Share

Bab 5. Tiba di Kediaman Alexander William

Nathan baru saja siuman dari efek obat yang telah disuntikkan oleh Edwin. Dia duduk di atas kasur dengan linglung. Memproses apa yang terjadi. Saat sedang sibuk memikirkan apa yang terjadi, telinganya menangkap suara teriakan Herlin.

Nathan dengan cepat melempar selimut dan berjalan ke arah balkon kamar. Dari sana asal sumber suara Herlin. Dia menatap ke arah bawah, dimana para bodyguard yang sedang menarik tangan Herlin. Kemudian memaksa Herlin dengan cara dipangkul seperti karung beras.

Nathan meremas pinggiran pembatas balkon. Dia sangat marah melihat perlakuan bodyguard terhadap Herlin. Tidak boleh ada yang menyentuh Herlin, apalagi memperlakukannya dengan kasar.

"Lepaskan dia. Apa yang kalian lakukan kepada Tuan Putri!" teriak Nathan dari lantai dua sambil menunjuk ke arah bodyguard yang memanggul Herlin.

Nathan tanpa pikir panjang langsung meloncat dari lantai dua. Dia berhasil mendarat dengan sempurna. Dengan posisi setengah berdiri, lalu tangan kanan lurus ke depan dan tangan kiri lurus ke belakang. Persis seperti superhero yang dia lihat di televisi. Superhero yang ingin menyelamatkan Tuan Putri dari monster jahat.

Otot kaki Nathan bisa menahan keseimbangan, jadi dia tidak terluka sama sekali. Beberapa detik kemudian, posisinya oleng dan membuat Nathan jatuh terduduk.

Para bodyguard mendekat dan segera membantu Nathan yang masih duduk di lantai. Mereka juga tidak lupa memeriksa keadaan Nathan. Jika terjadi sesuatu sama dia, maka mereka bisa dipecat.

"Tuan Muda tidak apa-apa!" ujar mereka.

Nathan mengabaikan mereka semua. Dia melepaskan tangan mereka dengan kasar. Lalu langsung berlari ke arah Herlin.

"Tuan Putri!" teriak Nathan heboh dan memeluk Herlin dari belakang.

Herlin sangat terkejut dengan pelukan Nathan. Dia hampir saja terjungkal ke arah Tristan kalau Nathan tidak memeluk tubuhnya dengan kuat. Dia lagi-lagi dipeluk oleh cowok yang aneh menurutnya.

"Lepas! Lepaskan aku!" teriak Herlin.

'Kenapa laki-laki aneh ini memeluk aku lagi, sih,' batin Herlin frustasi.

Hari ini Herlin sudah tidak tahu berapa kali dia berteriak. Bisa-bisa tenggorokan dia sakit. Mana tidak ada yang mendengarkan dia.

"Tuan Putri, Tuan tidak apa?" tanya Nathan yang khawatir dengan keadaan Herlin.

Nathan melepaskan pelukannya pada Herlin. Kemudian dia mengecek keadaan Herlin dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tidak ada luka sedikitpun. Dia juga memutarkan tubuh Herlin beberapa kali supaya bisa mengecek Herlin lebih teliti.

Herlin jadi pusing oleh tingkah kekanakan Nathan. Kesabaran sudah pada batasnya. Dia tidak tahan lagi. Hidupnya jadi tidak damai lagi sejak beberapa jam yang lalu.

"Apa yang kau lakukan!" teriak Herlin dengan keras yang masih dijadikan mainan oleh Nathan. Dia sudah mirip seperti gasing.

"Nathan hanya ingin memeriksa Tuan Putri," sahut Nathan polos masih memutarkan tubuh Herlin.

"Stop!" bentak Herlin menghempaskan tangan Nathan.

Herlin sudah tidak tahan dengan perlakuan Nathan. Sekarang perutnya sudah sangat mual. Dia bisa muntah beneran kalau diteruskan. Dari tadi dia sudah diangkut seperti karung beras, sekarang malah diputar-putar.

Tristan hanya menatap datar perlakuan Nathan terhadap Herlin. Dia baru saja pulang dari jalan-jalan bersama temannya. Ketika dia pulang, hal pertama yang dia lihat adalah Herlin yang dipaksa keluar dari mobil. Dia sudah tahu jika semua itu suruhan kakek mereka. 

Edwin, Samira dan Darius yang mendengar suara keributan di luar rumah segera menuju ke depan rumah. Mereka heran menatap Nathan yang sudah berada di depan rumah. Mereka sama sekali tidak melihat Nathan yang turun dari lantai dua.

"Nathan, kamu kenapa di sini. Bukannya kamu ada di lantai dua?" tanya Samira dengan lembut. 

"Begini Nyonya, tadi Tuan Muda melompat dari lantai dua," lapor bodyguard.

"Apa!" teriak mereka terkejut.

"Sayang, kamu tidak apa-apa sayang?" tanya Samira memeriksa keadaan Nathan.

