tidak tahu kalau suaminya itu sering nongkrong di tempat karaoke mall, aku tahu karena aku sering antar paket ke sana sesekali aku lihat Kak Angga masuk ke tempat hiburan di mall itu."Ish!" Kencang anaknya Kak Angga menjewer telinga bapaknya saat mulutnya itu bersiul.Kami akhirnya duduk di dekat ibu. Tak lama terdengar suara ibu berbisik pada istriku."Nah gitu dong cantik, pake emas pula, walaupun emas palsu." "Enak aja, itu bukan emas palsu kali Bu, tapi emas asli," sahutku kesal, Asmi cepat mencubit pahaku agar aku diam.Ah aku akhirnya pindah duduk ke belakangnya saja daripada aku biru-biru gara-gara dicubitnya terus."Bu, si Asmi pinjem emas darimana ya? Bagus ih modelnya Alfa suka itu model Aurel yang kemarin Alfa ceritain ke Ibu, coba tanyain, Bu, rental di mana," bisik Kak Alfa pada Ibu. Aku tertawa dalam hati, mulai deh orang-orang julit kelabakan, enak aja pake dibilang emas rental pula. Nanti akan kuberitahu siapa istriku sebenarnya, bakal serangan jantung pasti kalian, huh."Hilih palingan emas palsu itu." Ibu berbisik lagi. Aku mendengar obrolan mereka dengan jelas karena aku duduk tepat di belakang mereka sedangkan Asmi duduk di samping Ibu."Ih enggak Bu, itu asli tahu permatanya mengkilap kalau kesorot lampu.""Masa sih? Ya kamu tanya aja langsung ke orangnya, gak mau Ibu tanya-tanya nanti malah dibilang Ibu pengen.""Ogah ah Bu, kapok Alfa, kemarin diskakmat sama si Hasan gara-gara usilin bininya, entar kalau Hasan ngadu ke Bapak lagi gimana?""Kamu sih pake gak kasih bahan seragam segala."Kemudian ibu berbalik ke belakang."Hasan, si Asmi rental emas Aurel di mana?" bisik beliau."Beli di toko emas banyak," jawabku kecut.Baru saja ibuku akan bertanya lagi, suara petasan beruntun terdengar dinyalakan. Dor dor dor dor dor dor dor.Akhirnya kami semua bersiap menyambut rombongan pengantin.Aku menarik tangan Asmi, memastikannya ia tidak jauh-jauh dariku.Para tamu bersalaman satu persatu dengan kami, lalu mereka duduk di kursi yang sudah dipersiapkan."Asmi di belakang aja biar gak sempitin tempat, tamunya banyak." Terdengar suara Mbak Andin berbisik, tapi kupegang tangan istriku dengan kencang."Jangan mau, Neng," bisikku di telinga sebelahnya.Enak aja, aku tahu sifat Mbak Andin itu bagaimana, dia sok cantik banget, pokonya dia paling ngerasa cantik aja di keluarga ini tuh, makanya pas tadi dia lihat Asmi lebih cantik darinya hari ini, Mbak Andin kelabakan langsung nyari kaca buat tambah dempulannya, buktinya itu lisptik yang tadinya warna ungu berubah jadi merah darah, mirip-miriplah sama film vamfire kalau abis isep darah perawan. HahahaAkhirnya Asmi diam di dekatku hingga penyambutan tamu selesai.Setelah acara penyambutan acara dilanjut dengan serah terima calon pengantin pria, seperti biasa beberapa orang penting disuruh berpidato. Selama acara itu aku memastikan Asmi tidak pergi kemanapun karena kalau Asmi sudah pergi ke belakang atau jauh dariku sudah pasti ibu dan sodaraku itu akan menyuruhnya di belakang lagi."Hasan istrimu itu suruh jaga prasmanan kan bisa.""Gak bisa enak aja," tolakku pada Ibu yang juga duduk di sana beserta keluarga lainnya. Ibu, Kak Alfa sama Mbak Andin lalu saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan tapi tebakanku sih mereka sedang membicarakanku dan Asmi.Saat kami sedang duduk mendengarkan pidato, seseorang menepuk pundak istriku."Hei," katanya, kami yang mendengar tentu menoleh sebentar ke arahnya. Tak kecuali dengan ibu, Kak Alfa dan Mbak Andin mereka saling menautkan alis satu sama lain."Eh heh Pak Amet?" sahut istriku dengan senyuman mengembang.Entah siapa pria itu kok ya sepertinya akrab sekali dengan istriku?"Ada di sini juga Mbak Asmi?""Lah iya atuh kan yang punya hajatan ibu mertua saya, Pak.""Wah gak sangka kita jadi sodaraan dong, itu 'kan yang nikah sama Hanum adik sepupu saya," ucapnya lagi.Oh ternyata pria ini calon sodaraku, tapi