Share

Bab 7. Pertemuan Pertama dengan Edwin

"Memangnya kita pernah bertemu dulu. Saya tidak mengingat kamu sama sekali," sahut Edwin setelah mengingat keras namun tidak ada satu memori pun tentang Herlin.

"Sepertinya Tuan sudah lupa dengan saya. Oh iya, mana mungkin orang penting seperti Tuan mengingat saya yang hanya butiran debu," balas Herlin.

"Kamu bicara tidak perlu mutar-mutar. Langsung ke intinya saja," suruh Edwin tidak suka main tebak-tebakan.

"Baiklah, saya akan katakan langsung. Saya ini keponakan dari Karina. Apa Tuan masih mengingat perempuan yang bernama Karina?"

"Karina?" Pikir Edwin mengingat nama yang tidak asing baginya. Namun dia juga masih tidak ingat siapa Karina itu.

"Saya tidak pernah mengenal orang yang bernama Karina,"balas Edwin. 

"Ternyata Tuan juga sudah lupa sama tante saya. Atau jangan-jangan, Tuan juga sudah lupa sama om Wisnu," sambung Herlin memancing Edwin.

Kali ini Herlin yakin jika Edwin ingat siapa orang yang dia sebut. Mana mungkin mereka akan lupa sama keluarganya sendiri. 

Seketika Edwin meremas tongkat yang digunakan. Dia tidak menyangka kalau Herlin akan menyebutkan nama Wisnu. Nama yang sudah menghilang selama lima tahun.

Begitu pula dengan Samira dan lainnya. Mereka ikut terkejut Herlin bisa mengenal Wisnu. 

Darius sangat menyayangkan atas kematian Wisnu. Wisnu adalah sepupu Darius yang merupakan anak kedua. Sedangkan anak pertama meninggal dalam kandungan. 

Mereka semua menganggap jika Wisnu tidak akan termasuk dalam orang yang terkutuk karena bukan anak pertama. Namun sayangnya dia juga terkutuk. Dia menjadi gila setelah kehilangan orang yang dia cintai dan akhirnya memilih bunuh diri. 

"Jadi, apa Tuan sudah ingat siapa saya?"

"Kamu bocah itu? Seharusnya dia masih SMP sekarang. Kamu jangan mengaku ngaku untuk menipu kami," sahut Edwin.

"Saya sama sekali tidak mengaku-ngaku. Saya ini keponakan dari tante Karina."

"Itu tidak mungkin. Keponakan dari Karina itu masih SD. Jadi sekarang dia masih SMP," kata Edwin kekeh.

Herlin sangat tersinggung dengan perkataan Edwin. Memang dirinya saat umur 15 tahun memiliki tinggi yang sangat pendek serta tubuh yang kurus. Jadi banyak orang yang menganggap dia bocah SD. Tidak sekali dua kali dia dikatakan bocah. Untung saja setelah SMA pertumbuhan dia semakin meningkat karena harus bekerja keras.

'Kurang matematika ini kakek. Beraninya bilang aku anak SD. Dia dan lain sama saja,' protes Herlin dalam hati.

"Jadi kamu beneran anak kecil itu?" tanya Edwin belum percaya.

"Jika Tuan masih tidak percaya, Tuan bisa menyuruh anak buah Tuan untuk menyelidikinya sendiri. Tapi satu hal yang mau saya luruskan, saya tidak akan pernah melupakan kejadian itu."

***

Flashback.

Tujuh tahun lalu Herlin masih berusia 15 tahun. Dia baru menginjak kelas satu sekolah menengah atas. Setelah selesai belajar dia pulang dengan penuh semangat. Sudah tidak sabar untuk bertemu dengan tantenya. Lebih tepatnya bukan ingin menemui tantenya, tapi calon sepupunya yang berada di dalam perut tantenya. 

"Tante!" teriak Herlin dengan keras di depan rumah.

"Herlin, jangan berteriak seperti itu," tegur Karina sambil membuka pintu rumah sebelum Herlin menggedor pintu dengan keras.

"Hehehe, Herlin kan kangen sama calon adik sepupu Herlin," sahut Herlin cengengesan tidak jelas.

"Kamu jangan berlebihan. Perut Tante masih datar," sahut Karina menggeleng kepala kecil melihat Herlin yang sangat berlebihan.

"Apa salahnya, Tante? Yang penting kan sudah sayang," ucap Herlin memeluk perut tantenya.

"Ya ya, terserah kamu saja. Ayi masuk. Tante sudah masak masakan kesukaan kamu," ajak Karina masuk.

"Oke Tante. Siap laksanakan perintah," sahut Herlin memberi hormat.

Setelah itu Herlin berlari ke dalam rumah. Perutnya sudah keroncongan. Minta asupan untuk memenuhi tenaga kembali.