"Nathan tidak apa-apa, Ma. Nathan kan anak kuat," sahut Nathan menunjukkan otot-otot lengannya yang sudah membentuk sempurna.

Herlin juga ikut melihat otot Nathan yang besar. Namun dia bukan perempuan penyuka lelaki berotot, dia lebih menyukai lelaki berotak. Buat apa ada otot besar tapi otaknya kecil. 

"Kenapa, kamu suka lelaki berotot. Sama seperti ototku," bisik Tristan.

Herlin hanya mendengus mendengar perkataan Tristan. Tristan dengan kepercayaan diri yang tinggi setelah terjadi kesalahpahaman. Sudah capek dia berurusan dengan lelaki tipe Tristan.

Tristan segera menjauhkan diri dari Herlin ketika Nathan menoleh ke arah mereka. Nathan seperti ada antena kalau ada orang yang mendekati Herlin.

"Nathan, kamu jangan melakukan itu lagi. Bagaimana kalau kamu terluka," tegur Samira.

"Iya, Ma. Nathan janji," sahut Nathan menatap ke arah Samira lagi.

Samira mengalihkan pandangan ke arah Herlin. Dia memberikan senyuman lembut. Dia merasa kasihan dengan nasib Herlin untuk kedepannya. Semoga Herlin bisa menerima anaknya dengan baik.

Herlin membalas senyuman dari Samira. Senyuman sendu seorang ibu. Setidaknya, dia menemukan seseorang yang bersikap normal.

"Kamu sudah tiba. Ayo masuk," ajak Edwin tanpa basa-basi.

"Tidak, saya ingin pulang saja," tolak Herlin. 

"Putri ingin pulang? Nathan ikut ya?" pinta Nathan tidak mau jauh dari Herlin.

"Tidak bo … "

"Tidak ada yang boleh pergi tanpa izin dari aku," ujar Edwin tegas dengan tatapan tajam.

Herlin meremas kedua tangannya. Edwin sama persis seperti beberapa tahun yang lalu. Masih saja keras kepala dan bersikap seenaknya saja. 

"Kalian bahwa dia masuk," suruh Edwin kepada bodyguard.

"Baik Tuan Besar."

Mereka mendekat ke arah Herlin. Tangan sudah terjulur ingin membawa Herlin masuk ke dalam.

"Kalian mau apa?" tanya Nathan menepuk tangan bodyguard yang ingin menyentuh Herlin.

"Kalian jangan macam-macam," lanjut Nathan memperingati mereka.

Nathan menatap mereka dengan tajam. Lebih tajam dari Edwin. Hanya dirinya yang boleh menyentuh Herlin.

Para bodyguard langsung menciut nyalinya. Nathan kalau sudah marah lebih menyeramkan dari tuan besar mereka. Mereka tidak tahu harus menuruti perintah siapa.

"Sebaiknya kamu masuk dulu jika kamu ingin melangkah keluar dari rumah ini," kata Edwin dengan maksud tersembunyi agar Nathan tidak mengetahuinya.

"Ayo Putri, kita masuk," ajak Nathan memegang tangan Herlin dengan lembut.

Herlin terpaksa masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera pergi dari sana. Dia yakin tidak akan bisa kabur dari sana sesuai dengan perkataan Edwin. Terus dia juga ingin tahu apa yang akan Edwin katakan kepada dirinya.

***

Edwin sudah duduk di sofa tunggal. Kemudian diikuti oleh Samira dan Darius serta Tristan di sofa panjang. Herlin masih saja berdiri, dia segan untuk duduk dan tidak mau duduk. Kalau bisa dia ingin segera pergi dari sana.

Nathan juga ikut berdiri di sampingnya dengan sangat dekat. Herlin sudah berusaha untuk mendorong Nathan, tapi dia sama sekali tidak mau menjauhi Herlin. 

"Silahkan duduk," perintah Edwin.

Herlin akhirnya duduk di atas sofa. Tatapan Edwin tidak menerima penolakan. Kemudian kakinya juga sudah sangat lelah. 

Nathan mengikuti Herlin untuk duduk di sampingnya. Lagi-lagi dia duduk dempet dengan Herlin. Herlin menggeserkan pantatnya agar menjauh dari Nathan. Nathan juga ikut bergeser lagi mendekat ke arah Herlin.

"Kamu duduk di sana bisa nggak. Jangan dekat-dekat. Di sana masih luas," ujar Herlin dengan jengkel.

"Tapi Nathan mau duduk di dekat Tuan Putri. Tidak mau jauh-jauh," tolak Nathan semakin bergeser ke arah Herlin. 

"Nathan, sekarang kan sudah malam. Kamu sudah saatnya tidur," bujuk Samira.

Biasanya Nathan akan tidur jam sepuluh tepat. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Samira yang selalu mengatur jadwal Nathan.

"Tidak, Nathan tidak mau tidur. Nathan mau bersama Tuan Putri," sahut Nathan memeluk tangan Herlin.

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status