dari mana Asmi mengenal kakak sepupu Aldan-calon suami Hanum?"Wah kebetulan atuh ya, Pak," seru Asmi semakin akrab."Udah lama Mbak Asmi gak cek permata ke lab saya nih, gak pindah ke tempat lain kan, Mbak?"Aku terkejut, tak kecuali ibu dan dua saudaraku di sampingnya, mereka saling menatap satu sama lain dan semakin serius mendengarkan percakapan Asmi bersama Pak Amet."Ah engga atuh Pak, emang belum sempat ke sana aja karena saya juga baru selesai melangsungkan acara nikahan, ini baru pindah ke kota Tangerang sebulan lalu." Istriku tersenyum ramah.Boleh juga istriku itu, gak sangka juga circlenya sampai ke pengusaha lab batu permata. Anjay, apalah aku yang hanya kurir ekspedisi. Ah tapi gak apa-apa, kata Asmi, pekerjaan tidak menentukan derajat se
Aku melongo, Pak Amet cepat-cepat menarik tanganku naik ke pelaminan, Asmi ikut di belakangku dan kami pun foto bersama keluarga mempelai pria, ya meskipun wajah Hanum sedikit murung, tapi kalau di depan keluarga suaminya dia bisa apa? Selain nurut tentunya haha.Selesai di foto Hanum berbisik."Kak Hasan kok bisa sih kalian diajak foto sama keluarga suamiku?""Bisalah, kami orang terkenal," jawabku sambil berlalu menarik tangan Asmi.Selesai acara hajatan, bapak menyuruh kami menginap karena besok mau bongkar tenda dan beres-beres katanya, oke aku nginep itu pun karena bapak yang memintanya, kalau bukan bapak jangan harap aku mau, habisnya aku terlanjur kesal sama ibu dan kelakuan sodara-sodaraku yang selalu saja meremehkanku dan mengejek istriku itu.Malam hari selepas isya aku sedang ngopi di depan teras bersama bapak, Mas Fatih, Kak Angga dan Aldan si pengantin baru sambil mengobrol ngalor-ngidol tentang pekerjaan Aldan, baru kutahu sekarang ternyata yang diucapkan Hanum bual semu
"Num, Kak Asmi mah gak bisa kasih apa-apa buat Hanum, cuma ini aja nih ada perhiasan sedikit, maaf ya karena kemarin Kak Asmi bingung mau kasih apa buat Hanum," kata istriku seraya memberikan kotak perhiasan bentuk love.Duh kenapa juga Asmi mesti kasih hadiah perhiasan, kalau aku jadi dia mendingan perhiasannya kujual dan kubelikan sprei 50 ribuan juga udah bagus, apalagi kalau gambar bunga seperti yang ibuku suka beli beuh bagus banget meskipun luntur semua pas dicuci.Hanum yang sedang mengobrol bersama Mbak Andin akhirnya menerima kotak pemberian Asmi dan membukanya saat itu juga."Hah? Kak Asmi serius? Ini buat Hanum?" tanya Hanum tak percaya, mulutnya melongo dengan wajah yang berseri-seri.Perhiasan yang ada di dalam kotak itu seperti gelang bertahta batu permata indah, permatanya langsung mengkilap saat lampu menyorot gelang itu, pokoknya mata ini sampe sakit gara-gara lihat kilapan permata itu. Hih lebay banget sih."Serius atuh Num, suka gak?""Suka banget Kak, kok Kakak pun
Aku segera mengejar istriku."Ayo A kita pulang," katanya sambil menyampirkan tas kecilnya di bahu."Loh kenapa, Neng? Ada apa?" Aku bertanya cemas, pasalnya baru kali ini aku melihat Asmi marah dan menangis seperti ini selama kami menikah.Selama ini dia dihina-hina, dicemooh dan lainnya pun Asmi selalu sabar, tapi entah kenapa kali ini saat kak Alfa membahas orang tua Asmi, ia menangis sampai marah begini."Ayo Aa jangan banyak tanya," katanya lagi sambil berusaha menghapus air matanya.Aku buru-buru mengambil kunci motor dan mengejar istriku keluar."Eh ada apa ini? Kenapa Asmi nangis?" tanya Bapak saat kami sudah naik motor."Gara-gara Jak Alfamaret, Pak," jawabku buru-buru, setelah itu aku melajukan motor membawa Asmi pulang.Sampai di kontrakan aku memberinya minum, setelah Asmi tenang aku kembali mengintrogasinya."Neng kenapa? Ada apa tumben Neng nangis begini?" Serius aku bertanya.Istriku menyeka air mata di pipinya. "Neng mah sedih A kalau ada yang bahas-bahas masalah kelua