Karina mengikuti langkah Herlin dari belakang. Tidak lupa menutup pintu kembali.

***

Langkah Kaki Karina menuju ke ruang makan. Dua akan menunggu Herlin di rumah ruang makan. Namun, matanya menangkap sosok Herlin yang masih berseragam sudah duduk di meja makan.

"Herlin, sudah berapa kali Tante bilang. Ganti baju dulu," tegur Karina.

Karina sangat memanjakan Herlin. Tapi tidak dengan kesalahan yang dibuat oleh Herlin. Herlin harus menuruti peraturan yang ada di rumah. Tidak boleh makan siang sebelum ganti baju.

"Tapi Tante …." 

Ucapan Herlin terputus karena sang Tante menatapnya dengan tajam. Tidak lupa dengan tangan dilipat di depan dada. Tanda menolak protesnya.

"Oke, Herlin ganti baju," sahut Herlin mengalah.

"Nah, gitu dong …."

Kini ucapan Karina yang terputus oleh suara ketukan pintu rumah. Rumahnya yang tergolong kecil tidak ada bel.

"Siapa yang bertamu Tante?" tanya Herlin.

"Tante juga tidak tahu. Kamu teruskan ganti baju. Jangan makan sebelum ganti baju," suruh Karina.

"Iya Tante," sahut Herlin dengan suara lemah.

Herlin dengan lesu berjalan ke arah kamarnya. Kamarnya seakan-akan terletak sangat jauh sekarang. Saking dia terlalu lapar.

Setelah Herlin pergi, Karina langsung menuju ke pintu. Dengan segera membuka pintu. Matanya menatap tamu yang datang adalah orang asing. Orang yang terlihat berwibawa dan terlihat elit. Bukan hanya satu, tapi lima orang asing sekaligus.

"Ada yang bisa saya bantu. Tuan mencari siapa ya?" tanya Karina.

"Apa anda yang bernama Nona Karina?" tanya salah orang yang berada di samping orang yang terlihat lebih berkuasa.

"Iya, saya Karina. Tapi Tuan-tuan ini siapa ya?"

Karina mengerutkan kening. Dia sama sekali belum pernah melihat mereka. Dia juga tidak pernah berurusan dengan orang kaya.

"Perkenalkan, saya adalah Edwin, kakeknya Wisnu," kata Edwin memperkenalkan diri.

Edwin memperkenalkan diri tanpa repot-repot mengulurkan tangannya. Dia melirik Kirana dari ujung rambut sampai ujung kaki, sangat kumuh dan miskin. Tidak sepadan dengannya yang memiliki segalanya. Rumah yang ditempati Kirana bahkan lebih jelek dibandingkan tempat tinggal para bodyguardnya.

'Kakeknya Wisnu? Kenapa Wisnu tidak pernah cerita sama aku. Apa ada yang dia sembunyikan dari aku?' batin Karina cemas.

Karina mengenal Wisnu sebagai anak sebatang kara. Wisnu tidak pernah bercerita tentang keluarganya. Lebih tepatnya tidak pernah membahasnya.

Apalagi Edwin terlihat sebagai konglomerat yang sangat kaya raya. Beda dengan Wisnu yang dia kenal sebagai pria biasa. Pria yang bekerja sebagai buruh.

"Apa kamu tidak memiliki sopan santun. Sampai kapan kamu akan membiarkan tamu berdiri di depan pintu," sindir Edwin yang tidak dipersilahkan masuk dari tadi.

Karina langsung tersadar dari lamunan. Dia jadi tidak enak sama tamu sekaligus kakek dari suaminya. Berarti keluarganya juga.

"Maafkan saya. Saya hanya kaget saja. Mari silahkan masuk dulu," ajak Karina.

Karina mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah. Dengan dua orang yang berjaga di depan pintu. Lalu dua orang berdiri v di belakang tubuh Edwin.

Edwin duduk di sofa yang terlihat mau patah. Pantat sakit ketika sofa yang diduduki terasa keras. Tidak ada bedanya dia duduk di atas batu.

Karina juga ikut duduk di depan Edwin. Dia sedikit gugup berhadapan dengan Edwin. Tatapan Edwin sangat tajam. Jadi sebisa mungkin dia menghindar dari mata Edwin.

"Tante, siapa yang datang. Apa Om Wisnu?" tanya Herlin yang berjalan dari arah kamar. 

Herlin langsung berhenti berlari ketika melihat tamu asing. Dia pikir yang datang adalah om Wisnu.

"Herlin, kamu masuk lagi ya," suruh Karina mengusir Herlin.

"Tidak mau. Herlin mau di sini saja. Sama Tante," sahut Herlin.

Herlin segera duduk di samping Karina. Tidak lupa lengannya memeluk tantenya. Takut kalau orang-orang yang ada di hadapan tantenya akan berbuat jahat kepada mereka.

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status