Asmi menyeka air mata di pipinya."Beneran Aa mau bantu Neng nyari bapak kandung, Neng?""Beneran dong, jangankan bapak yang hanya manusia biasa, alamat yang enggak jelaspun selalu Aa cari-cari sampai dapat.""Alamat siapa?""Alamat yang punya paket dong Neng, Neng lupa ya kalau Aa ini babang kurir?" candaku, Asmi tertawa mendengarnya.Di tengah obrolan kami terdengar suara lagu naik delman diputar, kukira ada odong-odong lewat tahunya ponsel Asmi yang bunyi.'Pada hari minggu kuturut ayah ke kota, naik delman istimewa kududuk di muka.'Aku tepok jidat, kenapa nada deringnya harus naik delman sih Asmiii? Ampun dah."Halo Assalamualaikum Paman, kumaha?" kata Asmi dalam sambungan telepon yang diloudspeaker."Waalaikumsalam Neng, si bapak teh nuju udur ripuh geulis tos 3 dinten dirawat di rumah sakit teu acan aya perobahan, geura uih heula ka lembur sakedap mah karunya bisi aya naon-naon, tenang upami tos silih hampura mah, karunya ongkoh si ibu bisi teu gaduheun kanggo bekel di rumah sa
"Oh ya A, sebelum pulang mampir dulu ke gudang ya, Neng mau pamitan ke pegawe gudang karena mau pulang kampung, siapa tahu kan nanti di sana kita bakal lama," kata Asmi kemudian.Aku manut saja kebetulan juga aku ingin tahu di mana gudang usahanya itu berada.Selesai minum cendol kami segera melaju ke arah Cipondoh di mana letak gudang usaha Asmi berdiri, aku pikir cuma ruko kecil tapi ternyata aku salah, gudangnya cukup besar karena ada dua rolling pintu yang Asmi sewa, saat kulihat dalamnya benar ada 3 orang karyawan di sana, 2 orang perempuan dan satu laki-laki yang sedang jualan live di salah satu market place.Aku sampe geleng-geleng melihat ternyata istriku sehebat itu, bertumpuk-tumpuk barang jualannya ada di ruko sebelah dan sebelahnya ia jadikan kantor admin untuk 3 orang karyawannya itu, Asmi hanya memantau dari jauh lewat hp sejak Asmi menikah denganku, tapi meski begitu Asmi selalu bekerja keras sampai harus begadang tiap malam agar ia bisa mengecek semua laporan yang masu
Malam hari kami naik bus Luragung Jaya pukul 8 malam dari kota Tangerang. Melewati jalan tol Cipali menuju kota Cirebon dan sampai di terminal Kertawangunan Kuningan pada pukul 3 pagi.Aku pikir turun dari bus ini desa Asmi sudah dekat sehingga kami bisa langsung ke sana tapi ternyata kata Asmi kami masih harus melewati jalan desa yang cukup jauh dan berkelok.Karena tidak mungkin kami masuk ke desa pagi buta begini, sebab tidak ada angkutan umum juga akhirnya Asmi membawaku ke tempat paman dan bibiknya dulu di daerah Lebakwangi Kuningan untuk beristirahat.Selepas subuh berjamaah di sebuah saung aku mengobrol dengan pamannya Asmi yang dulu datang ke acara pernikahanku, meski udaranya sangat dingin sebab angin pesawahan tak hentinya menerpa wajah dan kulitku tapi aku sangat senang karena bisa mengobrolkan banyak hal dengan beliau.Beliau bilang Asmi itu adalah pekerja keras, selain usaha onlinenya baru kutahu juga bahwa Asmi adalah juragan sawah di desanya.Hampir semua sawahnya yang
Bu Sarah lalu bangkit dan pergi begitu saja saat melihat Asmi datang ke hadapannya.Asmi segera menyusul dan aku juga mengekor di belakang Asmi."Ibu, Asmi teh hoyong nyuhunkeun hampura, Asmi teu tiasa ningali si bapak sa teu acanna teu aya, Asmi sedih Bu, pamugia si bapak ditampi iman islam na." Begitu kata Asmi dalam bahasa sunda lagi.("Ibu, Asmi teh mau minta maaf, Asmi gak bisa lihat si bapak sebelum beliau tiada, Asmi sedih Bu, semoga si bapak diterima iman islamnya.")Ah lagi-lagi aku harus garuk-garuk kepala, rasanya menyesal aku tidak belajar bahasa Sunda ke si Dadang temen kuliahku di Tangerang. Padahal si Dadang itu pinter, aku malah gaul sama si Jehanex alhasil aku jadi belangsak dan gak tahu apa-apa begini.Tapi meski aku tak mengerti obrolan mereka, aku tetap memperhatikan Asmi dan ibunya di dekat pintu kamar."Ieu Bu, sakedik kanggo ngabantosan kariripuh Ibu sareng kanggo tahlilan bapak."("Ini Bu, sedikit untuk bantu kesusahan Ibu dan buat acara tahlilan bapak.")Asmi